Oleh Mohamad Ali Hisyam*
Kasus Manohara, model cantik berdarah Sulawesi yang tak pernah sepi diekspos media massa, menjadi bumbu menarik dinamika hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia. Konflik Manohara dengan mantan suaminya, Tengku Fahri, pangeran Kerajaan Kelantan, yang terus berlarut, melengkapi serangkaian dentuman kasus yang selama ini mewarnai ''panas dingin'' relasi kedua negara serumpun itu.
Belakangan, negeri jiran tersebut kerap dituding sebagai ''benalu'' yang acap membuat rakyat Indonesia gerah dan bahkan marah. Peristiwa perebutan blok Ambalat, klaim Pulau Sipadan-Ligitan, pengakuan ikon budaya Nusantara seperti reog Ponorogo, tari pendet, batik, hingga lagu Rasa Sayange merupakan contoh upaya mereka mencaplok khazanah sosial-budaya milik kita. Belum lagi ingatan akan perlakuan arogan mereka terhadap ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) di sana serta bagaimana secara ''ideologis'' warga mereka (Dr Azhari dan Noordin M. Top) mengacak-acak negeri ini dengan doktrin terorismenya. Di mata khalayak, hal itu terkesan sengaja memantik permusuhan dengan beragam cara yang provokatif. Benarkah demikian?
Buku Maumu Apa, Malaysia? ini dengan lugas menjawab berbagai kebingungan serta pertanyaan seputar hubungan Indonesia-Malaysia itu, lebih-lebih selama tiga tahun terakhir. Pada sejumlah hal, harus diakui bahwa Malaysia langsung maupun tidak telah dengan sadar mengajak berkonfrontasi. Dalam soal perebutan wilayah, misalnya, tak dapat disangkal mereka berupaya merusak harmoni dan kesepakatan yang sudah ada. Dari sini, stereotip negatif tentang mereka melekat di benak masyarakat kita.
Namun, juga mesti disadari, terdapat beberapa hal yang sebenarnya sumbu konfliknya hanya dipicu oleh kesalahpahaman dalam mengamati duduk perkara suatu persoalan. Yang menarik, buku ini berusaha menyuguhkan data dan argumen yang berimbang ihwal perselisihan kedua negara yang selama ini berlangsung. Genuk Ch. Lazuardi dengan tekun merekam secara runtut aneka persoalan yang menjadi biang konflik Indonesia-Malaysia lewat gaya pemaparan yang khas, renyah, dan ringan dicerna.
Melalui ilustrasi dari beragam sudut, Genuk mencoba menggambarkan wajah masyarakat Indonesia di negeri berpenduduk 27 juta tersebut secara detail. Lewat ilustrasinya, secara tidak langsung pembaca akan dibawa memahami dan menelisik dari dekat bagaimana keberlangsungan hidup komunitas Indonesia di sana serta bagaimana pula orang Malaysia memperlakukan mereka. Sebagai jurnalis yang telah tiga tahun berkarir di Malaysia, dia mengajak kita berkeliling melihat peta Malaysia dari lensa yang paling jernih dan diambil langsung dari jantung permasalahan, yakni suka-duka rakyat Indonesia bertarung menyabung hidup di negeri seberang.
Layaknya karya reportase, investigasi reflektif yang dihadirkan buku ini melaporkan apa adanya keseharian rakyat kita di negara kaya minyak itu. Setidaknya, laporan tersebut terungkap dari empat sisi, yaitu hegemoni Indonesia di belantika hiburan Malaysia, dominasi TKI dalam dunia kerja, urat akar sejarah Indonesia dalam budaya Melayu, serta keampuhan diplomasi musik dan kuliner Nusantara di sana.
Bila diurai, benang kusut hubungan tersebut lebih disulut maraknya ketidakpahaman (misunderstanding) serta salah persepsi (misperception) masing-masing pihak. Sekadar contoh, kasus heboh seputar klaim tari pendet dan reog Ponorogo yang sempat disemprotkan kepada Malaysia ternyata lebih disebabkan sikap salah paham terhadap ekspresi berbudaya orang-orang Melayu, termasuk masyarakat Indonesia yang tinggal di Malaysia. Selama ini, aktivitas kesenian komunitas Indonesia di negara yang merdeka pada 1957 itu selalu mengusung tema dan simbol-simbol Nusantara.
Orang-orang keturunan Jawa di sana, misalnya, terbiasa mengadakan seni wayang, reog, dan semacamnya. Begitu juga dari etnik yang lain. Kekayaan multietnik kita diapresiasi dan diekspresikan dengan baik dan lestari di sana. Lantas, mengapa kita tidak malah bangga dan justru merasa dicaplok? Sebagai perbandingan, atraksi seni barongsai yang asli Tiongkok dikenal sangat masyhur di Singapura. Seakan-akan barongsai adalah ikon mereka dan dalam banyak acara mereka menampilkannya dengan leluasa. Lalu kenapa orang-orang Tiongkok tidak pernah mempermasalahkannya? Sebaliknya mereka bangga, kebudayaan mereka bisa eksis di negeri orang.
Yang jelas, kesenjangan informasi dan ketimpangan data plus nuansa ''ego nasionalisme'' sektoral merupakan faktor dari berbagai kesalahpahaman yang terjadi selama ini. Padahal, bila kita telaah sejarah, kedua bangsa itu adalah ''alam Melayu'' yang diikat kesatuan politik dan budaya yang sangat erat. Jalinan sosial kedua bangsa sangat harmonis, kendati sempat diwarnai fluktuasi konfliktual. Migrasi besar penduduk Nusantara ke Malaysia menyebabkan begitu banyak orang Melayu di sana berasal dari Indonesia. Contoh paling mutakhir, perdana menteri Malaysia saat ini, Datuk Najib Razak, adalah keturunan Bugis-Makassar dari raja Gowa ke-XI.
Sukar dimungkiri, sebagai bangsa serumpun, keduanya memiliki beragam ''perekat''. Kedekatan geografis, kemudahan askses, serta kemiripan bahasa dan budaya adalah modal positif untuk membangun kembali harmoni di antara keduanya. Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, sejarah pernah mewartakan, bagaimana Ibrahim Jacoob dan Bung Karno pernah menyetujui gagasan dibentuknya negara Indonesia Raya, wujud penyatuan Indonesia dan Malaysia. Walau sayang, ide itu akhirnya gagal terwujud.
Pada aras demikian, buku ini bisa dimaknai sebagai ikhtiar merekatkan kembali keretakan sosial yang akhir-akhir ini mewarnai hubungan Indonesia-Malaysia. Sudah saatnya kita memandang polemik sebagai ajang pendewasaan bagi proses persaudaraan. Warga Indonesia jangan lagi memandang Malaysia semata dari kacamata kisah-kisah miris TKI sembari melupakan sisi positif di dalamnya. Sementara itu, Malaysia sudah waktunya membuang stigma 3D (difficult, dirty, dangerous) kepada TKI dengan memberi penghargaan yang pantas dan manusiawi.
Kendati penulis berprofesi sebagai pekerja di Malaysia, ulasan-ulasan dalam buku ini jauh dari kesan apologis yang cenderung membela Malaysia. Dia menyajikan pemahaman dan fakta-fakta aktual seputar hubungan kedua negara melalui optik yang netral. Kelengkapan data, variasi topik, serta kemahiran mengulas masalah menjadikan buku ini menarik dibaca dan tepat dijadikan referensi bagi calon tenaga kerja, pelaku bisnis, hingga pelajar dan mahasiswa yang hendak studi dan berkarir di Malaysia. (*)
*) Mohamad Ali Hisyam, pengajar di Universitas Trunojoyo Madura
---
Judul Buku : Maumu Apa, Malaysia?
Penulis : Genuk Ch. Lazuardi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, November 2009
Tebal : xxii + 200 halaman
Sumber www.jawapos.co.id
08 Januari 2010
Malaysia di Mata Jurnalis Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar