''Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi kritis, dilematis, atau kematian.''
Metafora Peter Kingsley dalam buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. Buku Timor Timur Satu Menit Terakhir adalah memoar Rien Kuntari saat meliput lepasnya Timor-Timur dari Indonesia. Wartawan sebuah media ibukota itu mendapat tugas untuk meliput referendum Timor Timur Juli hingga September 1999.
Jalan terjal, berkelok, dan berliku ditempuh Rien untuk bisa masuk ke markas Falintil di hutan Uai Mori, Viqueque guna mewawancarai Taur Matan Ruak. Tak hanya diterima Wakil Panglima Falintil, sayap militer CNRT, itu, Rien juga berhasil masuk sarang bawah tanah gerakan pro-kemerdekaan di lingkungan pegawai pemda. Tak heran bila jauh sebelum jajak pendapat dilaksanakan, Rien melaporkan prediksi bahwa pro-otonomi bakal kalah sekitar 70 persen.
Menurut Rien yang sudah mengunjungi lebih 50 negara itu, meliput konflik Timtim paling sulit. Lebih sulit ketimbang perang Teluk, Irak, konflik etnis di Rwanda, dan perang saudara di Vietnam. Sebab, wartawan dianggap bukan orang netral yang berada di luar gelanggang, melainkan sebagai ''pemain'' di tengah arena perang. Rien Kuntari dinilai telah melakukan dosa tak terampuni karena memberi porsi seimbang dalam pemberitaan kepada pihak pro-kemerdekaan. Ia dituduh tidak nasionalis karena menurunkan laporan tentang Falintil tepat pada HUT Falintil 24 Agustus 1994.
Rien dianggap menghapus garis batas tegas yang lama membelah jurnalis menjadi dua kubu: pro-otonomi atau pro-kemerdekaan. Keputusannya menyantuni profesionalisme, kredibilitas, dan netralitas dengan masuk ke markas Falintil telah memudarkan garis demarkasi kelompok wartawan. Berkat keberanian Rien mengambil segala risiko, sesudahnya, hampir seluruh wartawan Indonesia, bahkan TVRI, meliput HUT Falintil di markas kantonisasi mereka.
Status wartawan dengan aspirasi pribadi kadang tidak bisa satu garis. Nasionalisme dengan profesi tidak selalu berjalan seiring. Ancaman teror, intimidasi, penculikan, dan mutilasi pun menghampiri Rien Kuntari. Kalau sampai Rien tidak terpegang, ancam peneror, para wartawan media lain yang akan menanggung risiko. Itu sebabnya, saat terjadi eksodus para wartawan Indonesia ke Jakarta, di Bandara Komoro, Dili, 2 September 1999, tak satu pun yang mau menyapa Rien Kuntari. Bahkan dua karib dan tetangga rumah kontrakan, memalingkan muka pura-pura tidak mengenal Rien. Konon, itulah teror mental bagi wartawan, asing maupun lokal, agar tidak berani bekerja di Timtim. Harapannya, bila terjadi politik bumi hangus, tidak ada lagi saksi mata.
Pada 16 September 1999, Rien kembali ke Timtim mengikuti rombongan Mabes TNI. Timor Loro Sa'e (Negeri Matahari Terbit) sudah luluh lantak secara fisik maupun kejiwaan. Dengan gamblang dilukiskan panorama bekas jajahan Portugis itu sebagai ketenangan sesudah badai yang memusnahkan. Seluruh bangunan fasilitas umum hangus terbakar. Saluran air, listrik, dan telepon putus. Rumah-rumah kaum tajir dengan beranda luas dilalap api dengan nafsu yang sama dengan perataan seng-seng atap orang miskin. Penduduk kocar-kacir tercerai-berai. Gelombang pengungsian terjadi besar-besaran. Teror, pembunuhan, dan penculikan bergentayangan menghantui sekujur negeri. Hukuman telak dari pasukan pendudukan bagi masyarakat yang mau menanggung risiko besar memilih kemerdekaan. Mereka yang bertahan hanyalah kaum perempuan rombeng dan anak-anak memelas.
Timtim menjadi negeri di titik nol pasca pengumuman jajak pendapat yang dimenangi pro-kemerdekaan. Ribuan pengungsi yang menumpuk di Gereja Maria Fatima, Suai, Kabupaten Kovalima diserang kelompok pro-integrasi. Dalam kerusuhan masal itu 27 orang tewas termasuk Romo Tarsisius Dewanto SJ, Pastor Hilario Medeira Pr, dan Pastor Francisco Tavares dos Reis Pr. Romo Dewanto adalah pastor Jesuit dari Magelang yang baru tiga bulan ditahbiskan menjadi imam di Jogjakarta. Dia menjadi martir perdamaian dengan jasad hancur sulit dikenali lagi.
Romo Albrecht Karim Arbie SJ tewas ditembak di halaman Pastoran Loyola, Taibesi, Dili. Jesuit sepuh berkebangsaan Jerman itu dibunuh karena dituduh berpihak pada kelompok pro-kemerdekaan. Sabtu, 25 September 1999, Agus Mulyawan, bersama dua biarawati misionaris Italia, tiga frater calon pastor, dua remaja putri, dan seorang sopir dibunuh secara sadis di Pelabuhan Qom. Jasad para korban ditemukan di Lautem, Kabupaten Los Palos. Pembunuhan Agus bermula dari keinginan wartawan Asia Press itu keluar dari markas Falintil di Uai Mori. Taur Matan Ruak mencegah. Agus bergeming hendak pulang ke Jakarta. Sudah lama ia dipagut rindu pada keluarga.
Kematian Agus kembali menggugah kesadaran Rien Kuntari akan bahaya di pelupuk mata. Agus dan Rien memang target milisi pro-integrasi sejak Agustus 1999. Rien diungsikan Romo Josephus Ageng Marwata SJ ke Palang Merah Internasional (ICRC). Berkat lobi dan jasa baik pastor heroik itulah Rien bisa pulang ke Jakarta. Dia satu pesawat dengan German Mintapradja --satu-satunya juru kamera yang merekam prosesi pemakaman korban tragedi Lautem untuk RCTI.
Sehari setelah dievakuasi paksa ke Jakarta, awal September 1999, Rien mendapat kiriman daftar 14 orang yang dianggap berkhianat berikut hari eksekusi atas mereka. Leandro Isaac dan David Diaz Ximenes masuk dalam daftar. Kedua tokoh CNRT itu selamat karena berhasil dikontak Rien Kuntari. Xanana Gusmao memberi pujian, ''Keputusan dia tetap berada di Timtim contoh nyata bahwa kita tidak pernah bermusuhan dengan rakyat Indonesia.''
Rien Kuntari memang seorang pacifist total. Dia lebih percaya pada jalan damai untuk menyelesaikan sengketa ketimbang kekerasan bersenjata. Inilah sikap dasarnya dalam memandang Timtim. Dia tidak pernah membedakan orang. Siapa pun orang Timtim yang terancam bahaya akan ditolong. Baginya menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunia.
Timor Timur sesudah jajak pendapat merupakan negeri yang sangat menjunjung tinggi cinta kasih sekaligus wilayah yang tidak berperikemanusiaan. Pada 2006 terjadi lagi kerusuhan horizontal. Pengusiran besar-besaran masyarakat Loro Sa'e (sektor timur) oleh masyarakat Loro Moro (sektor barat). Dendam kesumat Loro Sa'e kini tinggal menunggu momentum untuk meletus. Konflik horizontal itu dipicu kegeraman Fretelin sebagai pemenang pemilu yang terpaksa jadi partai oposisi. Pemerintahan dan parlemen dikuasai orang-orang yang di zaman pendudukan justru memihak Indonesia.
Memoar jurnalistik Rien Kuntari tentang sejarah dramatis ini merupakan kado indah, menegangkan, dan mengharukan perihal 10 tahun lepasnya Timor Timur. (*)
* J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta
Judul Buku: Timor Timur Satu Menit Terakhir
Penulis: C.M. Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Bandung
Terbitan: Desember 2008
Tebal: 483 halaman
Sumber Jawa Pos, 25 Januari 2008
02 Februari 2009
Kado 10 Tahun Lepasnya Timtim
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar