ENERGI menjadi sesuatu yang sangat vital. Semua aspek kehidupan di muka bumi memerlukan energi. Karena itu, energi menentukan survival, pertumbuhan, tata kehidupan, ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan negara. Semua negara berlomba mendapatkan sumber energi dengan segala cara.
Tak heran kalau sejumlah konflik di dunia terkait dengan masalah energi. Peta geopolitik sangat dipengaruhi oleh perebutan sumber dan pasokan energi. Mulai Aceh, Papua, Amerika Selatan, Timur Tengah, Georgia, Afghanistan, hingga kawasan Asia Tengah.
Tata ekonomi global juga digerakkan oleh energi. Krisis ekonomi global yang terjadi belakangan ini pun diakibatkan oleh melonjaknya harga minyak dunia. Seiring melonjaknya jumlah penduduk dunia yang lebih 6 miliar, kebutuhan akan energi semakin besar. Sayang, warga dunia sangat bergantung pada energi fosil yang tidak terbarukan. Dengan demikian, pasokan energi di seluruh negara tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh penduduk bumi.
Kondisi itu diperparah dengan kebiasaan masyarakat dunia yang sangat boros dalam penggunaan energi. Ditambah lagi kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia sendiri. Kesadaran akan hal itu baru muncul belakangan, setelah negara maju dan berkembang mulai mau duduk bersama untuk menjalin kerja sama dalam penyelamatan dan konservasi energi. Kebijakan energi mulai didasarkan pada perdamaian, keadilan, tata tertib dunia, dan pelestarian lingkungan.
Muncullah strategi energi seperti clean development mechanism (CDM) dari Kyoto Protocol yang merupakan strategi mengurangi emisi karbon di negara maju untuk mengurangi dampaknya terhadap pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono termasuk salah seorang pemimpin dunia yang concern dalam isu global warming dan climate change tersebut.
Kebijakan Energi di Dunia
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, tampaknya, lebih maju dalam membuat kesepakatan soal energi, yakni dengan terbitnya proposal Energy for a Changing World. Salah satu skenarionya adalah membangun tatanan ekonomi karbon rendah (low-carbon economy). Biasa juga disebut post-industrial revolution.
Uni Eropa juga menargetkan pengurangan minimal 20 persen emisi karbon dari semua sumber energi primer pada 2020 dan 50 persen pada 2050. Juga, pasang target pada 2020 telah menggunakan biofuel minimal 10 persen.
Rusia juga memiliki kebijakan energi jangka panjang. Ada dua saran utama dari strategi kebijakan energi Rusia hingga 2020. Yakni, kepastian tentang langkah-langkah untuk menghasilkan bahan bakar berkualitas dan kompleks energi.
Saat ini Rusia termasuk negara superpower energy. Cadangan gas alam Rusia terbesar di dunia yang dikelola oleh Gazprom secara monopoli. Produksi gas alam Rusia terbesar di dunia, mencapai 21,8 persen di antara total produksi dunia.
Rusia pun menjadi produsen listrik terbesar ke-4 di dunia setelah Amerika Serikat, RRT, dan Jepang.
Bagaimana kebijakan energi AS? Sumber energi AS mayoritas dari bahan bakar fosil. Hingga 2005, diperkirakan 40 persen sumber energi AS berasal dari minyak. Selain itu dari batu bara (23 persen) dan gas (23 persen). Sisanya dipasok dari nuklir, listrik tenaga air, dan sumber energi yang dapat diperbarui.
AS mengonsumsi 20,8 juta barel minyak per hari dan 9 juta barel gas per hari. Paling banyak digunakan untuk kendaraan bermotor (40 persen). Saat ini AS memiliki cadangan minyak sekitar 22 miliar barel dengan tingkat konsumsi minyak 7,6 miliar barel per tahun. Sebagai negara net importer sejak 1941, perekonomian AS sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia.
Selain itu, AS mengembangkan tenaga nuklir. Di negara tersebut, terdapat 104 unit pembangkit nuklir komersial yang menghasilkan 97.400 megawatt listrik atau 20 persen dari konsumsi listrik AS. Saat ini AS merupakan negara pemasok tenaga nuklir komersial terbesar di dunia.
Dalam pengembangan energi terbarukan, pemerintah AS sangat serius. Saat ini AS menghasilkan 300 ribu MW listrik dari tenaga air. Tenaga angin juga maju pesat. Pada 2007, kapasitas wind power AS mencapai 11.600 MW dan bisa melayani kebutuhan listrik bagi 3 juta rumah tangga.
Energi memang menjadi masalah besar bagi negara-negara dengan penduduk besar. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1993 mengumumkan diri sebagai negara net importer. Dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, dibutuhkan minyak 7 juta barel per hari. Tidak ada pilihan lain bagi RRT selain memberlakukan kebijakan energi yang ketat kepada warganya.
Sejak 2007, RRT dinobatkan sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, menyalip AS. Karena itu, RRT segera merilis National Action Plan on Climate Change. Negara tersebut bertekad mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 1,5 miliar ton pada 2010.
Sumber energi terbarukan berkembang pesat di Tiongkok. Sejak 2006, sekitar 16 juta ton jagung dipakai RRT untuk menghasilkan etanol. PetroChina dan pemerintah RRT mencanangkan penanaman pohon jarak seluas 400 km persegi untuk produksi biofuel.
RRT juga menjadi negara penghasil tenaga surya terbesar di dunia. Total sudah ada 30 juta rumah yang menggunakan pemanas air dengan tenaga surya. Demikian halnya tenaga angin, pemerintah RRT bertekad meningkatkan kapasitas tenaga angin menjadi 30 juta KW pada 2020.
Bagaimana kondisi energi Indonesia saat ini? Presiden SBY sejak empat tahun lalu sudah menyatakan bahwa akan terjadi krisis hebat di sektor energi jika masyarakat tidak melakukan efisiensi penggunaan energi dan BBM. Sebab, cadangan minyak Indonesia diperkirakan tinggal 18 tahun lagi. Sedangkan cadangan gas tinggal 16 tahun. Sementara itu, cadangan batu bara tinggal 100 tahun. Itu perkiraan yang disampaikan SBY pada 25 Oktober 2005. Tapi, itu dengan asumsi tidak ada eksplorasi baru.
Dengan kondisi energi seperti itu, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, tetapi sudah menjadi net importer. Saat ini Indonesia membutuhkan impor minyak mentah dari sepuluh negara sebesar 500 ribu barel per hari. Dengan harga BBM USD 60 per barel, dibutuhkan anggaran sedikitnya USD 30 juta per hari atau Rp 300 miliar per hari (USD 1 = Rp 10 ribu). Tidak terbayang saat harga minyak mentah dunia melebihi USD 100 per barel.
Berbagai program pengembangan energi terbarukan sudah dikembangkan. Presiden SBY beberapa kali mencanangkan penanaman pohon, pengembangan biofuel, dan mendorong penciptaan energi terbarukan lainnya. Dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh komponen masyarakat untuk mewujudkan kemandirian energi di Indonesia.
Buku ini sangat penting untuk memahami betapa energi menjadi isu utama negara-negara di dunia. Apa pun dilakukan sebuah negara untuk mendapatkan energi. Itu menunjukkan bahwa energi sudah menjadi ideologi baru di dunia. Setidaknya buku ini membuat kita tersadar pentingnya pengelolaan energi secara bijak. Kita bisa belajar dari negara-negara di dunia dalam memilih strategi energi. (*)
Tomy C. Gutomo, Wartawan Jawa Pos
---
Judul Buku : Energynomics; Ideologi Baru Dunia
Penulis : Marwan Ja'far
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Oktober, 2009
Tebal : 208 halaman
Dikutip dari www.jawapos.co.id
20 Oktober 2009
Ideologi Baru Dunia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar