BELUM lama ini, Tiongkok sukses merayakan ulang tahun ke-60 kemerdekaannya. Tahun lalu negeri itu juga menjadi tuan rumah Olimpiade yang luar biasa megahnya. Kesuksesan dan kemegahan kedua perayaan penting tersebut menyita perhatian dunia. Tak sedikit yang memprediksi masa depan negeri berpenduduk satu miliar itu akan menjadi salah satu kekuatan global.
Chairman/CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan mencatat, dinamika ekonomi-politik Tiongkok berkembang cepat sejak awal berdirinya pada 1949. Kini, situasi investasi dan keamanan dalam negeri terus membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya sangat berbeda dengan Tiongkok yang dikenal pada era 60-an atau 70-an.
Berawal dari revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi, dan era keterbukaaan terhadap dunia luar pada 1978, Tiongkok di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan dilanjutkan Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, kekuatannya terus diperhitungkan dan bisa ''mengancam'' dominasi Amerika di masa mendatang.
Saat ini kekuatan ekonomi Tiongkok berpengaruh signifikan pada konstelasi politik global. Kaplinsky (2006) menilai, Tiongkok bukan sekadar emerging economies, melainkan Asian drivers of global change. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Tiongkok telah berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar global. Ekspornya ke AS pada kurun 1985-2004 melejit dari ''nol'' menjadi sekitar 15 persen dan kini terus meningkat.
Hingga hari ini Tiongkok menjadi salah satu negara donor terbesar untuk kawasan Asia Tenggara, sekaligus partisipasinya dalam penanganan bencana alam, gempa bumi, dan tsunami di kawasan ini, termasuk Indonesia. Yang terbaru adalah bantuannya yang besar dalam penyelesaian pembangunan megaproyek Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura).
Bila dicermati, kemajuan Tiongkok tidaklah dimulai dari nol, tapi bertahap. Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi Tiongkok menerbitkan peta jalan modernisasi Tiongkok untuk abad ke-21. Isinya: pada 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok menyamai Jepang. Lalu pada 2050, Tiongkok harus menjadi negara maju di dunia. Atas dasar peta jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, Tiongkok memang sudah membangun banyak sistem kehidupan manusia dan melahirkan prinsip-prinsip pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai saat ini. Tiongkok juga memiliki mekanisme hubungan antarnegara yang cukup baik. Kekaisaran Tiongkok bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi, perdagangan, dan kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk Indonesia.
Kehadiran Laksamana Cheng Hoo di Indonesia adalah salah satu bukti nyata. Sejarah juga mencatat, lebih dari 5.000 tahun Tiongkok mengukuhkan diri sebagai salah satu bangsa yang beradab. Penemuan teknik pertanian, huruf hanzi (kanji), pembuatan kompas, mesiu, dan alat-alat percetakan, juga dilakukan penduduk Tiongkok.
Pada 1949-1978 Tiongkok melakukan pembangunan fisik dan nonfisik yang mengagumkan. Di antaranya pembangunan kualitas pendidikan. Wajib belajar diterapkan sejak 1950-an. Maka, tingkat buta huruf di Tiongkok pada masa Mao Zedong sangat rendah dan terus menyusut.
Gayung bersambut, perhatian akan kualitas pendidikan dan teknologi tersebut juga dilanjutkan Deng Xiaoping. Dia menyatakan, ''Bila Tiongkok ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dulu adalah sains dan teknologi, serta menjadikannya kekuatan produktif.''
Tak salah bila dikatakan, kunci kesuksesan dan kemajuan Tiongkok bermula dari pendidikan dan teknologi. Nah, soal kekurangan sumber daya alam, Tiongkok bisa menutupinya dengan mengimpor dari negara lain.
Meski begitu, reformasi dan modernisasi Tiongkok bukan pula tanpa hambatan. Dalam kenyataannya, Tiongkok juga memiliki masalah internal-eksternal atau lokal-internasional yang cukup pelik.
Sebagaimana diungkap Phillips dan Moore, editor buku China; Economic, Political and Social Issue, Tiongkok juga menghadapi banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik, baik di tingkat lokal maupun internasional (hlm 239-271).
Di tingkat lokal, misalnya, baru-baru ini berita kasus Tibet dan konflik rasial di Xinjiang santer terdengar. Yakni, konflik rasial antara etnis Uighur yang mayoritas muslim namun menjadi minoritas di Xinjiang, dan etnis Han yang menjadi etnis mayoritas di Provinsi Xinjiang (daerah otonomi).
Konflik ini bukan kali pertama. Pada Agustus tahun lalu, Xinjiang juga bergejolak. Namun, konflik yang terjadi terakhir lebih besar dan memakan banyak korban meninggal dan ribuan orang ditahan karena diduga ikut dalam aksi rusuh itu.
Kebencian antara ras Uighur yang minoritas dan Han yang mayoritas juga punya sejarah tersendiri. Kebencian itu pernah memuncak dengan keinginan Uighur memisahkan diri. Namun, hal itu bisa diatasi oleh Mao Zedong pada 1949. Meski begitu, akar kebencian kedua suku itu tetap abadi hingga kini.
Pasang surut dan ketegangan internasional juga pernah terjadi. Antara lain hubungan Tiongkok-Asia Tenggara, khususnya dengan Indonesia. Pada 1960, hubungan Indonesia dan Tiongkok sempat terganggu akibat campur tangan pihak asing. Dampak konflik itu cukup terasa. Terutama bagi warga Tionghoa di Indonesia.
Namun, adanya tekanan dari dalam dan dunia luar, membuat Tiongkok terus berbenah diri. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, dan perdamaian lebih dapat dihormati dan ditegakkan. (*)
Judul Buku: China; Economic, Political and Social Issues
Editor: J. M. Phillips dan L. J. Moore
Penerbit: Nova Science Publishers, New York
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: xii+321 Halaman
*) Choirul Mahfud , dosen dan peneliti LPPM UM Surabaya
Sumber www.jawaos.co.id
15 Desember 2009
Dari Pinggiran ke Pemain Utama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar