Oleh Asvi Warman Adam
SEKARANG muncul kerinduan kembali pada ideologi Pancasila. Konflik horizontal, radikalisme berlabel agama dan separatisme, serta munculnya gejala disintegrasi bangsa mengakibatkan masyarakat menengok kembali pada sesuatu yang bisa menjadi perekat kesatuan bangsa. Yang tepat untuk itu adalah Pancasila. Maka, secara bertahap peringatan hari lahirnya Pancasila diselenggarakan lagi.
Pada masa sebelumnya, ketika rezim Orde Baru tumbang, kejenuhan terhadap penataran Pancasila mencapai puncaknya. Maka, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan, sedangkan penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) dihapuskan. Pancasila tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi.
Kilas Balik
Sejak kali pertama digagas pada 1945, sejarah Pancasila dapat dibagi atas empat periode melewati beberapa pemerintahan. Fase pertama adalah saat penciptaan, gelombang kedua merupakan masa perdebatan, pada episode ketiga dilakukan rekayasa, sedangkan dalam tahap keempat terjadi penemuan kembali.
David Bourchier (2001) juga membahas ideologi gelombang keempat di Indonesia namun dalam periode dan pengertian yang berbeda dengan saya. Dia membagi ideologi politik yang ada di Indonesia menjadi empat, yakni (1) 1910-1945 romantic traditionalism, (2) medio 1950 sampai awal 1960-an, corporatist anti-partysm, (3) 1966-1998, integralist developmentalisme, (4) post-Soeharto, the fourth wave.
Saat Penciptaan
Pada 1 Juni 1945 Soekarno berpidato di depan sidang BPUPKI, menjawab pertanyaan ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat tentang dasar negara. Pidato Soekarno disambut hangat. Memang, sudah ada tokoh yang tampil sebelum Bung Karno seperti Supomo yang berbicara tentang syarat berdirinya sebuah negara (rakyat, wilayah, dan pemerintahan) namun bukan tentang dasar negara.
Pada rapat 22 Juni 1945, tim sembilan yang diketuai Soekarno mencantumkan tujuh kata ''dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, menjelang proklamasi kemerdekaan, Hatta menerima pesan masyarakat Indonesia Timur yang menolak bergabung dengan Indonesia bila pernyataan itu dipertahankan.
Hatta kemudian merundingkannya, terutama dengan tokoh Islam. Akhirnya dalam UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, rumusan syariat itu tidak dimasukkan. Sedangkan sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Mahaesa. Oleh bapak-bapak pendiri negara, Pancasila yang menjadi bagian dari pembukaan UUD 1945 tidak dituliskan sesuai dengan urutan dan rumusan bertanggal 1 Juni 1945 namun mengalami penyesuaian seperti yang kita kenal sekarang.
Masa Perdebatan
Setelah Pemilihan Umum 1955, terbentuk konstituante yang bertugas merancang undang-undang dasar. Ketika itu diperdebatkan, apakah Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi lain. Partai-partai Islam mendukung Islam sebagai dasar negara. Sementara itu, partai-partai nasionalis dan komunis mempertahankan Pancasila.
Tidak ada pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara sehingga keputusan tidak bisa diambil. Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti, yang diakui secara resmi adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Masa Rekayasa
Pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila dijadikan asas tunggal untuk partai dan organisasi masyarakat. Awalnya itu ditentang berbagai organisasi namun pada akhirnya mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib. Jasa Soekarno sebagai orang yang pertama menggagas Pancasila direduksi dengan dalih bahwa ada orang lain yang berpidato sebelum Bung Karno di sidang BPUPKI dan yang otentik memang Pancasila yang disahkan 18 Agustus 1945.
Pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah diajarkan bahwa Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak zaman purbakala sampai sekarang. Upaya Nugroho Notosusanto itu ditolak panitia lima (Mohamad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo) yang dibentuk presiden. Ironisnya, kesimpulan panitia lima tersebut tidak digubris pemerintah.
Pada 13 April 1968 dikeluarkan keputusan presiden tentang rumusan resmi Pancasila. TAP MPR tentang penataran Pancasila dikeluarkan pada 1978. Pada era Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali.
Ideologi tersebut dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang mulai tingkat direktur jenderal departemen sampai tingkat RT dengan memakai anggaran negara. Hasilnya tidak jelas. Istilah Pancasila melebar sampai ada kesaktian Pancasila, sepak bola Pancasila, dan es campur Pancasila. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir-butir sifat (jujur, bertanggung jawab, dan seterusnya) yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi pihak yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur dicap ''tidak Pancasilais".
Di antara empat periode tersebut, terlihat perjalanan konflik dan konsensus masyarakat mengenai Pancasila. Namun, kalau kita sudah bersepakat Pancasila dapat dijadikan alat pemersatu, mengapa masih mencari yang lain? Sebab, hal itu hanya menimbulkan konflik baru.
Lebih baik perdebatan diarahkan bagaimana mengimplementasikan setiap sila dalam menghadapi masalah internal dan eksternal kita sebagai bangsa dan negara sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, pendidikan Pancasila di sekolah dan perguruan tinggi hendaknya dilaksanakan dengan metode yang lebih menyegarkan dan diajarkan secara dialogis. (*)
*) Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI
Sumber www.jawapos.co.id
02 Juni 2010
Penemuan Kembali Pancasila
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar