Sebagai seorang santri, bercita-cita kuliah di Barat dan menjadi profesor di sana bukan sebuah mimpi yang mustahil untuk diwujudkan. Yudian Wahyudi telah membuktikan semua itu dengan tekad dan komitmen yang tinggi. Sejak nyantri di Tremas -sebuah pesantren di Pacitan, Jawa Timur- cita-cita itu terpancang kuat di dadanya meski prestasi yang ditorehkan waktu itu hanya berupa juara pidato dan mengimami salat (istisqa'). Benih-benih itulah yang memberikan spirit intelektual hingga di kemudian hari dia berhasil menembus sebuah universitas bergengsi di Amerika, Harvard University.
Prestasi akademik tersebut bagi Yudian adalah sebentuk jihad ilmiah. Dalam konteks itu, jihad lebih bersifat ijtihad -pembuktian akademik dengan menulis, mempresentasikan, dan menerbitkan makalah-makalah berbahasa Inggris dalam berbagai forum akademik bergengsi di Amerika, Australia, Afrika, dan Eropa.
Setelah kembali ke Indonesia dari tugas menunaikan jihad ilmiah di Amerika, kini kita patut mengapresiasi sepak terjang dan kiprah Yudian berikutnya. Hal tersebut sangat menarik karena setelah era Nurcholish Madjid, nyaris tidak ada yang baru dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer. Kenyataan itu tidak bisa dimungkiri karena kajian-kajian tentang keislaman sering bertumpu pada gagasan Cak Nur -sapaan Nurcholish Madjid. Dia dianggap sebagai salah seorang pemikir muslim kontemporer yang berani menerobos dinding-dinding konservatisme dan fundamentalisme yang mewabah di kalangan umat Islam.
Bersamaan dengan itu, Cak Nur ditahbiskan sebagai pemikir dengan spirit pembaruan. Apa yang kemudian menarik dari fenomena tersebut? "Demam Cak Nur" mewabah di mana-mana. Nyaris semua generasi pemikir muslim Indonesia hingga kini menjadikan Cak Nur sebagai mahaguru tanpa berusaha menandingi kehebatannya.
Kenyataan itulah yang disikapi secara kritis oleh Yudian dalam buku Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard. Berbeda dengan buku-buku yang ditulis sebelumnya, selain kemasan bahasa yang mengalir dan penuh suasana kritik menghunjam, dalam edisi revisi ini Yudian menambahkan lima bab baru sebagai kelengkapan historis edisi pertama. Lima bab itu menyempurnakan pengalaman-pengalamannya dalam presentasi di forum-forum internasional.
Di tengah situasi generasi pemikir muslim Indonesia mengalami "kekerdilan intelektual", Yudian hadir seakan ingin membuktikan kapasitasnya bahwa menjadi seorang pemikir muslim harus berani melampaui pencapaian-pencapaian tokoh-tokoh kita. Kepada mereka yang "demam Cak Nur", misalnya, Yudian menyebut mereka sebagai kaum neomodernis ideologis, yaitu orang yang memiliki kedekatan ideologis dengan orang yang mengaku sebagai pencetus neomodernis seperti Cak Nur, tetapi tidak memiliki kemampuan literer neomodernis. Mereka hanya bisa berbahasa Inggris, tetapi tidak mampu berbahasa Arab, apalagi bahasa Prancis dan Jerman. Keterbatasan itulah, menurut Yudian, yang mengakibatkan mereka menjadi kaum neotaklidis (hlm 133).
Untuk bisa keluar dari kungkungan neomodernis ideologis yang berujung pada neotaklidis, Yudian menyarankan kita hijrah menuju kaum neomodernis epistemologis. Yaitu, orang yang bisa berbahasa Arab dan Inggris (bahkan Prancis dan Jerman) walau tidak punya hubungan ideologis dengan Cak Nur (hlm 134). Dengan kemampuan literer seperti itulah Yudian berharap siapa pun mampu dan berani mengkritik secara mendalam pemikiran-pemikiran Cak Nur, bahkan Hassan Hanafi dan Al-Jabiri, sebagaimana yang dilakukannya di pentas internasional.
Kritik terbuka dan tak kenal kompromi itulah yang menjadi ciri khas buku tersebut. Dari bab ke bab, Yudian selalu menyelipkan kritik pedas untuk doktor-doktor Islam di Indonesia yang punya kemampuan literer sangat terbatas tapi mengatasnamakan diri sebagai neomodernis. Gejala tidak produktif itulah yang mengusik Yudian untuk mengkritik agar gelar doktor, bahkan professor, di bidang pemikiran Islam, utamanya lulusan luar negeri, tidak hanya menjadi simbol formal yang dibangga-banggakan. Karena itu, dia tidak segan-segan menyebut gerakan mereka ibarat mengaum di kandang domba, belum sampai pada level mengaum di kandang singa sehingga pantas disebut jago kandang yang meneriaki jago kandang.
Kritik pedas yang hampir mewarnai buku-buku lain karya Yudian tidak lebih sebagai suatu upaya untuk kembali menyadarkan bahwa menjadi ulama atau pemikir Islam yang serius tidak hanya (cukup) berlandasan pada satu-dua literatur. Dibutuhkan kajian yang komprehensif -tentu dengan perangkat penguasaan bahasa yang tidak sekadar Arab dan Inggris. Dalam kata pengantar karya Hassan Hanafi, Hermeneutika Alquran?(2009), Yudian mengakui bahwa kritik-kritiknya merupakan suatu strategi untuk "melampaui" pengalaman akademik "pedagang besi tua", yaitu kuliah di luar negeri dengan "mengumpulkan barang rongsokan" dan memamerkannya di Indonesia seolah-olah "barang baru".
Buku itu sangat penting dijadikan referensi untuk menelusuri pengalaman akademik Yudian pada satu sisi dan memetakan gerakan pemikir muslim kontemporer di Indonesia pada sisi lain. Dengan demikian, kita bisa membedakan generasi yang betul-betul bergerak dinamis menjadi neomodernis epistemologis dan yang hanya puas mengekor menjadi neomodernis ideologis. (*)
Yusrianto Elga , Alumnus PP An-Nuqayah Sumenep, tinggal di Jogjakarta
---
Judul Buku : Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard
Penulis : Prof K. Yudian Wahyudi PhD
Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan : Edisi revisi, 2009
Tebal : xii + 187 halaman
Sumber www.jawapos.co.id
28 Agustus 2009
Generasi Neomodernis Epistemologis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar