Oleh musrsyid burhanuddin*
Kemajuan suatu bangsa bisa cepat diraih jika masyarakatnya gemar membaca. Kini berbagai upaya untuk menggugah kesadaran membaca kian marak. Rekognisi itu bisa dilihat dari berbagai even yang bertalian dengan gerakan gemar membaca. Bentuknya bisa berupa book fair, launching buku, perpustakaan keliling, dan rubrik perbukuan di koran hingga festival buku.
Pamrih dari even-even itu, antara lain, agar hambatan psikologis antara masyarakat dan buku kian hilang. Memang, untuk menggugah minat baca, perlu inovasi terus-menerus. Festival Indonesia Cerdas yang dihelat di DBL Arena Surabaya pada 7-11 Juli, misalnya, saya kira different. Sebab, kemasan festival terkesan lebih soft, bersahabat, lumer, dan elegan, sekaligus merangkul. Jauh dari kesan memaksa orang untuk berbelanja buku! Meski ada kekurangan, paling tidak hal itu bisa menyumbangkan format baru cara menggungah kesadaran membaca.
Apalagi, pameran buku di Indonesia selalu mengedepankan selling ketimbang bertujuan menggugah kesadaran membaca. Bandingkan dengan Frankfurt Book Fair, meski telah berlangsung 61 kali sejak 1949, pameran itu tetap diminati masyarakat dari berbagai negara. Hebatnya, selain menyajikan jutaan buku-buku terbaru, pameran berskala internasional tersebut sekaligus menjadi ajang pembelian hak cipta buku terjemahan. Meski beberapa negara mencoba meniru, mereka tak mampu mengikis kredibilitas Frankfurt Book Fair. Pemerintah Kota Frankfurt, rupanya, tahu persis makna strategis even itu, yakni untuk sebuah prestise dan pengakuan dunia.
Untuk itu, IKAPI, penerbit, dan holding company yang konsen pada berbagai even gerakan membaca mesti terus berinovasi. Bila tidak, masyarakat akan jenuh. Bahkan, kini muncul stigma, pameran buku sama dengan cuci gudang penerbit. Hal itu tak lepas dari dampak krisis industri perbukuan. Sebagian masalah tersebut adalah penumpukan stok buku yang teramat besar.
Bahkan, dampak krisis itu memaksa para penerbit pindah haluan. Penerbit buku pelajaran mulai melirik peluang di buku umum. Begitu juga penerbit buku umum nonmuslim melirik peluang di buku-buku Islam. Peta penerbitan buku makin berisi varian-varian produk. Jadi, tak heran, satu penerbit punya lebih dari dua imprint (lini penerbitan).
Lalu, buku-buku apa yang laris terjual di even pameran buku? Buku-buku bertema spiritual; bisnis dan entrepreneurship; self-development; how to atau life skills masih merajai, di samping buku-buku lama yang diobral saat pameran. Selain itu, fiksi fantasi subgenre contemporary fantasy seperti Harry Potter dan Dark Fantasy banyak diminati. Penerbit pun, tampaknya, sangat antusias menerbitkan cerita fantasi. Jika dulu pembacanya dewasa, kini remaja bisa melahap buku fantasi yang tebalnya ratusan halaman dalam hitungan jam. Itu tak lepas dari sukses novel Harry Potter memikat segmen remaja. Mereka haus mencari bacaan sejenis, kemudian kecederungannya semakin terjaga dengan munculnya trilogi Twilight. Novel-novel inspirasional juga tak kalah larisnya. Pemicunya tentu saja tetralogi (pentalogi?) Laskar Pelangi yang hingga saat ini masih memegang rekor penjualan tertinggi.
Meski sudah ada toko buku, even-even yang bertalian dengan gerakan gemar membaca tetap diperlukan. Apalagi, Indonesia baru memiliki 4.000 toko buku terdaftar, yang aktif cuma sekitar 500 toko. Sebagian besar toko kecil, sederhana, dan tradisional. Sisanya, 25 persen, berupa toko buku besar, kompleks, dan modern. Jumlah tersebut tentu tidak sebanding dengan jumlah buku dan letak geografis pembaca. Sebab, tak kurang dari 12.000 eksemplar buku baru terbit setiap tahun. Sayang, toko buku besar hanya ada di kota besar.
Context ke Content
Lalu, apa yang hendak disasar dari even-even yang bertalian dengan gerakan gemar membaca? Selain untuk selling dan branding, mestinya even itu bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk gemar membaca (baca: melek aksara) dan tidak hanya melek huruf.
Menurut Ignas Kleden (1999), melek huruf terbagi atas tiga kategori. Pertama, melek huruf teknis (performative). Yakni, mereka yang secara teknis bisa membaca, tapi secara fungsional dan budaya sebenarnya buta huruf. Penyebabnya, bisa bahan bacaan minim atau tidak punya cukup waktu untuk membaca. Jadi, hanya melek huruf.
Kedua, melek huruf fungsional (fuctional). Yakni, mereka yang membaca dan menulis sebagai fungsi karena pekerjaannya. Tapi, kegiatan itu belum menjadi habit atau kebiasaan. Jadi, jika kebiasaan membaca itu hanya ''terpaksa'' karena bertalian dengan pekerjaan, bisa dikatakan mereka telah melek huruf teknis dan fungsional, tapi secara budaya masih buta huruf.
Ketiga, melek huruf budaya (informational-epistic). Yakni, orang-orang yang di samping mempunyai kesanggupan baca tulis secara teknis dan fungsional, dia menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup. Tidak terbatas pada pekerjaan. Jadi, kegiatan mendengar dan berbicara tidak selalu dominan ketimbang kebutuhan untuk membaca dan menulis.
Dus, kemelekhurufan hanya bertalian dengan kemampuan baca tulis secara teknis belaka. Sementara itu, keberaksaraan juga melingkupi segi-segi fungsional dan budaya. Melek aksara secara teknis tidak akan banyak manfaatnya jika tidak disertai kemampuan melek aksara (keberaksaraan) secara fungsional. Sebab, pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) tidaklah cukup. Masyarakat juga perlu memiliki pengetahuan melakukan (procedural knowledge).
Karena situasi dan kondisi kian berubah, maka strategi, pola, dan bentuk gerakan keberaksaraan harus berubah. Efektivitas gerakan keberaksaraan sangat bergantung pada kelincahan dan kecerdikan untuk membonceng atau menindih beragam aktivitas. Singkatnya, gerakan gemar membaca tidak bisa dijalankan hanya melalui pola-pola linear (dari content ke context). Tapi, juga harus bersifat lateral (dari context ke content). (*)
Mursyid Burhanuddin, general manager PT JePe Press Media Utama
0 komentar:
Posting Komentar