REDAKSI: Buku ini masih sebuah draft novel. Dibahas pertama kali di halaman Perpustakaan Indonesia Buku (14/03/2011) sebagai bagian dari proses pengayaan dan pengujian proses kreatif. Bahkan sejak naskah masih berada dalam sapihan. Berikut ini adalah sekilas rangkuman isi (draft) novel karya Romo GBS Banar, pengajar di Universitas Sanata Dharma.
Saksikanlah di kota-kota besar. Tak ada yang sulit untuk didapatkan. Keinginan apa yang tak terpenuhi jika kita hidup di kota besar? Teknologi, ilmu pengetahuan, hiburan, atau fasilitas modern lainnya yang mampu memanjakan hidup kita. Semua ada dan dapat diraih selama di kantong ada kertas-kertas yang berharga. Tentu saja ini cerita klasik, dan kita mengalaminya sendiri(?).
Dan lihatlah di kampung-kampung kecil. Harus bersusah payah untuk memperoleh sesuatu. Kadang mereka musti hijrah ke kota untuk memperolah yang diinginkan. Termasuk dalam pendidikan. Namun, hijrah itu tak dapat dilakukan oleh setiap orang di kampong. Alternatifnya, orang yang pintarlah yang harus datang ke kampung. Mengajarkan ilmu pengetahuannya yang dibawa dari kota. Dan tentu saja, ini juga kisah biasa. Tapi semangatnya bukan hal biasa. Wow!
Begitulah kisah Suryo dalam novel Hilangnya Halaman Rumahku (HHR) karya G.B. Subanar, dimulai. Kisah satire kenyataan negeri ini.
Suryo, sarjana pendidikan umum dari universitas di Jakarta, harus menjalani ikatan dinas dengan menjadi pengejar di daerah terpencil Maluku. Empat tahun lamanya. Mulanya barangkali keterpaksaan, lalu menjadi biasa, akhirnya berkesan, dan bahkan sangat berkesan bagi Suryo dan daerah di mana ia bekerja.
Menjadi guru, bagi Suryo, ternyata bukan hanya bagaimana mengajarkan ilmu kepada peserta didik, melainkan juga bagaimana menjadi agent of change bagi masyarakatnya. Hal ini dibuktikan oleh Suryo. Perubahan yang diinginkan tentu saja bukan perubahan besar semacam revolusi. Kecil saja, namun mampu membentuk. Sebuah perubahan dari dalam kelas. Memberi penyadaran pada generasi setelahnya.
Suryo menjadi pengajar bagi ilmu eksakta meski sebenarnya bukan faknya. Begitulah guru di kampung kecil, ia harus bisa menjadi guru mata pelajaran apa saja. Suryo berasal dari Jawa (Jogja). Kesukuannya yang Jawa menjadi suku yang diagungkan, nomor wahid, sementara yang lain hanya sub. Dan berbekal suku Jawanya itu, ia melaksanakan misi suci.
Sebagai lelaki dan sudah umur, keterlibatannya dengan seorang perempuan merupakan hal wajar. Ia bertemu dengan seorang dokter cantik yang juga dari Jawa (Malang, tepatnya), yang baru beberapa bulan datang ke tempat terpencil itu, juga karena ikatan dinas. Dokter cantik itu vita namanya. Malaria yang mempertemukan mereka. Suryo terkena malaria dan Vita yang menyembuhkannya. Malarindu tropikangen akhirnya menyelimuti mereka. Dan mereka tahu bagaimana menemukan obatnya, salfatirangkul.
Meski cinta tersambut, tubuh perpeluk, dan bibir saling menggigit, namun jalan tak semulus angan. Cinta Suryo tengelam bersama Vita di kedalaman laut. Vita mati, dikemanakan cinta Suryo? Suryo memilih menjadi lelaki yang cemen dengan tidak memilih perempuan mana pun pengganti Vita. Padahal, dua perempuan layaknya bidadari sempat terhidang di depannya. Wow!
Meski, persoalan cinta sempat mengemuka, ternyata hanyalah sebuah pemanis. Kisah-kisah sosial, budaya, politik, agama dan pendidikan lebih mendominasi dalam novel HHR ini. Termasuk juga kisah satire dan krirtis yang selama ini dialami daerah-daerah yang konon tidak diperhatikan oleh Negara. Novel HHR ini menunjukkan fakta-fakta yang filosofis atas kesatiran negeri ini.
Setelah tugasnya selama empat tahun selesai, Suryo mendapatkan beasiswa untuk meneruskan kuliahnya di UNY, daerah asalnya. Kesatiran negeri ini ternyata belum berhenti. Suryo masih banyak memperlihatkannya melalui sungai kali Code.
Kisah dalam novel ini ditutup dengan revolusi 1998 dan kerusuhan yang terjadi di Maluku dan Ambon. Namun, sekali lagi, Suryo tak melakukan perubahan dengan cara menjadi bagian dari revolusi, tapi hal kecil. Kalau dulu dari dalam kelas, sekarang dari dalam lingkaran diskusi mahasiswa Maluku-Ambon yang kuliah di Yogyakarta. Kecil saja, sederhana, namun membentuk.
Dan selanjutnya, pembaca akan dihadapkan pada kedalaman falsafah Jawa dan hikmah-hikmah kehidupan lainnya. Selamat mendengarkan ceramah dari seorang Romo!
Daftar Isi
01. *SERANGAN MALARIA 03
02. *MENJADI GURU SERBA BISA 37
03. *MELINTASI PADANG ALANG-ALANG 85
04. *NEGERI ANGIN 153
05. *KETERBATASAN MENGATASI ALAM 189
06. *PULANG KAMPUNG 217
07. *NAIK RUMAH – MEMILIH HIDUP MEMBUJANG 269
08. *YANG TERASING DI TANAH SENDIRI 303
09. *AMOK 341
(Fairuzul Mumtaz a.k.a Virus)
Sumber www.indonesiabuku.com
0 komentar:
Posting Komentar