Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan sebuah berita bahwa sekitar 80 % warung kejujuran yang didirikan di sekolah mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan ini bermuara pada ketidakjujuran para siswa dalam melakukan transaksi jual beli di warung kejujuran.Kenyataan ini, sungguh memprihatinkan !
Fenomena di atas menunjukkan bahwa generasi muda di Indonesia rata-rata belum memiliki karakter yang kuat untuk berbuat jujur. Tentu hal ini tidak mutlak salah mereka. Pendidikan kita memang cenderung lebih mengedepankan aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotorik. Hal ini perlu diubah dengan memberikan pendidikan karakter sejak dini.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domein psikomotorik). Seperti kata Aristotle, karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Menurut Wynne (1991), sebagaimana dikutip Dwi Hastuti Martianto (2002) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Berbasis Perpustakaan
Perpustakaan sekolah merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pendidikan karakter. Pendidik dan peserta didik dapat memanfaatkan perpustakaan untuk mengaplikasikan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Artinya, membentuk karakter menjadi pengelola sekaligus pengguna perpustakaan yang baik.
Untuk membentuk karakter peserta didik melalui perpustakaan setiap sekolah perlu memasukkan perpustakaan sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah. Pihak sekolah dapat mengalokasikan waktu minimal dua jam per minggu untuk mata pelajaran perpustakaan. Berbagai kegiatan yang ada di perpustakaan seperti : pengolahan bahan pustaka, klasifikasi bahan pustaka, layanan bahan pustaka, penelusuran informasi dan teknik membuat resensi buku merupakan menu wajib pelajaran perpustakaan.
Perpustakaan mengajarkan beberapa karakter kepada kita, pertama,cinta ilmu pengetahuan. Saat ini sebagian besar perpustakaan sekolah di tanah air belum memiliki pustakawan. Untuk itu, pendidik dan peserta didik dapat bersinergi untuk mengelola sekaligus menggunakan perpustakaan sekolah.
Buku adalah kumpulan ilmu pengetahuan. Aktivitas bersama menempel label buku, memasang kartu buku, memberi kantong kartu buku, dan inventarisasi bahan pustaka mengajarkan kepada peserta didik untuk cinta kepada ilmu pengetahuan. Selain itu juga menanamkan nilai penghargaan kepada buku di hati peserta didik.
Kedua, cinta membaca. Kelemahan pendidikan nasional saat ini ialah gagal menumbuhkan kebiasaan membaca pada anak didiknya. Anak-anak tidak dibiasakan untuk menggali informasi dan pengetahuan ”dunia lain” di perpustakaan. Padahal, pada dasarnya setiap manusia apa pun status dan kedudukan untuk mencapai sukses perlu di dukung dengan karakter membaca.
Membudayakan membaca sejak kecil sangat penting untuk mencegah perilaku agresif seorang anak. Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar (H. Witdarmono, Kompas, 8 September 2006). Penelitian Miles dan Stipek menemukan adanya keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agresivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif dibatasi dalam empat golongan, "suka berkelahi", "tidak sabaran", "suka mengganggu", dan "kebiasaan menekan anak lain (bullying)".
Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga, anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat di kelas 5.
Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustrasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka menjadi agresif.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap sosial adalah "suka menolong", "mengerti perasaan orang lain", "punya empati", "punya perhatian kepada yang susah", dan "menolong/menghibur teman yang kecewa". Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD.
Ketiga, cinta kepada perilaku disiplin. Kegiatan layanan peminjaman buku di perpustakaan secara tidak langsung mendidik pengguna untuk mengamalkan perilaku disiplin. Buku yang dipinjam harus dikembalikan dalam kurun waktu tertentu, jika tidak, akan menerima sanksi berupa denda. Ini juga mengajari peserta didik untuk taat pada ”hukum” yang berlaku.
Internalisasi perilaku disiplin ini tentu membutuhkan teladan hidup dari para pendidik. Sudah menjadi rahasia umum di dunia perpustakaan bahwa ada pendidik yang tidak disiplin dalam mengembalikan buku yang di pinjam dari perpustakaan. Bahkan terkadang proses peminjaman pun tidak melalui prosedur yang berlaku.
Keempat, mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berbagi dengan orang lain. Mengembalikan buku tanpa melewati batas akhir peminjaman merupakan aplikasi untuk memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menarik manfaat dari buku yang kita pinjam. Sebaliknya, menunda-nunda pengembalian buku hingga terlambat sama artinya kita menghalangi orang lain mengakses informasi dari sebuah buku.
Terkadang ada perilaku tidak terpuji dari pengguna perpustakaan dengan menyembunyikan sebuah buku kesayangan di rak buku yang bukan tempatnya. Hal ini tentu menyulitkan orang lain untuk menemukan kembali buku ini.
Kelima, mengajarkan tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan karakter langka yang dimiliki oleh bangsa ini. Yang dominan ialah perilaku suka melempar tanggung jawab. Salah satu peraturan layanan sirkulasi adalah jika peminjam buku menghilangkan buku yang dipinjamnya harus mengganti dengan buku yang sama. Makna tersirat dari peraturan ini adalah agar peserta didik memiliki keberanian untuk bertanggung jawab terhadap keselamatan buku yang dipinjamnya. Artinya, keutuhan sebuah buku sehingga terhindar dari sobek, corat-coret, dan terlipat merupakan tanggung jawab penuh peminjam.
Keenam, mengajarkan kejujuran. Di perpustakaan prosedur pinjam-meminjam buku harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Seperti harus memiliki kartu anggota dan dilarang keras menggunakan kartu anggota milik orang lain untuk meminjam buku.
Hikmah dari aturan ini adalah mengajari peserta didik untuk berlaku jujur dalam melaksanakan prosedur pinjam-meminjam buku. Jangan sampai peserta didik menempuh jalur di luar prosedur yang berlaku yang identik dengan perilaku tidak jujur. Betapa banyak terjadi pada hari ini, korupsi merajalela karena perilaku tidak jujur. Tidak mau mentaati aturan yang berlaku dan mengambil jalan pintas.
* Romi Febriyanto Saputro, S.IP, Kasi Binalitbang Kantor Perpustakaan Daerah Kab. Sragen.
**Artikel ini telah dimuat di Majalah Buletin Pustakawan Edisi 2 Th. 2010/ Mei – Agustus 2010
0 komentar:
Posting Komentar