1. PURNAMA
Di rumah itu, raganya tak pernah istirahat.
Kepada ibu dia selalu bilang bahwa dirinya
adalah kumbang. Berhenti adalah pada
bibir-bibir kembang.
Padahal selagi dia masih tenggelam
di ketuban, ibu sudah memilih nama
yang baik untuknya; Purnama.
Tapi apatah arti sebuah nama.
Ibu lupa bahwa anaknya adalah campuran
sel telur dan sperma. Karena kuat ia bertahan.
Purnama hanya kembali sebulan sekali.
"Habis ganti baju langsung pergi," kata Ibu sambil
memecah-mecahkan matahari di piringnya. Membelah-belah
matahati kesayangannya.
Pulang, bagi Ibu, adalah ketika Purnama menambah
hiasan di lemari jati. Sekali waktu dia bawa Toa, lain hari
dia bawa luka. Tapi, yang membunuh ibu adalah ketika
hiasan terakhir tiba lewat sebuah berita duka.
Purnama mati membela petani desa.
(Lampung, 4 September 12)
2. Cikini hampir jam 12
; D. Anggraeni
Suara serak kereta tua yang berulang-ulang kali dipaksa puber
lamatlamat menderu.
Parau suaranya memanggil orang-orang dari arah Gondangdia,
"lekas-lekas, berbarislah."
dikenyotnya besi-besi karat yang menjulur dari stasiun Kota hingga Bogor raya.
Rel-rel besi yang tak bergizi.
Mata tuanya, yang lama sudah rabun jauh, masih dipaksa menjelalat
hingga tengah malam kian dekat.
Di stasiiun Cikini aku menanti.
Berdiri seorang diri setelah mengencani kekasih dua bulan sekali.
Ritual ini mestinya abadi.
Jadi sesuatu yang lebih purba dari prasasti.
Sesuatu yang pasti bukan sekedar imajinasi;
ku khayalkan masa tua, kau terawang hari senja, kita bersama melewatinya.
Cikini, hampir jam 12. Cepat atau lambat kita mesti bergegas.
(Rawajitu, 250712)
3. Di bawah Lampu Jalan
Kuning. Lemah. Sendu.
Di bawah lampu jalan; kau adalah bayangbayang dedaun mangga yang tercerabut.
Hempas. Melayang. Turun ditarik gravitasi. Rebah di aspal yang pasi.
Pucat. Dilindas.
Ditindas.
Dibawah lampu jalan; puisiku dijajah bangsa sendiri. Proklamasi.
Reformasi. Jadi poster-poster sesudah demonstrasi. "Kita belum
merdeka. Kita belum..."
Di bawah lampu jalan; sebuah doa gegas nuju pelataran surga. Ayatnya
beradu cepat dengan ruhnya. Tapi sungguh pun ruhnya tak tahu hendak
kemana. Semasa hidup perbuatan mulianya hanya demonstrasi.
Di bawah lampu jalan; selembar koran tak mampu lagi bicara kejujuran,
wartawan kerap bertarung sendirian. Melawan Pemred dan slip gaji
bulanan. Banyak yang lebih dulu mati di pertengahan bulan.
Di bawah lampu jalan. Semoga yang benderang senantiasa terang.
(Di bawah lampu jalan Rajabasa, 100912)
Profil; Rico Mangiring Purba, dilahirkan di Bandarlampung 2 Agustus 1985. Saat ini bermukim di Bumi Dipasena. Gemar menulis sajak sejak bergiat sebagai Jurnalis magang di Lampung Post.
Sumber: Kompas, 12 September 2012
13 September 2012
Sajak-sajak Rico Mangiring Purba
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar