Oleh mohamad ali hisyam*
Selama lebih kurang sepekan muhibah di Nanggroe Aceh Darussalam, saya menjumpai sejumlah hal baru dan menarik, terlebih berkaitan dengan khazanah literasi Nusantara. Sepanjang perjalanan darat dari Medan ke Lhokseumawe, saat memasuki wilayah Aceh, pandangan saya kerap bersitatap dengan papan nama bertulisan ''Perpustakaan Gampong''. Gampong adalah sebutan untuk kampung, lingkar sosial terkecil dalam hierarki masyarakat Tanah Rencong.
Gampong pulalah titik awal dari pemulihan kembali peradaban Aceh. Sebagaimana kita mafhum, provinsi di ujung barat Indonesia itu relatif baru sembuh dari berbagai lara yang sekian lama mendera. Setelah lebih 30 tahun masyarakat dicekam konflik, baik karena sergapan daerah operasi militer (DOM) maupun tekanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), daerah tersebut juga diguncang musibah superdahsyat tsunami di penghujung 2004. Sejarah perih dan duka mengiris itulah yang sekian tahun menjadi selubung psikologis masyarakat Aceh untuk mampu bangkit dari keterpurukan. Pengalaman historis yang pahit dan datang bertubi turut membirit laju perkembangan sosial penduduk Aceh. Kendati mulai berangsur normal, panorama sosial di Aceh masih menyisakan tangis yang tertahan, sinisme penuh ratapan, serta trauma akibat tekanan.
Satu-satunya jalan agar mereka terlepas menghirup iklim kebebasan adalah gairah dan kebersamaan. Salah satu cara yang dirilis pemerintah guna menyuluh spirit peradaban adalah menggugah minat baca dan bakat tulis masyarakat. Upaya itu diwujudkan secara simultan dan masif. Dengan program bertahap, pemerintah mendirikan perpustakaan sederhana di beberapa gampong dan ditebar di sekujur Aceh. Dilampiri slogan ''Aceh Membaca, Aceh Berjaya'', animo serta kesadaran publik hendak dipulihkan supaya mencari suasana keilmuan yang lega, dengan cara membaca. Agar lekas berbaur dengan kemajuan dan demi cita-cita merengkuh kejayaan, rakyat diajak untuk berakrab-akrab dengan dunia pustaka. Guna membuka cakrawala dunia, membaca adalah jendela yang niscaya.
Hal yang unik, letak perpustakaan gampong di Aceh selalu berdampingan dengan meunasah (surau atau musala). Fenomena itu sekaligus penanda bahwa masyarakat Aceh pada satu sisi ingin menggenggam kemajuan dunia, di sisi lain tak sudi berjauhan dengan nilai-nilai agama. Di provinsi Seribu Bukit itu, agama (Islam) adalah acuan utama. Bagi mereka, panduan syariat tak bisa ditawar dan ditukar dengan apa pun. Di lanskap sejarah nasional, terukir nama Sultan Malikus Saleh dan Kerajaan Samudra Pasai sebagai penyebar agama dan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Menyandingkan perpustakaan gampong dan meunasah tak ubahnya simbol dari idealisme kembar orang Aceh yang senantiasa menginginkan kepentingan dunia dan akhirat harmonis berjalan dan rukun berkelindan.
Walaupun bahan bacaan di perpustakaan gampong masih terbatas, pemerintah setempat bertekad untuk terus membina dan mengembangkannya. Dengan bantuan armada mobil perpustakaan keliling, setidaknya setiap 20 hari sekali koleksi-koleksi buku di perpustakaan gampong ditambah dan disirkulasi antara satu dengan yang lain. Faktor kejenuhan pembaca disiasati melalui subsidi silang judul-judul buku baru yang menyegarkan.
Perpustakaan gampong adalah wujud dari ketanggapan banyak pihak untuk merekonstruksi bangunan sosial di Aceh. LSM Cerdas Bangsa, Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta BRR NAD-Nias adalah pihak-pihak yang berjasa di balik lahirnya unit perpustakaan yang hingga kini sudah berjumlah 42 buah tersebut. Untuk menopang program itu, pemerintah Aceh juga meluncurkan bantuan dana peumakmue gampong (pemakmur kampung) serta alokasi dana gampong yang berjumlah Rp 100 juta per tahun. Dana itu masih diakumulasi dengan sejumlah bantuan lain yang mencapai total sekitar Rp 300 juta. Respons strategis semacam itulah yang sejatinya diharapkan terus bermunculan, memberikan kontribusi nyata bagi penyemaian spirit kebangkitan penduduk Bumi Serambi Makkah.
Bagaimanapun, kita tak boleh menutup mata bahwa Aceh adalah sentrum penting dari dinamika keilmuan, sastra, dan budaya Nusantara. Wilayah tersebut menjadi bagian penting dari perkembangan peradaban rumpun Melayu di Asia Tenggara. Sejarah telah bernas menuturkan, sangatlah banyak ulama, pujangga, dan budayawan ternama yang lahir dari daerah kaya migas itu. Sebutlah beberapa di antaranya adalah Teungku Chik Pante Kulu, Hamzah Fansuri (yang dinobatkan sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu oleh Abdul Hadi W.M.), Abdur Rauf Assingkily (Syahkuala), Syamsuddin Assumatrai, hingga Nuruddin Arraniri.
Aceh juga merupakan muara dari beragam kultur dan etnis. Akronim ''A-C-E-H'' terdiri atas pertemuan antara bangsa (A)rab, (C)hina, (E)ropa, dan (H)india. Kondisi multikultur itu justru mampu jadi pemacu masyarakat untuk saling menghimpun potensi menyumbangkan kontribusi positif bagi kebangkitan Aceh. Mengacu pada teori melting pot-nya Ricardo L. Garcia, kemajemukan tersebut adalah sumber beragam kekuatan yang bertemu dan bahu-membahu. Termasuk dalam pengembangan spektrum perbukuan di sana.
Demikianlah. Sepercik pengalaman di pucuk Pulau Andalas sudah memperkaya mozaik literasi kita. Ihwal kebangkitan sebuah bangsa dapat dibangun dari pembacaan dan pemaknaan kita terhadap pengetahuan yang termaktub di lembaran-lembaran buku. Cita kemajuan bisa dirancang sejak dini dan dimulai dari sendi yang terkecil, yaitu kampung. Teduh rasanya membayangkan bila seluruh daerah di seantero Nusantara sudi meniru langkah sejuk semacam ini. Menanam rimbun buku di setiap kampung. Semoga. (*)
Sumber Jawa Pos, 30 Agustus 2009
*) Mohamad Ali Hisyam, pustakawan, pengajar Universitas Trunojoyo Madura
31 Agustus 2009
Gairah Serambi Makkah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar