- Oleh Munawir Aziz
Beberapa waktu lalu, Museum Radya Pustaka di Solo kehilangan beberapa naskah penting dan benda berharga lain. Pada sisi lain, beberapa anggota DPR masih bersikeras membangun gedung baru senilai Rp 1,3 triliun.
Padahal, beberapa pusat dokumentasi, museum, dan perpustakaan tersebut merupakan pusat arsip bagi warga negeri ini. Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin merupakan salah satu ”rumah sejarah” bangsa ini untuk menengok masa lalu, dari arsip sastra dan budaya, serta pelbagai data penting terkait dengan proses pendewasaan diri masyarakat kita.
Pusat dokumentasi ini menyimpan ratusan ribu naskah dari sastrawan Indonesia, serta merekam jejak zaman yang ditorehkan ratusan penulis atas wajah negerinya. Tersimpan sekitar 8.000-an buku fiksi, 12.000-an buku nonfiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, 517 makalah, skripsi dan disertasi 630 judul, 732
kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, juga 740 foto pengarang.
Dengan demikian, PDS HB Jassin tak hanya menjadi rumah literer untuk menyimpan naskah, merawat arsip dan data sastra, namun juga rumah ingatan bangsa Indonesia. Jika rumah arsip sebuah bangsa tak lagi terawat maka amnesia sejarah akan menjadi penyakit yang siap menggerogoti otak dan akal waras masyarakatnya. Amnesia sejarah warga negeri ini, seolah tak hanya terjadi pada tingkatan elite, namun juga pada level grass root.
Amnesia sejarah elite politik negeri ini, telah terjadi melalui proses panjang. Historiografi Nusantara menggambarkan konteks kebimbangan sejarah dan dilema identitas ini selama berabad-abad. Nusantara merupakan konsep keragaman yang disatukan etika dan tradisi, yang sekarang ini dapat dilacak melalui batasan geografis Asia Tenggara.
Pada abad 14-16, warga di Asia Tenggara berinteraksi secara sejajar dalam jalur perdagangan, tradisi, dan komunikasi spiritual. Ilmu pengetahuan merupakan nilai penting yang bergumul dengan tradisi, yang membekas dalam berbagai karya agung warga Asia Tenggara lintas kepercayaan.
Mengenali Diri Beberapa peristiwa penting dalam sejarah Indonesia masih menjadi tanda tanya ketika berkelindan dengan kepentingan kuasa. Kisah tragis 1965, pembunuhan misterius 1982-1985, jatuhnya Orde Baru 1998, konflik Aceh 1998-2005, konflik etnis-agama 1996-2002, serta beberapa kasus pembunuhan dan korupsi pada masa reformasi seakan masih gelap. Narasi sejarah untuk membaca Indonesia masih lekat dengan ”sejarah penguasa”, yang menghadirkan bayangan dan data dari ingatan elite penguasa, militer dan politik.
Namun, sejarah dari rakyat kecil masih sangat gelap, hanya muncul sebagai bisikan dan kasak-kusuk. Pada konteks ini, usaha beberapa sejarawan dan aktivis untuk menghadirkan sejarah dari ingatan rakyat kecil, melalui wawancara lisan sebagai oral history, menemukan relevansinya. Yayasan Syarikat di Yogyakarta selama beberapa tahun tekun meriset peristiwa 1965 dari sudut pandang rakyat kecil, sebagai pelaku ataupun subjek terlibat.
Krisis identitas warga Indonesia inilah yang menjadi ancaman serius di tengah kontestasi politik, ekonomi, tradisi, dan ilmu pengetahuan antarbangsa. Jika arsip sejarah tak terselamatkan maka akan berangsur-angsur hilang riwayat Indoensia sebagai negara dan bangsa.
Krisis sejarah dan identitas inilah yang perlu dijawab oleh struktur elite sampai alit, dari penguasa sampai rakyat. Tragedi PDS HB Jassin dan beberapa museum-pustaka lainnya, merupakan sinyal penting untuk menyadarkan bangsa ini dari krisis identitas.
Kesadaran sejarah perlu dibangkitkan untuk mengenali kembali diri sendiri, sebelum bertindak ke mana, untuk apa, dan bagaimana. Penguatan basis epistemik keindonesiaan inilah yang menjadi tugas penting bangsa Indonesia. Tak hanya pada slogan namun perlu tindakan. (10)
— Munawir Aziz, esais dan peneliti, mahasiswa Center for Religion and Cross-Culture Studies (CRCS) Program Pascasarjana UGM
Sumber: Suara Merdeka, 09 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar