Oleh: Agus M. IrkhamAda anomali! Ketika pemerintah menyatakan angka melek aksara lebih dari 90 persen, pada saat yang sama minat masyarakat berkunjung ke perpustakaan masih rendah. Berdasarkan hasil jajak pendapat tentang minat baca yang pernah dilakukan Kompas (14/2/2009) dari total responden yang dicuplik secara sistematis di beberapa kota besar seperti Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal: 75,5 persen mengaku tidak pernah berkunjung ke perpustakaan dalam sebulan terakhir.
Rendahnya intensitas kunjungan ke perpustakaan tersebut bisa menjadi ukuran rendahnya pula tingkat minat baca.
Mengapa perpustakaan? Karena di tempat inilah para pendaras buku berkumpul. Mereka pergi ke perpustakaan dengan sengaja, bukannya iseng. Ramainya jumlah pengujung dapat dibaca sebagai tingginya minat baca. Sebaliknya jika jumlah pengunjung dan peminjam buku bisa dihitung dengan jari, maka itu artinya minat baca masyarakat masih rendah.
Pertanyaannya, faktor-faktor apakah yang membuat orang enggan datang ke perpustakaan? Benarkah semata-mata karena memang tidak mempunyai minat baca? Atau karena faktor lain? Misalnya karena akses ke lokasi yang sulit, kenyamanan ruang baca, sikap para staf/pustakawannya, varian layanan yang diberikan, serta sistem sirkulasi (meminjam dan mengembalikan) yang tidak memudahkan.
Dari beberapa temuan di lapangan, keengganan datang ke perpustakaan (terutama perpustakaan daerah/milik pemerintah) ternyata lebih banyak disebabkan oleh sikap para staf dan pustakawannya yang kurang bersahabat. Rata-rata mereka bermuka masam, jutek, saat melayani pengunjung tidak menunjukkan antusiasme yang tinggi, cenderung malas-malasan, dan sesama staf sering terlihat menggerombol di pojok ruang—ngrumpi. Sudah begitu ketika ditanya tentang suatu buku yang hendak dicari/dibutuhkan, jawaban yang seringkali muncul: silahkan cari sendiri!
Tentu saja sikap demikian sangat tidak menguntungkan bagi upaya mengkampanyekan kegemaran membaca. Pustakawan sebagai orang yang senantiasa berlekatan dengan media baca, seperti buku dan media teks lainnya justru menampakkan diri sebagai pribadi yang tidak menyenangkan. Sebuah promosi negatif, jika tidak mau disebut menggembosi ikhtiar menggenjot minat baca masyarakat.
Ibarat perusahaan, buku adalah produk yang akan dijual, dan pustakawan menjadi pemasarnya (marketers). Dalam proses memasarkan itu, pembawaan diri, sikap, perilaku (attitude) para marketers menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan. Oleh karenanya membangun kompetensi perilaku atau sikap (behaviour competence) bagi tiap-tiap pustakawan, dalam konteks mengefektifkan perpustakaan sebagai pusat gerai adab sekaligus untuk menghilangkan anomali melek aksara, menjadi sangat penting. Lebih-lebih di tahun-tahun mendatang. Tahun di mana bakal terjadi perubahan besar-besaran menyangkut pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual (katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi digital, otomasi—berbasis image, byte, sistem komputer— library 2.0.
Library 2.0 (perpustakaan generasi kedua) mensyaratkan adanya pustakawan yang gaul, trendi, sekaligus ahli. Gaul mempunyai pengertian bahwa seorang pustakawan harus lincah berinteraksi dan berkomunikasi tidak saja dengan pemustaka tapi juga pihak-pihak yang berkepentingan, berkaitan, dan berurusan dengan perpustakaan. Atau lebih tepat disebut sebagai pihak yang berkaitan dengan kampanye peningkatan budaya baca. Misalnya jurnalis, penerbit, toko buku, penulis, klub (pembaca) buku, komunitas literasi, dan media massa. Baik cetak maupun elektronik.
Ia mampu memposisikan diri sebagai jembatan atau penghubung atas berbagai macam bentuk kepentingan antar stakeholders dan shareholders budaya baca. Karena yang sudah-sudah, misalnya penerbit ketika ingin masuk ke perpustakaan, taruhlah perpustakaan daerah (kabupaten/kota) dengan menawarkan program pameran buku kerap menghadapi kesulitan karena tidak ada orang perpustakaan yang berani “pasang badan”. Padahal dalam acara pameran buku itu diadakan pula acara pengiring, seperti bedah buku, jumpa penulis, hingga pelatihan menulis.
Namun karena respon yang diharapkan muncul dari perpustakaan tidak sebesar harapan penerbit, acara yang ditawarkan tersebut menemui kegagalan. Selama ini kegagalan penawaran bentuk kerjasama itu biasaanya karena persoalan dana, dan keterbatasan sumber daya manusia. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh, yang demikian bukanlah sebab, tapi akibat. Akibat dari sikap tertutup dan tidak percaya diri terhadap tawaran kerjasama yang diulurkan dari pihak luar/penerbit.
Maka kebutuhan seorang pustakawan yang gaul dan mempunyai sikap hidup dan pola pikir yang terbuka menjadi penting. Ia akan terus berupaya menambah jejaring, sehingga perpustakaan bisa benar-benar hidup, dan semakin dicintai oleh publik pengguna atau masyarakat pemustaka.
Sikap gaul ini juga bisa memunculkan ikatan emosional yang kuat antara pengunjung dengan pustakawan. Sehingga segala bentuk sikap dan gaya pustakawan berada dalam satu tarikan nafas dengan upaya untuk memasarkan perpustakaan tempat ia bekerja.
Gaul ini juga menyangkut pemanfaatan teknologi. Apalagi di jaman ini, di mana internet semakin tumbuh dan berkembang. Pustakawan harus menjadi orang pertama yang tercerahkan melalui yang ia baca. Pustakawan harus memiliki akun sendiri di situs jejaring sosial, menjadi bagian dari ”jamaah facebookiyah”, mejeng di friendster, juga jika memiliki video yang bagus, tentu yang berkaitan dengan program budaya baca bisa ia unggah ke youtube.
Di situs jejaring sosial tersebut pustawakan bisa berkomunikasi dengan pemustaka secara pribadi, tanpa harus disertai dengan perasaan pekewuh (sungkan) layaknya saat bertemu di kantor. Di situlah seorang pustakawan bisa melampiaskan ”bakat narsis”nya.
Gaul melalui situs jejaring sosial, bisa digunakan pustakawan untuk menginformasikan buku-buku terbaru koleksi perpustakaan, jadwal acara perbukuan, hingga menjadi cara ia ”mengedukasi” publik untuk misalnya bagaimana melakukan katalogisasi buku, baik secara manual maupun elektronik (otomasi). Termasuk misalnya menjadi konsultan bagi keluarga atau pribadi yang ingin mendirikan perpustakaan keluarga, dan taman baca.
Selain aktif di situs jejaring sosial, seorang pustakawan 2.0 wajib hukumnya memiliki website pribadi, minimal blog. Di situ bisa menjadi ajang bagi pustakawan untuk menuliskan catatan-catatan (tidak) penting berkaitan dengan pekerjaannya maupun pengalaman keseharian. Lebih baik lagi jika diisi dengan tulisan atau content yang spesifik. Blog dan website bisa menjadi bukti transformasi diri yang terjadi pada diri pustakawan, dari yang sebelumnya hanya seorang pembaca, bergeser menjadi seorang penulis. Meskipun baru menjadi penulis blog. Menulis di blog juga menjadi cara paling baik untuk menerapkan doktrin manajemen modern: tulis apa Anda dikerjakan, kerjakan apa yang Anda tulis!
Pengertian trendi dalam makna yang paling dasar adalah menyangkut penampilan dan cara berpakaian. Selama ini pustakawan memakai seragam atau uniform yang sama, yaitu lazimnya seragam PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sehingga terlihat sangat resmi, menjadikan kesan birokratisnya menjadi sangat kental. Seorang pustakawan di tahun-tahun semua serba ”cair” hendaknya menggunakan ”seragam” yang tidak formal. Kalau tidak selama sepekan penuh, minimal seminggu sekali. Taruhlah tiap hari sabtu.
Bentuk tampilan trendi itu misalnya dengan memakai kaos yang bertulisankan kata-kata penuh motivasi yang berkaitan dengan ajakan untuk membaca. Tidak lupa menyematkan pin budaya baca pula di kaos dan topi. Kalau biasanya memakai celana kain, bisa jug memakai celana jeans. Kesan trendi ini akan mempersempit jarak antara pustakawan, yang pada akhirnya perpustakaan sebagai institusi dengan pengunjung. Terutama mereka anak-anak muda.
Secara tidak langsung cara demikian juga memberikan pengertian kepada anak-anak muda, ternyata cinta buku tetap masih bisa berpenampilan modis. Apalagi sekarang era budaya pop yang sangat luber dengan ikon-ikon produk massa seperti kaos, topi, pin dan aksesoris lainnya. Itu semua bisa dipinjam ”bentuk, wujud atau wadahnya” (context) untuk kemudian ”isinya” (content) diubah dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya mempopulerkan perpustakaan (ajakan membaca).
Penindihan ikon budaya pop untuk kampanye budaya baca (dan menulis) juga bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk melancarkan program kampanye keberaksaraan fungsional. Contoh sederhana bagi pengunjung, khususnya anak-anak muda yang sudah memiliki usaha pembuatan kaos atau merchandiser atau yang baru akan memulai bisa menggunakan tema ”buku dan budaya baca” sebagai salah satu varian tema produk.
Buku dan aktivitas membaca merupakan produk unggulan, tentu saja cara-cara penawaran yang dipilih pun mestinya dengan cara-cara yang unggul pula Ini penting karena, kesan yang muncul di sebagian besar anak-anak muda, khususnya para remaja, perpustakaan, buku, identik dengan kacamata tebal, tidak keren, tidak gaul, tidak punya teman, terlalu serius, dan tidak fun (menyenangkan).
Dengan perubahan uniform para pustakawan tersebut, apalagi disertai pula dengan perubahan sikap atau attitude, para pengunjung akan semakin tertarik untuk mengenal perpustakaan.
Tentu saja sikap dan cara membawa diri (gaul dan trendi) harus diletakkan pada dasar penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu. Seorang pustakawan harus mempunyai keahlian yang spesifik (expert), dan bisa mengomunikasikan keahlian yang dimiliki tersebut. Misalnya ada pustakawan yang sangat expert tentang rak buku. Mulai dari model atau pola, pilihan bahan, penempatan, hingga anggaran yang dibutuhkan. Nah dari keahliannya tersebut, bisa ia gunakan untuk menjalin relasi lebih akrab dengan pengunjung, baik pribadi atau pun mewakili institusi, yang hendak membuat rak buku/setup perpustakaan.
Keahlian yang spesifik yang dimiliki seorang pustakawan akan memudahkan perpustakaan dalam membuat varian program layanan. Salah satunya bisa dibuat klub buku yang didasarkan pada minat-minat tertentu. Misalnya ada pustakawan yang ahli di bidang teknologi informasi. Melingkupi perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Sehingga ia bisa menjadi tempat acuan bagi pengunjung yang mempunyai masalah dengan komputer dan jaringan internet. Ia menjadi penggerak utama pembentukan klub komputer. Di setiap pertemuan bisa digunakan untuk membedah buku terbaru tentang komputer, saling berbagai tips aplikasi, termasuk pembicaraan yang mengarah kepada bisnis, dan sebagainya.
Selain itu, diperlukan pula pustakawan yang pintar menulis, dan tulisannya telah banyak dipublikasikan media dan penerbit. Keahlian khusus yang menjadi merk/brand untuk masing-masing pustakawan tersebut dapat menjadi magnet tambahan buat perpustakaan selain buku dan koleksi lainnya. Sehingga ada ikatan emosional-fungsional yang kuat antara pustakawan dengan pemustaka.
Pustakawan yang mahir menulis bisa menggagas klub menulis. Klub tersebut diikuti oleh pemustaka yang tertarik dan berniat belajar menulis. Yang memfasilitasi sekaligus jadi mentor adalah pustakawan yang pandai menulis. Jika tidak pandai, minimal ia mempunyai jejaring ke penulis mapan. Sehingga penulis mapan tersebut bisa dihadirkan di forum klub menulis.
Selain klub menulis bisa saja misalnya menelurkan program Klinik Baca Tulis (KBT). Program ini merupakan peniruan persis atas Posyandu atau Poliklinik yang memberikan pelayanan kesehatan fisik kepada masyarakat luas. Hanya saja, karena KBT, tentu pelayanannya tidak ditujukan kepada masalah fisik (sakit), tapi sakit yang berupa problem-problem membaca dan menulis yang mungkin, melilit mereka. Pasiennya adalah mereka yang ingin belajar membaca dan menulis, sedangkan dokternya adalah para penulis. Pelayanan diberikan secara cuma-cuma alias gratis.
Tujuan utama penggagasan KBT, pertama, adalah untuk mengoptimalkan peranan perpustakaan sebagai penggerak utama (prime mover) menuju masyarakat berkesadaran membaca dan menulis. Sebagai salah satu kegiatan yang dapat membawa masyarakat pada pencapaian peradaban yang tinggi. Kedua, ingin menampung keluhan dan semacamnya berkaitan dengan buku, membaca, dan menulis.
KBT bersedia menjadi keranjang sampah atau wadah apapun yang bermanfaat bagi masyarakat yang ingin meningkatkan kemampuan membaca dan menulisnya. Karena sungguh tidak mudah seseorang yang ingin bertanya soal buku yang baik dan menarik, dan juga soal kegiatan membaca dan menulis yang menyenangkan, menemukan orang yang tepat untuk melayani keinginan bertanya itu.
Ketiga, KBT ingin membuat dan melontarkan isu ke tengah masyarakat tentang pentingnya membaca dan menulis (buku). Merangsang tumbuhnya potensi membaca dan menulis di tengah masyarakat luas. Klinik ini mencoba memangkas kendala-kendala yang mengerangkeng seseorang untuk memunculkan potensi membaca dan menulis.
Konsepsi dan tujuan KBT di atas sebagian besar merupakan penulisan ulang, dengan sedikit modifikasi, atas rumusan Hernowo yang tertulis dalam buku Main-Main dengan Teks Sembari Mengasah Potensi Kecerdasan Emosi (Kaifa, 2004).
Poin pentingnya, keahlian tersebut bukan malah membuat seorang pustakawan menjadi ”tidak tersentuh” tapi justru dengan keahlian khusus yang ia miliki itu bisa menjadi alat untuk sok kenal sok dekat dengan para pemustaka. Sampai di sini, muncul kesadaran baru: perpustakaan sebagai institusi garda terdepan penggerak kampanye budaya baca dan tulis harus mencari formulasi yang tepat untuk ”menjual” kompetensi yang tiap-tiap pustakawan miliki.
Maka dari itu, syarat pengangkatan seorang pustakawan haruslah disertai dengan prasyarat kompetensi dasar atau keahlian khusus yang dikuasi. Kalau belum ahli, perpustakaan harus menciptakan mekanisme yang sifatnya built in (misalnya melalui kebijakan sertifikasi pustakawan) agar para pustakawan yang mempunyai minat di bidang-bidang tertentu itu bisa punya kesempatan belajar lagi untuk semakin mengasah kompetensinya.
Seorang pustakawan generasi kedua juga harus mempunyai jiwa kewirausahaan. Yaitu kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses institusi. Kreatifitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.
Menurut Purbayu Budi Santosa (2004) performa kreatif dan inovatif hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan, dengan ciri-ciri: Pertama, penuh percaya diri, indikatornya penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin bertanggungjawab. Kedua, memiliki inisiatif, indikatornya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif. Ketiga, memiliki motif berprestasi, indikatornya terdiri atas orientasi pada hasil dan wawasan ke depan. Keempat memiliki jiwa kepemimpinan, indikatornya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak. Dan yang kelima, berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan, oleh karena itu menyukai tantangan.
Saat meluncurkan Toko Buku Gramedia di Grand Indonesia, Jakarta (19/12/2008), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa bangsa yang maju pasti memiliki masyarakat yang maju pula. Masyarakat yang maju ditopang oleh masyarakat yang gemar membaca buku. Reading society menjadi prasyarat utama menuju advance society. Salah satu sarana penting membentuk reading society adalah perpustakaan.
Kaitannya dengan pernyataan Presiden SBY tersebut dalam bayangan saya, andai tiap pustakawan terutama mereka yang bertugas di perpustakaan milik pemerintah mempunyai kompetensi sikap dan skill berupa gaul, trendi, ahli, sekaligus memiliki jiwa kewirausahaan, maka tujuan besar: advance society akan benar-benar segera terwujud.
Gaul, trendi, ahli. Tiga lema itu pula yang menjadi salah satu isi dari buku The Art of Library ini. Sejauh amatan saya, harus diakui jumlah literatur atau bacaan yang memuat perkembangan dunia literasi (keberaksaraan), khususnya tentang perpustakaan masih sangat sedikit. Dari yang sedikit itu pun, sebagian besar ditulis oleh orang yang justru tidak berkecimpung secara intens dan langsung di dunia pusdokinfo (kepustakawanan).
Nah, pada titik itulah, kehadiran buku ini menjadi penting. Tidak saja menambah jumlah bacaan yang masih sedikit itu, tapi lantaran ditulis oleh sosok yang telah bertahun-tahun bergelut di bidang arsip, dokumentasi, dan perpustakaan. Karena ditulis oleh seorang praktisi, tentu saja ide dan inspirasi yang muncul di buku ini bersumber dari pengalaman di lapangan. Oleh karenanya, tawaran-tawaran perbaikan dan wacana yang digulirkan pun sangat realistis.
Selain berbicara tentang kualifikasi yang harus dimiliki seorang pustakawan, serta perkembangan dunia baca tulis kaitannya dengan keberadaan perpustakaan, secara khusus, Endang Fatmawati, penulis buku ini, menyoroti perkembangan praksis pengelolaan perpustakaan di perguruan tinggi. Yang demikian wajar, mengingat sosok pustakawan berprestasi nasional ini dalam kesehariannya bekerja di perpustakaan perguruan tinggi (Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang).
Pendek kata ini, buku ini merupakan sebuah buku referensi penting dunia literasi yang patut dibaca dan dikoleksi. Buku referensi yang memberikan pijakan pengetahuan (kognisi), afeksi, dan simulasi seni mengelola library.
Judul Buku: The Art of Library–Ikatan Esai Bergizi tentang Seni Mengelola Perpustakaan
Penulis: Endang Fatmawati, S.S., S.Sos., M.Si (Pustakawan Perguruan Tinggi Berprestasi II (DIKTI) 2009
Kata Pengantar: Harkrisyati Kamil (Presiden Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia – ISIPII)
Penerbit: BP UNDIP, Semarang
Tebal Buku: xxii + 315 Halaman
0 komentar:
Posting Komentar