Oleh: Nur Syam
MENJELANG tahun ajaran baru seperti saat ini, ada dua kegelisahan para orang tua tentang pendidikan putra-putrinya. Pertama, apakah putra-putrinya bisa masuk pendidikan tinggi negeri (PTN) melalui jalur SNM PTN. Kedua, jika tidak, apakah mampu membayar biaya pendidikan tinggi yang dinilai mahal oleh banyak kalangan.
Gambaran kegelisahan itu setidaknya dipotret oleh Majalah Tempo (25/4) berdasar kenyataan yang dialami salah seorang siswa yang memang pintar dan kemudian diterima di salah satu PTN favorit melalui jalur prestasi. Anak yang ditinggal mati bapaknya itu bisa bersaing dengan 5 ribu pendaftar. Hanya, anak tersebut tidak mampu masuk ke PTN itu karena ibunya tidak sanggup membayar biaya pendidikan Rp 40 juta.
Cerita sedih seperti itu terjadi hampir setiap tahun. Banyak masyarakat kita yang memang tidak memiliki kemampuan untuk membayar biaya pendidikan putra-putrinya karena rendahnya kemampuan ekonomi.
Perluasan akses pendidikan yang dicanangkan pemerintah sering berhadapan dengan kenyataan adanya keinginan untuk meningkatkan akses sumber daya ekonomi institusi pendidikan yang terus terjadi. Di tengah realitas seperti itu, dirasakan sangat mendesak untuk merumuskan berbagai kebijakan pendidikan yang berpihak kepada kaum miskin tetapi cerdas.
Pentingnya Pendidikan
Pendidikan memang diakui sebagai human investment. Pendidikan merupakan suatu instrumen dalam rangka meningkatkan kemampuan manusia dalam menghadapi kehidupan nyata di dunia ini. Memang, dapat dinyatakan bahwa mobilisasi vertikal dalam banyak hal ditentukan oleh pendidikan. Semakin tinggi pendidikan, semakin besar peluang mobilisasi vertikal tersebut terjadi.
Banyak contoh tentang pengaruh pendidikan terhadap mobilitas vertikal. Banyak orang yang sukses dalam kehidupan karena pendidikannya. Meskipun tidak didapatkan data yang jelas, menurut common sense, dapat dipahami tentang relasi antara pendidikan dan mobilitas vertikal pada masyarakat Indonesia pada umumnya.
Semua negara di dunia memberikan prioritas pada pendidikan masyarakatnya. Hal itu tentu didasari pandangan bahwa pendidikan merupakan amanat bagi semua negara merdeka. Malaysia bahkan sejak 1995 sangat mengutamakan pendidikannya dengan cara menggenjot anggaran pendidikan. Pada 1995, Malaysia sudah menganggarkan pembiayaan pendidikan 21,12 persen. Demikian pula, Filipina sudah mematok anggaran 17,09 persen. Ketika itu, Indonesia baru menganggarkan 10,10 persen untuk pendidikan.
Karena itu, tak aneh kalau sekarang kualitas lembaga pendidikan di Malaysia sudah jauh lebih baik daripada Indonesia. Malaysia telah melakukan kerja sama dengan Cairo University khusus untuk pendidikan kedokteran. Juga, meminta kelas khusus di Al Azhar University dan Cairo University untuk beberapa program pendidikan yang sangat dibutuhkan.
Pendidikan memang menjadi prioritas bagi pengembangan sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM yang sangat baik tentu berdampak positif bagi kualitas bangsa secara umum. Karena itu, tidak salah jika dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, seharusnya pendidikan menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa.
Pendidikan untuk Rakyat
Setelah mendampingi delegasi Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF), Mendiknas Mohammad Nuh menyatakan bahwa pemerintah akan mengevaluasi struktur biaya perguruan tinggi (PT) agar lebih terjangkau masyarakat. Pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) akan dijadikan momentum yang tepat untuk mendesain ulang sistem perguruan tinggi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa biaya pendidikan tidak bisa dijamin murah. Namun, yang harus diusahakan adalah bisa terjangkau masyarakat (Jawa Pos, 9/4).
Meskipun agak terlambat, pilihan penganggaran pendidikan 20 persen sudah berada di jalur yang benar (on the right track). Melalui anggaran pendidikan tersebut, Kementerian Pendidikan Nasional telah mampu memberikan berbagai layanan anggaran yang sangat memadai. Misalnya, pembiayaan penelitian dosen 2010 sebesar Rp 200 miliar. Demikian pula anggaran untuk pengabdian kepada masyarakat, bantuan operasional kantor, beasiswa pendidikan, dan program kompetitif lainnya.
Melalui peningkatan anggaran pendidikan ini, semestinya biaya pendidikan menjadi lebih murah. Namun, kenyataannya, biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat ternyata jauh lebih besar. Perguruan tinggi yang memiliki kualifikasi unggul kemudian bisa menarik biaya pendidikan yang jauh lebih tinggi. Untuk memasuki program ekstensi, misalnya, mahasiswa dikenai biaya pendidikan yang berlipat-lipat. Karena itu, jalur tersebut sering disebut jalur kaum the have.
Di tengah suasana semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi tersebut, banyak pemikiran yang menginginkan pendidikan lebih memihak kepada rakyat. Yaitu, biaya pendidikan yang terjangkau masyarakat secara umum. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah penetapan struktur tarif pendidikan yang lebih memihak kepada kemampuan masyarakat.
Selama ini, yang diatur negara hanyalah pungutan SPP dan praktikum untuk program reguler. Sementara itu, pungutan lainnya diserahkan kepada masing-masing lembaga pendidikan. Semakin berkualitas lembaga pendidikan tinggi, bisa saja semakin tinggi biaya pendidikan yang dipungut dari masyarakat.
Di tengah suasana seperti ini, sudah selayaknya pemerintah merumuskan regulasi untuk penetapan tarif pembiayaan pendidikan tinggi. Artinya, pemerintah sesuai dengan fungsinya adalah memberikan perlindungan bagi masyarakat, termasuk dalam praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi. Wallahu a'lam bi al shawab. (*)
*). Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi dan rektor IAIN Sunan Ampel
Sumber www.jawapos.co.id
05 Mei 2010
Menata Biaya Pendidikan Tinggi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar