Cerpen Ayu Sundari Lestari
Pagi masih buta. Embun menempel di dedaunan. Riuh angin berkelebat di antara celah pepohonan. Langit bertudung awan pekat. Kabut jatuh. Dingin menusuk tulang-belulang. Ngilu rasanya. Senandung riang menari-nari di langit hariku. Ada rasa bahagia yang akan segera ditanggalkan. Sedih tentunya.
Sebuah kafe tepat berada di pinggir Danau Toba, aku duduk di pojoknya. Sejenak menghilangkan rasa letih yang sedari tadi bergelayut. Perjalanan dari Medan cukup menguras tenaga. Secangkir kopi disuguhkan oleh pelayan kafe. Kini, kopi itu sudah ada di atas meja bundar, berselimut taplak meja bermotif bordir bunga di tepinya.
Handphone-ku berdering. Ada pesan yang masuk. Sebaris kalimat singkat pun terbit di layar kecil ini, “Ir, apa kau sudah sampai?”
Senyum kecil terlukis di bibir. Ternyata pesan singkat dari Siska, Toni, dan Zuzu, sahabat karibku. Meski mereka termasuk sahabat yang paling cerewet, namun perhatianya selalu membuat aku enggan marah.
Sekejap jemari lentik lihai menari-nari di tombol handphone. Sebait kata kukirim “Baru saja sampai, di sini benar-benar sejuk. Pemandangannya jauh lebih indah daripada setahun yang lalu. Pokoknya menyesal kalian gak ikut.”
Eh, benar saja tebakanku mereka semuanya meradang. Kami berempat pun berbicara lewat gelombang. Kadang-kadang aku tersenyum geli membaca pesan singkat mereka. Lumayanlah, sedikit mengusir kesepianku di sini.
“Alah! Itu lah kau, gak sabar kali tunggu aku cuti,” gerutu Siska masih melalui pesan singkat.
“Sis, maaf ya. Aku gak bisa menunda keberangkatanku. Lain kali pasti kita bisa pergi rame-rame,” mencoba meredakan amarah Siska.
“Baguslah, kalau begitu, tak sia-sia kau melalak saja ke sana tiap bulan,” balas Toni. Mungkin dia sedikit menyindir diriku yang memang tiap bulannya selalu berkunjung ke sini.
“Ya, semoga bulan ini adalah bulan terakhir aku ke sini,” jawabku lirih. Mencoba menerawang masa depan.
Entahlah, semuanya bermula sejak setahun yang lalu, pertemuanku dengan seorang pemuda yang sangat bersahaja, namanya Adit. Saat itu pihak perusahaan tempat aku bekerja mengadakan liburan ke danau Toba.
Mulanya, aku bersama teman-teman makan siang di restoran yang kini kakiku berpijak, bahkan di nomor meja yang sama. Kebetulan atau memang takdir, Si Adit bekerja sebagai pelayan restoran tersebut. Masih lekat, sungguh sangat lekat. Dia menumpahkan kuah sup ke bajuku. Kontan saja, aku marah-marah. Tapi, kemarahanku seperti direm mendadak. Mata teduhnya memancarkan kedamaian.
“Maaf mbak, saya tak sengaja,” dengan lembutnya ia berkata. Entahlah, aku seperti patung yang terpaku. Diam membisu.
“Mbak,” dia menegurku.
“Ya, lain kali kamu hati-hati! Tengok ni bajuku pada basah. Pasti kulitku juga ikut terkelupas ni,” berusaha menutupi grogi.
Dering handphone seketika membuyarkan lamunanku. Pesan masuk dari Zuzu
“Hiks! Kau pun tak mau ngajak aku,” rengek Zuzu. Layaknya anak kecil yang meminta permen.
Memang, sahabatku yang satu ini sangat manja daripada yang lainnya. Maklum, dia adalah anak paling besar dan anak yang paling kecil dalam keluarganya, sampai-sampai sifat manjanya terbawa-bawa.
“Baiklah, oleh-olehnya jangan lupa ya. Kain Ulos!” pintanya sedikit memaksa.
“Iya, ntar kubelikanlah. Tenang aja.”
Matahari merambat. Pekik hangat telah menjemput, meski kabut belum jua beranjak. Kusudahi menghirup embun pagi. Segera bergegas meninggalkan restoran itu yang masih memutar cerita tentang aku dan Adit.
Sebenarnya, janjilah yang mengikat diriku untuk selalu datang ke Danau Toba. Ya, tiap tanggal sembilan aku selalu ke sini. Ternyata, pertemuan yang tak terduga dengan Adit bermuara pada jalinan kasih. Kami menasbihkan Danau Toba sebagai tempat yang terindah, banyak moment bersejarah terbungkus di dalamnya.
Seperti hari ini, aku akan bertemu dengan Adit di tepi Danau Toba. Sungguh, rindu telah berkesumat.
Terkadang lelah sempat merayu, agar berhenti mengirim sepucuk rindu yang kuselipkan disakunya. Rindu dan janji bagaikan kelekar yang memenjarai hati.
Biasanya, akan banyak celoteh yang menguap. Aku dan Adit kerap membahas tentang Toba. Sebuah legenda yang tersohor. Ya, tentang sebuah janji antara lelaki dan perempuan. Sama seperti janji yang sering kami tuangkan.
Mungkin sudah seribu kali emak menasihatiku agar berhenti melakukan hal seperti ini. Namun mau seperti apalagi, keindahan pesona Danau yang terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini, selalu saja terbayang dalam benak. Nyiur anginnya kerap menyampaikan bait dan syair kerinduan yang tak kuasa untuk ditolak. Ada pujangga di sana yang menanti.
Sejak pinangan itu diterima, Adit benar-benar mengikatku dalam lingkaran. Lingkaran yang tak mampu diriku keluar dari dalamnya. Kini sebuah cincin permata putih melekat di jari manisku. Tapi, takdir begitu sangat kejam. Kebahagiaan itu digulung arus kematian.
Segaris senyum kecut menampar langit kelabu. Ada kegalauan mendayu dalam sajak yang kami rangkai. Sebuah mimpi semu terkanvas di atas danau, membangun istana di ranah Samosir. Bagaimanalah? air kerap mengalirkan mimpi ke muara tak pasti. Lantas, berganti dengan cerita baru.
Kicauan itu adalah nyanyian menyabut pertemuan kami. Senandung indah selalu mengiringi langkah Adit. Cecahnya mampu menyentuh lubuk hati. Segitu dalamkah denyut rasa ini?
“Akh! Kini aku mulai muak dengan semuanya,” keluhku.
“Sabar Ir, bukankah sesuatu yang indah memang banyak cobaannya?” Adit menenangkan aku.
“Mungkin aku bisa bertahan sampai akhir, namun aku tak mau membuat orang lain khawatir. Ini semua harus memang diakhiri!” suaraku serasa bergetar. Bulir menitihkan basah.
Kau terdiam. Kita membisu. Sama-sama terkejut dengan kalimat yang terlontar. Terperangkap dengan pikiran masing-masing. Hanya bicara dalam hati. Kesiur angin mendesir menguapkan kisah bau amis. Gerimis jatuh.
Tak tentu arah, semua menggelepar dimakan usang. Pinta keluarga dan lelaki yang kini berada di sampingku tak mudah kutepis. Sungguh, aku galau dalam jeruji yang telah diranum Adit. Situasi yang sulit bagiku menentukan arah cerita ini. Bekasnya masih menziarahi relung hati. Menyerebak wangi kembang.
“Kamu ingin meninggalkanku?” tanya Adit memecah kebisuan yang sedari tadi kami cipta.
Adit menyentuh tanganku. Dingin sekali. Tatapannya sangat tajam. Seakan menikam uluh hati. Sungguh, teramat nyeri. Ada gundah menghampiri. Luka, tersemat dalam. Simfoni indah akan segera tertanggalkan. Siulan burung tak semerdu dulu.
“Apakah kamu tega memperlakukan aku begini? Membiarkan aku terus-menerus terdekap dalam jeruji semu?”
Semilir hembusan angin mengait kabut, menyempulkan asap dan Adit pun menghilang. Bait dan syair mengalir anyir ke muara. Dinding-dinding udara mengempas kencang. Mataku terkuak tepat di muka tanah yang merekah. Pusara masih basah. Sekuntum mawar putih kuletakkan bersama cincin dan segala kenangan di atas pusara Adit.
Kini hanya do’a yang mampu kutitipkan untuk Adit. Semoga dia bahagia di sana. Di sisi Tuhan. Biarlah kisah kami tenggelam di danau Toba. Musabab, takdir membedakan alam kami. Aku akan menyongsong masa depan dengan lelaki yang telah lama menanti diriku. Menjalani kehidupan tanpa Adit.
“Ir! Kami datang!” sorak Siska, Toni, dan Zuzu dari ujungnya.
“Sudah ziarah?” tanya Zuzu.
“Baru saja selesai.” jawabku.
“Ir, maukah kamu menjadi kekasih halalku?” pinta Toni.
Mimik wajahku, Siska dan Zuzu berubah seperti orang yang melongo. Debar jantung berdetak kencang. Ada yang aneh, saat riuh bait itu mengalir, air danau bercat merah.
Dunia KOMA
Kedai Durian, 12 Desember 2011
Sumber: Kompas, 20 April 2012
21 April 2012
Menentukan Hati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar