Pages - Menu
▼
31 Desember 2008
Jejak Profesionalisme TNI
Reformasi ABRI (sebelum menjadi TNI) menjadi salah satu tuntutan para demonstran -yang dimotori mahasiswa-- saat menumbangkan kekuasaan Orde Baru (Orba). Para demonstran meminta militer tidak terlibat dalam politik. Kaum reformis menginginkan pasukan berkonsentrasi dalam fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Militer harus kembali ke barak.
Reformasi militer masuk menjadi paket tuntutan perubahan karena di era Soeharto, militer sudah melangkah terlalu ''jauh''. Memasuki semua bilik yang seharusnya menjadi ranah sipil. Tak hanya di eksekutif, para serdadu juga merambah legislatif. Bahkan di bidang yudikatif, sejumlah hakim agung adalah perwira militer.
Keterlibatan militer yang terlalu jauh inilah yang membuat anatomi negara dalam bentuk otoriter. ABRI bukan lagi menjadi alat negara yang mengabdi ke konstitusi, tapi menjadi alat pemerintahan yang mengabdi kekuasaan. Karena itu, tuntutan reformasi militer sudah tak bisa ditawar lagi begitu Soeharto lengser. Sama kuatnya dengan tuntutan pemberantasan korupsi dan reformasi ekonomi.
Apakah TNI benar-benar bersedia meninggalkan dunia politik yang selama ini mereka bungkus dengan legitimasi dwifungsi? Apakah TNI benar-benar siap menjadi institusi yang hanya mengurus persoalan pertahanan seperti yang dikatakan Samuel Huntington bahwa profesionalisme militer ditentukan oleh ketidakterlibatan mereka dalam panggung politik. Militer semata-mata menjadi alat pertahanan negara.
Lewat buku Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI, Muhadjir Effendy mengungkapkan anatomi keterlibatan militer dalam politik. Dengan melacak akar sejarah embrio kelahiran militer Indonesia, buku ini berhasil menjawab pertanyaan mengapa TNI di Indonesia menguasai intitusi sipil.
TNI masih enggan keluar dari ranah politik. Ini terlihat dengan masih dipertahankannya institusi teritorial seperti Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil. Institusi militer di daerah yang paralel dengan berbagai level di pemerintah daerah itu tetap berpotrensi menjadi pintu gerbang militer untuk menjangkau bilik non-pertahanan.
Rupanya, tentara merasa berhak dalam mengelola persoalan non-militer karena ada legitimasi masa lampau. Sejumlah momentum sejarah telah menempatkan angkatan bersenjata merasa menjadi ''superior''. Misalnya, di awal kemerdekaan, para anggota militer membangun pemerintahan sipil dengan cara menjadi kepala desa atau lurah. Sebuah debut militer untuk mendapatkan pengakuan ''manunggal dengan rakyat'' sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang.
Konsepsi ''jalan tengah'' yang dilontarkan Jenderal Nasution memberi roh bagi militer untuk memasuki wilayah sipil. Nasution menyebut militer tidak boleh hanya jadi penonton dalam akrobatik panggung politik nasional. Dia menilai kristalisasi dwifungsi TNI dengan pandangan bahwa, ''Posisi TNI bukanlah sekadar alat sipil seperti di negara barat, tapi juga bukan rezim militer yang memegang kekuasaan. Dia adalah sebagai kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya'' (hlm. 222).
Jika Nasution memberi landasan ''moral'' bahwa militer tak boleh diam mengontrol panggung politik, sedangkan Soeharto yang berkuasa di era Orba melakukan aplikasi yang mendalam. Bila Nasution memberi spirit, Soeharto melegalisasi.
UU no. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan memberi basis legitimasi kepada militer untuk berkiprah di bidang sosial politik. Soeharto yang merancang sekaligus mengaplikasi aturan itu telah memberi lapangan seluas-luasnya kepada militer untuk memainkan peran-peran politik, ekonomi, sosial, dan birokrasi dengan bungkus dinamisator dan stabilisator.
Militer menikmati madu sebagai ''penguasa'' di era Orba, baik sebagai menteri, kepala daerah, diplomat, dan berbagai jabatan sipil lainnya, hingga menguasai unit bisnis pemerintah dan swasta. Inilah yang disebut kenikmatan yang sulit dilepas sebagian petinggi militer. Sebuah langkah yang melebihi batas ''jalan tengah'' dan telah menjadi syahwat politik dan ekonomi.
Langkah TNI melakukan reformasi internal seperti merombak nama ABRI menjadi TNI, menghapus Fraksi TNI/Polri di parlemen maupun penghapusan Kasosspol (Kepala Staf Sosial Politik) -kemudian diganti dengan Kaster (Kepala Staf Teritorial) - belum memuaskan kelompok-kelompok yang menginginkan tentara cukup berada di barak. TNI masih dianggap di luar rel.
Apalagi TNI menerjemahkan profesionalisme sangat berbeda dengan negara yang menganggap militer hanya mesin perang. Simak pandangan Jenderal Ryamrizard Ryacudu saat menjabat KSAD: ''Yang menyebut TNI profesional adalah parjurit yang tidak hanya mahir perang dan menembak, tapi juga manunggal dengan rakyat dan berada di tengah rakyat.''
Itulah sebabnya Ryamrizard menolak penghapusan komando teritorial yang dia sebut sebagai bagian untuk manunggalnya TNI dengan rakyat.
Perbedaan pandangan Ryamrizard dengan kelompok yang menginginkan TNI kembali ke barak, tak akan pernah selesai. Sebuah perdebatan yang tak akan menemukan pintu tengah. Lewat buku ini Muhadjir Effendy tak hanya melacak jejak sejarah TNI namun juga melihat persoalan di lapangan seperti rendahnya kesejahteraan prajurit, doktrin serta kultur TNI. Dan, akhirnya penulis buku ini menemukan jawaban : bahwa arah perkembangan profesionalisme TNI memang berbeda dengan negara lain. (*)
*) Taufik Lamade, Wartawan Jawa Pos
Judul Buku: Profesionalisme Militer : Profesionalisasi TNI
Penulis: Muhadjir Effendy
Penerbit : UMM Press, Malang
Cetakan : I, 2008
Tebal : 339 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
Peranakan Arab dan Dunia Perbukuan
Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas wafat belum lama ini. Hampir semua media nasional menempatkan berita itu di halaman utama. Berbagai tulisan obituari menyanjung almarhum sebagai sosok abdi negara yang luar biasa. Sebagai diplomat, Ali Alatas sangat piawai. Penampilannya santun dan rendah hati. Tidak pernah menonjolkan diri. Nyaris seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara ini.
Sebelum itu, tiga pekan lalu, sebuah acara bertajuk Festival Kampoeng Ampel digelar di Balai Pemuda Surabaya. Selain penampilan karya seni, juga ada diskusi dan bedah buku tentang orang-orang Arab dari Hadramaut, Kebangkitan Hadrami di Indonesia karya Natalie Mobini Kesheh. Nama Ali Alatas tentu disebut-sebut karena ketokohannya yang menjulang tinggi.
Tetapi, berbicara tentang orang-orang peranakan Arab, tak urung akan menimbulkan keheranan. Orang akan heran karena banyak tokoh hebat peranakan Arab seperti Ali Alatas, tetapi susah mendapatkan buku tentang kehidupan kelompok etnis tersebut. Kita tahu tentang Anies Baswedan PhD, intelektual muda yang kini menjabat rektor Universitas Paramadina. Seperti juga bintang musik rock Achmad Albar, bintang sinetron Shireen Sungkar, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, promotor balap mobil Helmy Sungkar, tokoh HAM Munir, mantan Menkeu Fuad Bawazier, almarhum Mendikbud Fuad Hassan, mantan Menkeu Mar'ie Muhammad, dan sebagainya.
Saya memang heran, karena sulit sekali saya menemukan buku-buku tentang peranakan Arab di Indonesia. Kalau ada, tentu membicarakan masa lalu. Nyaris tidak ada yang berbicara masa kini. Bandingkan dengan buku-buku yang membahas orang-orang Tionghoa. Amat banyak ditemukan di toko buku. Padahal, sekarang jumlah doktor dan profesor keturunan Arab juga banyak. Padahal juga, saat ini tokoh keturunan Arab yang bergerak di dunia perbukuan dan media juga tidak sedikit. Kita mengenal nama Nono Anwar Makarim PhD, tokoh pers mahasiswa 1960-an yang kini jadi ahli hukum dan juga promotor perbukuan. Di Surabaya, ada Adi Amar yang memimpin Penerbit Buku Risalah Gusti. Sedangkan di Bandung ada Haidar Bagir PhD, bos penerbit Mizan, yang baru terpilih sebagai The Best CEO 2008 versi Majalah Swa.
Lebih dari itu, orang-orang keturunan Arab ternyata adalah pionir dunia penerbitan di negeri ini. Sebuah artikel yang ditulis Nico Kaptein, ilmuwan Belanda, pada 1993, menunjukkan hal itu. Dalam tulisan berjudul An Arab Printer in Surabaya in 1853, disebutkan bahwa penulis mendapati sebuah buku berbahasa Arab campur bahasa Melayu di Perpustakaan Universitas Leiden terbitan Surabaya. Buku berjudul Sharaf al-anam itu diselesaikan di Kampung Baru, Surabaya, di tepi Kali Mas pada 15 Ramadan tahun 1269 Hijriyah. Penerbitnya, Husayn ibn Muhammad al-Husayn al-Habshi. Sebuah artikel yang menarik, karena juga membicarakan mesin cetak yang saat itu sangat sulit dimiliki orang di luar orang Belanda. Sayangnya, Nico Kaptein tidak bisa memperoleh informasi bagaimana kelanjutan penerbitan tersebut. Bangkrut ataukah disita oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah orang-orang peranakan Arab jelas sangat menarik. Saya membayangkan setelah ini akan terbit buku-buku yang membicarakan kelompok etnis ini. Tentang generasi masa kininya, bukan masa lalu. Selama ini memang hanya buku-buku ''masa lalu'' yang ada. Itu pun sudah sulit ditemukan, kecuali di perpustakaan tertentu. Misalnya, buku Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara karya L.W.C. van den Berg. Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Belanda pada 1886. Buku ini memang bagus. Tetapi, ya itu tadi, berbicara masa lalu, karena memang sudah lama ditulis.
Dari buku van den Berg kita tahu bagaimana kerasnya perjuangan para lelaki Hadramaut untuk bisa datang ke Indonesia. Dari kota-kota pedalaman di Hadramaut, mereka harus berjalan kaki ratusan kilometer ke kota kawasan pantai (pelabuhan), sebelum akhirnya naik kapal berbulan-bulan lamanya hingga tiba di Indonesia.
Meskipun ada orang-orang Arab Yaman yang datang jauh hari sebelumnya, gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Jogjakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, dan juga ke NTT dan Timor Leste (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga peranak-pinak.
Saya membayangkan, para penulis akan mengabadikan beragam kisah yang menarik tentang orang-orang peranakan Arab masa kini itu. Bagaimana kaum mudanya? Apa kekhasan kehidupan mereka? Apa yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya?
Orang-orang Arab di masa lalu memang dikenal sangat rajin dan ulet bekerja. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang hemat dalam mengumpulkan uang hasil dagangnya, dan setelah cukup banyak mereka belikan tanah atau rumah. Rumah yang mereka beli kemudian mereka sewakan, uangnya ditabung dan setelah terkumpul mereka belikan rumah lainnya. Begitu seterusnya.
Bukan sesuatu yang aneh bila seorang keturunan Arab memiliki 10 hingga 20 rumah dan gedung bangunan kantor. Namun, anak cucu mereka dewasa ini tidak mempunyai ketekunan dan keuletan seperti itu. Setelah orang tua dan kakeknya meninggal, mereka menjual begitu saja harta warisan keluarga.
Di masa lalu, banyak rumah dan bangunan megah di banyak jalan protokol di Surabaya dan Jakarta adalah milik orang-orang keturunan Arab. Namun sekarang, bangunan-bangunan itu telah berganti pemilik.
Fakta-fakta seperti itulah baru sebagian topik yang layak ditulis sebagai buku. Kita tunggu. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Dikutip dari Jawa Pos, 28 Desember 2008
Sebelum itu, tiga pekan lalu, sebuah acara bertajuk Festival Kampoeng Ampel digelar di Balai Pemuda Surabaya. Selain penampilan karya seni, juga ada diskusi dan bedah buku tentang orang-orang Arab dari Hadramaut, Kebangkitan Hadrami di Indonesia karya Natalie Mobini Kesheh. Nama Ali Alatas tentu disebut-sebut karena ketokohannya yang menjulang tinggi.
Tetapi, berbicara tentang orang-orang peranakan Arab, tak urung akan menimbulkan keheranan. Orang akan heran karena banyak tokoh hebat peranakan Arab seperti Ali Alatas, tetapi susah mendapatkan buku tentang kehidupan kelompok etnis tersebut. Kita tahu tentang Anies Baswedan PhD, intelektual muda yang kini menjabat rektor Universitas Paramadina. Seperti juga bintang musik rock Achmad Albar, bintang sinetron Shireen Sungkar, Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, promotor balap mobil Helmy Sungkar, tokoh HAM Munir, mantan Menkeu Fuad Bawazier, almarhum Mendikbud Fuad Hassan, mantan Menkeu Mar'ie Muhammad, dan sebagainya.
Saya memang heran, karena sulit sekali saya menemukan buku-buku tentang peranakan Arab di Indonesia. Kalau ada, tentu membicarakan masa lalu. Nyaris tidak ada yang berbicara masa kini. Bandingkan dengan buku-buku yang membahas orang-orang Tionghoa. Amat banyak ditemukan di toko buku. Padahal, sekarang jumlah doktor dan profesor keturunan Arab juga banyak. Padahal juga, saat ini tokoh keturunan Arab yang bergerak di dunia perbukuan dan media juga tidak sedikit. Kita mengenal nama Nono Anwar Makarim PhD, tokoh pers mahasiswa 1960-an yang kini jadi ahli hukum dan juga promotor perbukuan. Di Surabaya, ada Adi Amar yang memimpin Penerbit Buku Risalah Gusti. Sedangkan di Bandung ada Haidar Bagir PhD, bos penerbit Mizan, yang baru terpilih sebagai The Best CEO 2008 versi Majalah Swa.
Lebih dari itu, orang-orang keturunan Arab ternyata adalah pionir dunia penerbitan di negeri ini. Sebuah artikel yang ditulis Nico Kaptein, ilmuwan Belanda, pada 1993, menunjukkan hal itu. Dalam tulisan berjudul An Arab Printer in Surabaya in 1853, disebutkan bahwa penulis mendapati sebuah buku berbahasa Arab campur bahasa Melayu di Perpustakaan Universitas Leiden terbitan Surabaya. Buku berjudul Sharaf al-anam itu diselesaikan di Kampung Baru, Surabaya, di tepi Kali Mas pada 15 Ramadan tahun 1269 Hijriyah. Penerbitnya, Husayn ibn Muhammad al-Husayn al-Habshi. Sebuah artikel yang menarik, karena juga membicarakan mesin cetak yang saat itu sangat sulit dimiliki orang di luar orang Belanda. Sayangnya, Nico Kaptein tidak bisa memperoleh informasi bagaimana kelanjutan penerbitan tersebut. Bangkrut ataukah disita oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kisah orang-orang peranakan Arab jelas sangat menarik. Saya membayangkan setelah ini akan terbit buku-buku yang membicarakan kelompok etnis ini. Tentang generasi masa kininya, bukan masa lalu. Selama ini memang hanya buku-buku ''masa lalu'' yang ada. Itu pun sudah sulit ditemukan, kecuali di perpustakaan tertentu. Misalnya, buku Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara karya L.W.C. van den Berg. Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Belanda pada 1886. Buku ini memang bagus. Tetapi, ya itu tadi, berbicara masa lalu, karena memang sudah lama ditulis.
Dari buku van den Berg kita tahu bagaimana kerasnya perjuangan para lelaki Hadramaut untuk bisa datang ke Indonesia. Dari kota-kota pedalaman di Hadramaut, mereka harus berjalan kaki ratusan kilometer ke kota kawasan pantai (pelabuhan), sebelum akhirnya naik kapal berbulan-bulan lamanya hingga tiba di Indonesia.
Meskipun ada orang-orang Arab Yaman yang datang jauh hari sebelumnya, gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Jogjakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, dan juga ke NTT dan Timor Leste (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga peranak-pinak.
Saya membayangkan, para penulis akan mengabadikan beragam kisah yang menarik tentang orang-orang peranakan Arab masa kini itu. Bagaimana kaum mudanya? Apa kekhasan kehidupan mereka? Apa yang membedakan mereka dengan generasi sebelumnya?
Orang-orang Arab di masa lalu memang dikenal sangat rajin dan ulet bekerja. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang hemat dalam mengumpulkan uang hasil dagangnya, dan setelah cukup banyak mereka belikan tanah atau rumah. Rumah yang mereka beli kemudian mereka sewakan, uangnya ditabung dan setelah terkumpul mereka belikan rumah lainnya. Begitu seterusnya.
Bukan sesuatu yang aneh bila seorang keturunan Arab memiliki 10 hingga 20 rumah dan gedung bangunan kantor. Namun, anak cucu mereka dewasa ini tidak mempunyai ketekunan dan keuletan seperti itu. Setelah orang tua dan kakeknya meninggal, mereka menjual begitu saja harta warisan keluarga.
Di masa lalu, banyak rumah dan bangunan megah di banyak jalan protokol di Surabaya dan Jakarta adalah milik orang-orang keturunan Arab. Namun sekarang, bangunan-bangunan itu telah berganti pemilik.
Fakta-fakta seperti itulah baru sebagian topik yang layak ditulis sebagai buku. Kita tunggu. (*)
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Dikutip dari Jawa Pos, 28 Desember 2008
Menuju Indonesia Unggul
RAKYAT Indonesia mesti bangga memiliki presiden yang gemar menulis. Dibanding pendahulunya --kecuali Presiden Soekarno-- Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbilang enerjik dan piawai mengomunikasikan alur pemikirannya dalam konteks kepemimpinan berbangsa-bernegara melalui buku.
Dengan cara ini, SBY telah mengabadikan pergulatannya dalam segugus momentum penting yang dia alami, sekaligus membangun ruang dialog (imajiner) di wilayah publik, sehingga rakyat bisa menyulam penilaian yang sistemik terhadap kapasitas dan konsistensinya selaku orang nomor wahid di negeri ini.
Buku Indonesia Unggul terbit di aras itu. Namun buku ini tidak disusun berdasar atas sebuah tema keindonesiaan yang utuh dan dikupas secara komprehensif, akan tetapi sekadar dokumentasi pidato SBY yang disampaikan dalam beragam kesempatan pada medium 2005-2006, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di dunia internasional. Hanya saja, pada bagian akhir disisipi wawancara SBY dengan beberapa media internasional semisal Time Asia, The International Herald Tribune, Newsweek International, The Wall Street Journal, dan penilaian (positif) Yenny Wahid terhadap sosok SBY.
Karena berbentuk dokumentasi pidato, maka yang terasa bukan membaca sebuah tulisan, melainkan seolah-olah tengah mendengarkan orasi SBY di depan mik. Dengan begini, ulasan-ulasan yang diketengahkan memang global dan lebih mengandung nuansa reflektif, sehingga gampang dicerna oleh khalayak biasa.
Justru karena itulah, tak ada pembahasan detail dan analisis kritis sebagaimana lazim dijumpai bila membaca sebuah tulisan --dalam bentuk makalah atau opini. Hatta, bisa jadi bagi kalangan akademisi kontribusi konkret buku ini terasa sunyi, kecuali sebatas informasi.
Mengabaikan faktor tersebut, yang pasti buku bunga rampai pidato SBY ini layak diapresiasi. Di sini dirangkumkan bagaimana perspektif SBY mengenai pembangunan bangsa, demokrasi, dan reformasi; renungannya tentang Islam; resolusi konflik; strategi penguatan ekonomi, pembangunan, dan tujuan pembangunan millenium (MDGs); reposisi dan reorientasi hubungan Indonesia dalam kancah dunia internasional; dan refleksi pribadi terkait posisinya saat ini.
Terkait dengan konsepsi budaya unggul (hlm. 3-12), yang menginspirasi penjudulan buku ini, SBY menjelentrehkan torehan prestasi, di antaranya, dalam upaya pemberantasan korupsi menuju terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bukti keseriusan kebijakan ini adalah ketika SBY ''cuci tangan'' dalam pengusutan dugaan korupsi terhadap besannya, Aulia Pohan. Walhasil, disinyalir biaya korupsi di Indonesia per total produksi menurun dari 10 persen ke 6 persen.
SBY mengakui bahwa pencapaian budaya unggul tidak terlepas dari tegaknya demokrasi, reformasi, berikut resolusi konflik yang merebak di awal-awal pemerintahannya sekaligus merupakan pengembangan dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal ini diyakini sepenuhnya, serangkaian konflik itu merupakan bagian tak terelakkan dari transisi demokrasi yang berembus sejak medio 1998. Pelan namun pasti, konflik-konflik itu menemukan solusi. Salah satu capaian prestisius adalah ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia terkait dengan penyelesaian sengketa Aceh yang berkepanjangan (hlm. 108-116).
Di sisi lain, tantangan transisi demokrasi adalah perlunya transformasi yang menyeluruh dengan berkaca pada pengalaman berbagai negara. Dalam konteks ini, SBY mengurai 9 poin penting, di antaranya adalah didorong oleh pemimpin yang merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik, memberi energi positif pada aspek keberhidupan bangsa, serta transparan dalam tata kelola pemerintahan (hlm. 50-60).
Hal yang cukup heroik di buku ini yaitu seruan lantang SBY pada Sidang Pleno Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB pada 14 September 2005. SBY berani menuding PBB bersikap tidak netral dengan serangkaian kebijakan yang ambigu. PBB memberi beban yang cukup berat kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ketimbang negara-negara maju dalam berpartisipasi di ranah global terutama terhadap penanganan isu-isu multilateral.
SBY juga menyerukan perlunya reformasi Dewan Keamanan PBB dengan menekankan pada kriteria yang jelas dan objektif bagi anggota-anggota baru. Usulan pembentukan Dewan Hak-Hak Asasi Manusia secara terbuka, transparan, dan inklusif di bawah naungan Majelis Umum pun digulirkan demi terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi secara global (hlm. 181-191).
Melalui buku ini sesungguhnya rakyat Indonesia sedang diajak terlibat dalam sebuah proses panjang menuju Indonesia unggul. Letupan pemikiran SBY dalam gugusan pidatonya bisa menjadi bahan renungan dan kajian yang dinamis. Namun kesan bahwa lewat buku ini SBY mencitrakan diri sebagai pemimpin yang telah banyak melakukan perubahan dan membawa gerbong negara Indonesia menuju stasiun kemapanan serta merta tak terbantahkan.
Apalagi penyertaan foto-foto eksklusif nan monumental SBY dalam sejumlah kesempatan, baik di pelbagai wilayah Indonesia maupun ketika lawatan ke luar negeri, kian meneguhkan kesan itu. Sayangnya, foto-foto itu tak dibubuhi keterangan seputar kapan dan di mana diambil, sehingga bisa merentangkan jarak psikologis dan menyumbat proses dialog imajiner ketika melihatnya.
Andai saja, buku ini sekaligus memuat narasi penyeimbang dari sejumlah tokoh yang memberi komentar objektif (plus-minus) terhadap pemikiran kenegarawanan SBY, tentu akan terbangun dialektika yang dinamis. Sebab, tanpa narasi penyeimbang, buku ini terkesan jadi semacam media kampanye terselubung menjelang digelarnya pesta Pemilu 2009, dan pencitraan diri seorang pemimpin yang narsistis (baca: ngujo roso). (*)
*) Saiful Amin Ghofur, Redaktur Jurnal Studi Agama MILLAH MSI-UII Jogjakarta
Judul Buku: Indonesia Unggul
Penulis: Dr Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: xii + 335 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
Dengan cara ini, SBY telah mengabadikan pergulatannya dalam segugus momentum penting yang dia alami, sekaligus membangun ruang dialog (imajiner) di wilayah publik, sehingga rakyat bisa menyulam penilaian yang sistemik terhadap kapasitas dan konsistensinya selaku orang nomor wahid di negeri ini.
Buku Indonesia Unggul terbit di aras itu. Namun buku ini tidak disusun berdasar atas sebuah tema keindonesiaan yang utuh dan dikupas secara komprehensif, akan tetapi sekadar dokumentasi pidato SBY yang disampaikan dalam beragam kesempatan pada medium 2005-2006, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di dunia internasional. Hanya saja, pada bagian akhir disisipi wawancara SBY dengan beberapa media internasional semisal Time Asia, The International Herald Tribune, Newsweek International, The Wall Street Journal, dan penilaian (positif) Yenny Wahid terhadap sosok SBY.
Karena berbentuk dokumentasi pidato, maka yang terasa bukan membaca sebuah tulisan, melainkan seolah-olah tengah mendengarkan orasi SBY di depan mik. Dengan begini, ulasan-ulasan yang diketengahkan memang global dan lebih mengandung nuansa reflektif, sehingga gampang dicerna oleh khalayak biasa.
Justru karena itulah, tak ada pembahasan detail dan analisis kritis sebagaimana lazim dijumpai bila membaca sebuah tulisan --dalam bentuk makalah atau opini. Hatta, bisa jadi bagi kalangan akademisi kontribusi konkret buku ini terasa sunyi, kecuali sebatas informasi.
Mengabaikan faktor tersebut, yang pasti buku bunga rampai pidato SBY ini layak diapresiasi. Di sini dirangkumkan bagaimana perspektif SBY mengenai pembangunan bangsa, demokrasi, dan reformasi; renungannya tentang Islam; resolusi konflik; strategi penguatan ekonomi, pembangunan, dan tujuan pembangunan millenium (MDGs); reposisi dan reorientasi hubungan Indonesia dalam kancah dunia internasional; dan refleksi pribadi terkait posisinya saat ini.
Terkait dengan konsepsi budaya unggul (hlm. 3-12), yang menginspirasi penjudulan buku ini, SBY menjelentrehkan torehan prestasi, di antaranya, dalam upaya pemberantasan korupsi menuju terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bukti keseriusan kebijakan ini adalah ketika SBY ''cuci tangan'' dalam pengusutan dugaan korupsi terhadap besannya, Aulia Pohan. Walhasil, disinyalir biaya korupsi di Indonesia per total produksi menurun dari 10 persen ke 6 persen.
SBY mengakui bahwa pencapaian budaya unggul tidak terlepas dari tegaknya demokrasi, reformasi, berikut resolusi konflik yang merebak di awal-awal pemerintahannya sekaligus merupakan pengembangan dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal ini diyakini sepenuhnya, serangkaian konflik itu merupakan bagian tak terelakkan dari transisi demokrasi yang berembus sejak medio 1998. Pelan namun pasti, konflik-konflik itu menemukan solusi. Salah satu capaian prestisius adalah ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia terkait dengan penyelesaian sengketa Aceh yang berkepanjangan (hlm. 108-116).
Di sisi lain, tantangan transisi demokrasi adalah perlunya transformasi yang menyeluruh dengan berkaca pada pengalaman berbagai negara. Dalam konteks ini, SBY mengurai 9 poin penting, di antaranya adalah didorong oleh pemimpin yang merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik, memberi energi positif pada aspek keberhidupan bangsa, serta transparan dalam tata kelola pemerintahan (hlm. 50-60).
Hal yang cukup heroik di buku ini yaitu seruan lantang SBY pada Sidang Pleno Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB pada 14 September 2005. SBY berani menuding PBB bersikap tidak netral dengan serangkaian kebijakan yang ambigu. PBB memberi beban yang cukup berat kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ketimbang negara-negara maju dalam berpartisipasi di ranah global terutama terhadap penanganan isu-isu multilateral.
SBY juga menyerukan perlunya reformasi Dewan Keamanan PBB dengan menekankan pada kriteria yang jelas dan objektif bagi anggota-anggota baru. Usulan pembentukan Dewan Hak-Hak Asasi Manusia secara terbuka, transparan, dan inklusif di bawah naungan Majelis Umum pun digulirkan demi terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi secara global (hlm. 181-191).
Melalui buku ini sesungguhnya rakyat Indonesia sedang diajak terlibat dalam sebuah proses panjang menuju Indonesia unggul. Letupan pemikiran SBY dalam gugusan pidatonya bisa menjadi bahan renungan dan kajian yang dinamis. Namun kesan bahwa lewat buku ini SBY mencitrakan diri sebagai pemimpin yang telah banyak melakukan perubahan dan membawa gerbong negara Indonesia menuju stasiun kemapanan serta merta tak terbantahkan.
Apalagi penyertaan foto-foto eksklusif nan monumental SBY dalam sejumlah kesempatan, baik di pelbagai wilayah Indonesia maupun ketika lawatan ke luar negeri, kian meneguhkan kesan itu. Sayangnya, foto-foto itu tak dibubuhi keterangan seputar kapan dan di mana diambil, sehingga bisa merentangkan jarak psikologis dan menyumbat proses dialog imajiner ketika melihatnya.
Andai saja, buku ini sekaligus memuat narasi penyeimbang dari sejumlah tokoh yang memberi komentar objektif (plus-minus) terhadap pemikiran kenegarawanan SBY, tentu akan terbangun dialektika yang dinamis. Sebab, tanpa narasi penyeimbang, buku ini terkesan jadi semacam media kampanye terselubung menjelang digelarnya pesta Pemilu 2009, dan pencitraan diri seorang pemimpin yang narsistis (baca: ngujo roso). (*)
*) Saiful Amin Ghofur, Redaktur Jurnal Studi Agama MILLAH MSI-UII Jogjakarta
Judul Buku: Indonesia Unggul
Penulis: Dr Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: xii + 335 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
22 Desember 2008
Catatan Hitam McCain
Pada 4 November 2008 adalah hari paling bersejarah bagi rakyat Amerika Serikat (AS). Barack Obama, senator Illinois dari Partai Demokrat, terpilih sebagai presiden ke-44 Amerika, sekaligus presiden pertama dari kulit hitam. Kenyataan ini membuktikan tingkat kedewasaan dan kematangan rakyat Amerika, yang tidak lagi melihat perbedaan ras dan kelompok dalam menentukan pemimpin masa depannya.
Senator yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta Pusat ini, dengan telak mengalahkan rivalnya, John McCain dari Partai Republik. Tak tanggung-tanggung Obama berhasil menyabet 349 suara elektoral, jauh melampaui syarat minimal untuk menang: 270 suara. Sedangkan rivalnya, McCain hanya mampu meraup 173 suara elektoral. Sungguh suara yang cukup jomplang.
Kini, dunia tengah menunggu langkah konkret dari Obama. Mereka berharap, ke depan dia dapat membawa perubahan yang cukup signifikan tidak hanya bagi negaranya, tapi juga bagi masyarakat dunia. Sebab, nasib dunia, saat ini bisa dikatakan, sangat bergantung pada kebijakan dan komitmennya, memberi berkah pada dunia --sesuai dengan nama Afrikanya, Barack yang berarti ''berkah''. Berkah bagi negaranya dan bagi warga dunia.
Kemenangan Obama atas McCain dalam pemilu yang lalu, bisa saja ditarik kesimpulan bahwa rakyat Amerika sepertinya sudah jenuh dengan model kepemimpinan yang diterapkan George W. Bush; suka berperang, arogan, egois, dan gemar membuat masalah. Akibatnya, McCain, sang veteran perang Vietnam, sekaligus anak didik Bush, harus rela ditinggalkan publik Amerika dalam pemilu kemarin, walaupun dalam sejarahnya ia pernah menorehkan tinta emas bagi negara adidaya itu.
Citra McCain di mata rakyat Amerika, bahkan dunia sekalipun, tak lebih sebagai monster baru dari gedung putih yang siap merongrong dan mengusik kedamaian dunia. Ia tak jauh berbeda dengan pendahulunya, Bush. Sebagaimana Bush, McCain akan selalu mengobarkan api peperangan di seluruh dunia, terutama di wilayah Timur Tengah sebagai target utamanya.
Pertanyaanya, benarkah John McCain memiliki kepribadian dan karakter yang banyak kemiripan dengan Bush?
Buku ''The Real McCain'' karya Cliff Schecter, konsultan dan komentator politik Amerika ini membeberkan sisi gelap dari senator Arizona ini. Dalam beberapa catatan disebutkan, jika McCain terpilih menjadi presiden Amerika, maka sudah dapat dipastikan dunia akan menghadapi kesulitan yang sama, bahkan boleh jadi lebih parah dari masa pemerintahan Bush. Politik pecah belah dan standar ganda yang sering diterapkan Bush, diprediksikan akan menjadi senjata utama McCain dalam hubungan diplomatiknya. Dengan begitu, setiap kebijakan luar negerinya akan selalu merugikan negara lain.
Dari beberapa kali tema kampanye yang diusungnya, secara terang-terangan McCain mengatakan bahwa perang melawan Irak dan Afghanistan adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan bangsa Amerika. Karena bagaimanapun, tegasnya, bila dua negara tersebut tidak ditumpas terlebih dahulu, keduanya akan menjadi penghalang bagi masa depan Amerika. Apalagi dua negara itu diyakini sebagai negara yang melegalkan aksi kekerasan dan terorisme global. Perang suci atau jihad adalah doktrin yang selalu digunakan mereka untuk melakukan teror dan ancaman di muka bumi ini.
Untuk menumpas terorisme global, dalam buku ini penulis menuturkan, McCain akan melakukan aksi segala cara meskipun harus mengorbankan nyawa manusia tak berdosa. McCain siap menggelontorkan dana yang cukup besar untuk menumpas teroris di muka bumi ini. Dan, cara yang paling ia sukai adalah menggunakan kekuatan militer sebagai senjata pemungkas.
Berlatar belakang militer dan pernah terlibat dalam beberapa perang penting di Vietnam, sudah cukup alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa McCain sosok yang suka mengandalkan kekuatan militer, apalagi bertujuan untuk menumpas teroris.
McCain juga memiliki pandangan yang bias terhadap Islam. Ia selalu menyandingkan kata ''Islam'' dengan ''terorisme''. Baginya, Islam adalah agama satu-satunya yang merestui aksi kekerasan dan terorisme. Salah satu buktinya, kata dia, adalah serangan mengerikan 11 September yang meruntuhkan Word Trade Centre (WTC) dan Pentagon pada waktu yang hampir bersamaan.
Tragedi 11 September menyisakan ingatan pedih yang cukup mendalam bagi McCain. Mulai saat itulah ia membenci Islam dan selalu menyamakanya dengan teroris. Karena itu, baginya, Islam harus diperangi dan tak boleh berkembang. Sebaliknya, ia mendukung penuh berdirinya negara zionis Israel dengan ibu kota Yerussalem. Sebab, dengan berdirinya negara zionis di tanah Yerussalem, maka secara otomatis umat muslim yang berada di sana harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Selain fakta mengerikan mengenai McCain, masih banyak lagi catatan hitam McCain yang diungkap dalam buku ini. Masa lalunya yang terbiasa dengan perang dan dunia militer, kehidupan pribadinya yang keras, juga rencana-rencana kabinetnya yang meneruskan kebijakan Bush. Dari segi ideologis, McCain merupakan karakter yang berubah-ubah. Ia bukan karakter yang moderat dan toleran. ''Ia adalah seorang konservatif sebelum menjadi seorang liberal, sebelum ia menjadi seorang konservatif lagi,'' kata Jacob Weisberg di majalah Slate.
Buku ini merupakan catatan kritis penulis yang membeberkan banyak fakta menakutkan tentang McCain berikut teror dan horornya. Ia adalah seorang petualang politik yang berbahaya bagi kedamaian dunia dan bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, Joe Trippi, penulis The Revolution Will Not Be Televised, merekomendasikan buku ini untuk dibaca secara umum, khususnya bagi siapa yang ingin mengetahui seberapa bahayanya McCain jika ia terpilih sebagai presiden. Beruntung, ia takluk pada Barack Obama. (*)
Judul Buku : The Real McCain
Penulis : Cliff Schecter
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal : 218 halaman
---
Mohamad Asrori Mulky, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Senator yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta Pusat ini, dengan telak mengalahkan rivalnya, John McCain dari Partai Republik. Tak tanggung-tanggung Obama berhasil menyabet 349 suara elektoral, jauh melampaui syarat minimal untuk menang: 270 suara. Sedangkan rivalnya, McCain hanya mampu meraup 173 suara elektoral. Sungguh suara yang cukup jomplang.
Kini, dunia tengah menunggu langkah konkret dari Obama. Mereka berharap, ke depan dia dapat membawa perubahan yang cukup signifikan tidak hanya bagi negaranya, tapi juga bagi masyarakat dunia. Sebab, nasib dunia, saat ini bisa dikatakan, sangat bergantung pada kebijakan dan komitmennya, memberi berkah pada dunia --sesuai dengan nama Afrikanya, Barack yang berarti ''berkah''. Berkah bagi negaranya dan bagi warga dunia.
Kemenangan Obama atas McCain dalam pemilu yang lalu, bisa saja ditarik kesimpulan bahwa rakyat Amerika sepertinya sudah jenuh dengan model kepemimpinan yang diterapkan George W. Bush; suka berperang, arogan, egois, dan gemar membuat masalah. Akibatnya, McCain, sang veteran perang Vietnam, sekaligus anak didik Bush, harus rela ditinggalkan publik Amerika dalam pemilu kemarin, walaupun dalam sejarahnya ia pernah menorehkan tinta emas bagi negara adidaya itu.
Citra McCain di mata rakyat Amerika, bahkan dunia sekalipun, tak lebih sebagai monster baru dari gedung putih yang siap merongrong dan mengusik kedamaian dunia. Ia tak jauh berbeda dengan pendahulunya, Bush. Sebagaimana Bush, McCain akan selalu mengobarkan api peperangan di seluruh dunia, terutama di wilayah Timur Tengah sebagai target utamanya.
Pertanyaanya, benarkah John McCain memiliki kepribadian dan karakter yang banyak kemiripan dengan Bush?
Buku ''The Real McCain'' karya Cliff Schecter, konsultan dan komentator politik Amerika ini membeberkan sisi gelap dari senator Arizona ini. Dalam beberapa catatan disebutkan, jika McCain terpilih menjadi presiden Amerika, maka sudah dapat dipastikan dunia akan menghadapi kesulitan yang sama, bahkan boleh jadi lebih parah dari masa pemerintahan Bush. Politik pecah belah dan standar ganda yang sering diterapkan Bush, diprediksikan akan menjadi senjata utama McCain dalam hubungan diplomatiknya. Dengan begitu, setiap kebijakan luar negerinya akan selalu merugikan negara lain.
Dari beberapa kali tema kampanye yang diusungnya, secara terang-terangan McCain mengatakan bahwa perang melawan Irak dan Afghanistan adalah sebuah keniscayaan yang mesti dilakukan bangsa Amerika. Karena bagaimanapun, tegasnya, bila dua negara tersebut tidak ditumpas terlebih dahulu, keduanya akan menjadi penghalang bagi masa depan Amerika. Apalagi dua negara itu diyakini sebagai negara yang melegalkan aksi kekerasan dan terorisme global. Perang suci atau jihad adalah doktrin yang selalu digunakan mereka untuk melakukan teror dan ancaman di muka bumi ini.
Untuk menumpas terorisme global, dalam buku ini penulis menuturkan, McCain akan melakukan aksi segala cara meskipun harus mengorbankan nyawa manusia tak berdosa. McCain siap menggelontorkan dana yang cukup besar untuk menumpas teroris di muka bumi ini. Dan, cara yang paling ia sukai adalah menggunakan kekuatan militer sebagai senjata pemungkas.
Berlatar belakang militer dan pernah terlibat dalam beberapa perang penting di Vietnam, sudah cukup alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa McCain sosok yang suka mengandalkan kekuatan militer, apalagi bertujuan untuk menumpas teroris.
McCain juga memiliki pandangan yang bias terhadap Islam. Ia selalu menyandingkan kata ''Islam'' dengan ''terorisme''. Baginya, Islam adalah agama satu-satunya yang merestui aksi kekerasan dan terorisme. Salah satu buktinya, kata dia, adalah serangan mengerikan 11 September yang meruntuhkan Word Trade Centre (WTC) dan Pentagon pada waktu yang hampir bersamaan.
Tragedi 11 September menyisakan ingatan pedih yang cukup mendalam bagi McCain. Mulai saat itulah ia membenci Islam dan selalu menyamakanya dengan teroris. Karena itu, baginya, Islam harus diperangi dan tak boleh berkembang. Sebaliknya, ia mendukung penuh berdirinya negara zionis Israel dengan ibu kota Yerussalem. Sebab, dengan berdirinya negara zionis di tanah Yerussalem, maka secara otomatis umat muslim yang berada di sana harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Selain fakta mengerikan mengenai McCain, masih banyak lagi catatan hitam McCain yang diungkap dalam buku ini. Masa lalunya yang terbiasa dengan perang dan dunia militer, kehidupan pribadinya yang keras, juga rencana-rencana kabinetnya yang meneruskan kebijakan Bush. Dari segi ideologis, McCain merupakan karakter yang berubah-ubah. Ia bukan karakter yang moderat dan toleran. ''Ia adalah seorang konservatif sebelum menjadi seorang liberal, sebelum ia menjadi seorang konservatif lagi,'' kata Jacob Weisberg di majalah Slate.
Buku ini merupakan catatan kritis penulis yang membeberkan banyak fakta menakutkan tentang McCain berikut teror dan horornya. Ia adalah seorang petualang politik yang berbahaya bagi kedamaian dunia dan bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, Joe Trippi, penulis The Revolution Will Not Be Televised, merekomendasikan buku ini untuk dibaca secara umum, khususnya bagi siapa yang ingin mengetahui seberapa bahayanya McCain jika ia terpilih sebagai presiden. Beruntung, ia takluk pada Barack Obama. (*)
Judul Buku : The Real McCain
Penulis : Cliff Schecter
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Agustus 2008
Tebal : 218 halaman
---
Mohamad Asrori Mulky, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Buku-Buku Novel yang Bergerak
Pekan pertama bulan Desember ini, setidaknya ditemukan dua buku yang tengah bergerak indah dengan bentuk interpretasi yang unik. Buku dipahami sebagai media informasi melalui tulisan, sementara bergerak berarti suatu keadaan dinamis, fleksible, dan tidak rigid. Pada saat buku sastra menjadi sebuah audio-visual akibat sentuhan sineas, di situlah buku-buku mulai bergerak terlepas diri dari kejumudan kata.
Kedua buku tersebut adalah Twiligt karya Stephenie Meyer dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sukses besar yang sudah terengkuh dalam penjualan berimbas pada media lain di mana buku-buku novel menjadi bergerak. Tabloid Nyata memberitakan bahwa kesuksesan Twilight berwujud pemecahan rekor pemasukan bioskop pada pemutaran perdana (Jumat, 21/11), yakni USD 70,6 juta atau Rp 858 miliar, mengalahkan Quantum of Solace-nya James Bond (USD 27,4 juta). Sebuah nilai fantastis mengingat krisis yang tengah dihadapi Amerika saat ini dan biaya produksi film Twilight yang ''hanya'' USD 37 juta.
Respon positif juga dirasakan novel bergerak asli buatan anak Belitong, Laskar Pelangi. Konon, film ini telah ditonton lebih dari 4,3 juta penduduk Indonesia (Jawa Pos, 2/12). Tentu saja angka itu belum termasuk penonton di layar tancap di Belitong yang mencapai 300 ribuan. Meski data pemasukan uang bukan standar kesuksesan film di Indonesia, melihat geliat apresiasi film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama ini seakan melecut sebuah gebrakan ''baru'' supaya lebih berkonsentrasi pada mewujudkan novel bermutu anak bangsa menjadi bergerak.
Sebuah Kontroversi
Membaca sebuah perjalanan buku-buku novel yang bergerak, ternyata kita mendapati sebuah kenyataan bahwa, menurut sutradara film Garin Nugroho, 85 persen film pemenang Oscar, 45 persen film cerita dan 83 persen miniseri televisi merupakan adaptasi dari novel. Begitu banyak bertebaran proyek menghidupkan novel dalam ruang gerak yang berbeda.
Pangsa luar negeri setidaknya terwakili oleh The Davinci Code-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Gone With the Wind-nya Margaret Mitchell, Lord of the Ring-nya J.R.R. Tolkien. Untuk buku bergerak yang terakhir, film yang mengadopsi novel laris dengan nama yang sama pernah mengantongi 9 piala Oscar dari 11 nominasi yang diperebutkan. Sedangkan di Indonesia, kita pernah memilki Siti Nurbaya karya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati, Di Bawah Lindungan Ka'bah-nya Buya Hamka, dan yang masih hangat terekam, Cintapuccino-nya Icha Rahmanti, Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Syirazi, dan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri, buku-buku novel yang bergerak ternyata mampu menjadi blue print dalam menggarap film bermutu. Kendati demikian, kontroversi sering mengemuka sebagai buah dari kekecewaan. Kekecewaan rawan terjadi saat pemahaman terhadap sebuah karya tidak dipahami secara arif. Misalnya, mengenai perbedaan antara novel yang terbatasi space dengan novel bergerak hasil pemahaman sineas.
Salah satunya, kekecewaan penonton film AAC-nya Kang Abik -panggilan Habiburrahman El-Syirazi. Beragam kekecewaan ditumpahkan mengimbangi berbagai lapisan masyarakat yang memujinya. Plot, karakter, keindahan estetika setting cerita, termasuk yang sering diperselisihkan. Bahkan Ayu Utami pernah mengkritik esensi muatan cerita yang menganggap bahwa penulis tidak memiliki keberanian dalam meneruskan polemik poligami di mana sosok Maria, salah satu tokoh, dibunuh dalam akhir cerita.
Kekecewaan dimungkinkan timbul pula dari pengarang novel. Habiburrahman mengaku kurang puas atas terwujudnya film AAC yang disutradarai Hanung Bramantyo itu. Ahmad Tohari juga pernah mengutarakan kekecewaanya atas film Ronggeng Dukuh Paruk. Hal sama juga pernah dirasakan Achdiat K Mihardja dan Y.B. Mangunwijaya saat Atheis (1975) dan Roro Mendut (1984) memasuki layar lebar. Alasan utamanya: ternyata kemauan sang penulis sebagai ''tuhan dari cerita'', tidak ditaati.
Menimbang persoalan tersebut, dibutuhkan pemahaman yang lebih arif termasuk mau mengakui bahwa antara novel dan film --sebagai novel yang bergerak-- merupakan sebuah karya yang berbeda. Buku novel yang bergerak merupakan sebuah interpretasi sineas sebagai hasil kontemplasinya memahami sebuah karya. Dalam buku Film Scripwriting a Practical Manual (Swain, 1990) tertera tiga cara mengadaptasi karya sastra ke film. Yaitu mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting dan membuat cerita baru. Kebanyakan para sineas mengeksplorasi diri dengan memilih opsi yang ketiga, karena di situlah kreasi dan kreativitas sineas membuncah dan tersalurkan meski masih dalam koridor muatan cerita utama dalam novel.
Akan banyak lagi karya-karya penulis novel yang mulai menggeliat, bergerak dalam ruangan yang benar-benar berbeda. New Moon dan Eclipse karya Sthepenie Meyer akan menyusul Twilight. Kemudian tiga karya Andrea Hirata yang lain --Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov-- sangat mungkin mengikuti jejak sukses Laskar Pelangi. Termasuk karya Habiburrahman El-Shirazi yang saat ini mengawal jalannya proses produksi Ketika Cinta Bertasbih. (*)
Mohammad Ikhwanuddin, pustakawan di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber Jawa Pos, 21 Desember 2008
Kedua buku tersebut adalah Twiligt karya Stephenie Meyer dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sukses besar yang sudah terengkuh dalam penjualan berimbas pada media lain di mana buku-buku novel menjadi bergerak. Tabloid Nyata memberitakan bahwa kesuksesan Twilight berwujud pemecahan rekor pemasukan bioskop pada pemutaran perdana (Jumat, 21/11), yakni USD 70,6 juta atau Rp 858 miliar, mengalahkan Quantum of Solace-nya James Bond (USD 27,4 juta). Sebuah nilai fantastis mengingat krisis yang tengah dihadapi Amerika saat ini dan biaya produksi film Twilight yang ''hanya'' USD 37 juta.
Respon positif juga dirasakan novel bergerak asli buatan anak Belitong, Laskar Pelangi. Konon, film ini telah ditonton lebih dari 4,3 juta penduduk Indonesia (Jawa Pos, 2/12). Tentu saja angka itu belum termasuk penonton di layar tancap di Belitong yang mencapai 300 ribuan. Meski data pemasukan uang bukan standar kesuksesan film di Indonesia, melihat geliat apresiasi film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama ini seakan melecut sebuah gebrakan ''baru'' supaya lebih berkonsentrasi pada mewujudkan novel bermutu anak bangsa menjadi bergerak.
Sebuah Kontroversi
Membaca sebuah perjalanan buku-buku novel yang bergerak, ternyata kita mendapati sebuah kenyataan bahwa, menurut sutradara film Garin Nugroho, 85 persen film pemenang Oscar, 45 persen film cerita dan 83 persen miniseri televisi merupakan adaptasi dari novel. Begitu banyak bertebaran proyek menghidupkan novel dalam ruang gerak yang berbeda.
Pangsa luar negeri setidaknya terwakili oleh The Davinci Code-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Gone With the Wind-nya Margaret Mitchell, Lord of the Ring-nya J.R.R. Tolkien. Untuk buku bergerak yang terakhir, film yang mengadopsi novel laris dengan nama yang sama pernah mengantongi 9 piala Oscar dari 11 nominasi yang diperebutkan. Sedangkan di Indonesia, kita pernah memilki Siti Nurbaya karya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati, Di Bawah Lindungan Ka'bah-nya Buya Hamka, dan yang masih hangat terekam, Cintapuccino-nya Icha Rahmanti, Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Syirazi, dan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.
Baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri, buku-buku novel yang bergerak ternyata mampu menjadi blue print dalam menggarap film bermutu. Kendati demikian, kontroversi sering mengemuka sebagai buah dari kekecewaan. Kekecewaan rawan terjadi saat pemahaman terhadap sebuah karya tidak dipahami secara arif. Misalnya, mengenai perbedaan antara novel yang terbatasi space dengan novel bergerak hasil pemahaman sineas.
Salah satunya, kekecewaan penonton film AAC-nya Kang Abik -panggilan Habiburrahman El-Syirazi. Beragam kekecewaan ditumpahkan mengimbangi berbagai lapisan masyarakat yang memujinya. Plot, karakter, keindahan estetika setting cerita, termasuk yang sering diperselisihkan. Bahkan Ayu Utami pernah mengkritik esensi muatan cerita yang menganggap bahwa penulis tidak memiliki keberanian dalam meneruskan polemik poligami di mana sosok Maria, salah satu tokoh, dibunuh dalam akhir cerita.
Kekecewaan dimungkinkan timbul pula dari pengarang novel. Habiburrahman mengaku kurang puas atas terwujudnya film AAC yang disutradarai Hanung Bramantyo itu. Ahmad Tohari juga pernah mengutarakan kekecewaanya atas film Ronggeng Dukuh Paruk. Hal sama juga pernah dirasakan Achdiat K Mihardja dan Y.B. Mangunwijaya saat Atheis (1975) dan Roro Mendut (1984) memasuki layar lebar. Alasan utamanya: ternyata kemauan sang penulis sebagai ''tuhan dari cerita'', tidak ditaati.
Menimbang persoalan tersebut, dibutuhkan pemahaman yang lebih arif termasuk mau mengakui bahwa antara novel dan film --sebagai novel yang bergerak-- merupakan sebuah karya yang berbeda. Buku novel yang bergerak merupakan sebuah interpretasi sineas sebagai hasil kontemplasinya memahami sebuah karya. Dalam buku Film Scripwriting a Practical Manual (Swain, 1990) tertera tiga cara mengadaptasi karya sastra ke film. Yaitu mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting dan membuat cerita baru. Kebanyakan para sineas mengeksplorasi diri dengan memilih opsi yang ketiga, karena di situlah kreasi dan kreativitas sineas membuncah dan tersalurkan meski masih dalam koridor muatan cerita utama dalam novel.
Akan banyak lagi karya-karya penulis novel yang mulai menggeliat, bergerak dalam ruangan yang benar-benar berbeda. New Moon dan Eclipse karya Sthepenie Meyer akan menyusul Twilight. Kemudian tiga karya Andrea Hirata yang lain --Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov-- sangat mungkin mengikuti jejak sukses Laskar Pelangi. Termasuk karya Habiburrahman El-Shirazi yang saat ini mengawal jalannya proses produksi Ketika Cinta Bertasbih. (*)
Mohammad Ikhwanuddin, pustakawan di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber Jawa Pos, 21 Desember 2008
19 Desember 2008
Presentasi Lomba Artikel Pelajar Tahun 2008
Para pelajar dari tingkat SD, SMP. dan SMA dari seluruh Kabupaten Sragen kemarin Kamis, 18 Desember 2008 berlaga untuk mempresentasikan artikel yang ditulisnya kepada Dewan Juri di Ruang Layanan Anak UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen. Presentasi ini diikuti oleh 10 besar peserta penulis artikel terbaik yang ditetapkan oleh Dewan Juri dari 108 naskah artikel dari SD, 34 naskah dari SMP, dan 31 naskah dari SMA.
Acara ini berlangsung cukup meriah. Anak-anak kita dari SD di daerah ternyata memiliki minat menulis dan membaca yang cukup besar. Bahkan untuk kategori SD dominasi daerah luar kota begitu terasa. Anak-anak desa ini ternyata cukup pintar dalam memaparkan artikelnya.
Desingan peluru kritikan yang dilontarkan oleh peserta lomba terhadap kondisi perpustakaan di sekolahnya membuat suasana lomba banyak diiringi oleh senyum dan tawa penonton. Bahkan mereka terkesan begitu berani dan kritis terhadap kekurangan yang ada di sekolahnya meskipun ditunggui ibu-bapak gurunya. Sebuah awal manis untuk membangun komunikasi dua arah di dunia pendidikan kita.
Perpustakaan Umum Kabupaten Sragen pun tak luput dari kritik para peserta. Kondisi gedung yang sempit, tidak ber-AC, dan minimnya koleksi multi media menjadi bahan kritik para peserta dari SMA. Mereka pun memberi masukan agar Gedung Perpustakaan Umum Kabupaten Sragen dibangun semegah Mall, “minimal lantai 3” kata salah seorang peserta.
Terima kasih anak-anakku atas segala kritik yang membangun untuk kemajuan perpustakaan di bumi Sukowati ini. Semoga kritik kecil dari kalian menjadi bola salju yang dapat membuat dunia perpustakaan di Sragen seribu langkah lebih maju dari sekarang. Jika, anak-anak saja begitu peduli dengan perpustakaan, mengapa kita tidak ? Cukup memalukan dan memilukan, bukan ?
Memberi Stimulus bagi Perekonomian Nasional
Krisis finansial global yang terjadi saat ini bukan saja melemahkan kondisi perekonomian di berbagai negara, tapi juga menjadi ancaman nyata yang harus diantisipasi, termasuk oleh Indonesia.
Suasana yang tidak kondusif ini sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, perdagangan, produktivitas, dam suku bunga. Pertumbuhan sektor riil sebagai motor penggerak perekonomian nasional pun semakin tidak berdaya. Karena itu, dampak yang ditimbulkan dari krisis finansial ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Dampak-dampak itu ialah meningkatnya jumlah penduduk miskin (dari 41,7 juta atau 21,6% pada 2008 meningkat sekitar 43 juta atau 22% pada 2009), bertambahnya angka pengangguran, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Saat ini pemerintah sedang menyusun paket stimulus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendorong sektor riil.
Diperkirakan, paket stimulus ekonomi akan rampung dalam dua pekan ke depan. Untuk itu, Kadin Indonesia mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan paket stimulus secara komprehensif,mulai dari bidang energi, fiskal, moneter, perbankan, serta dukungan terhadap sektor riil. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah dalam rangka menggerakkan sektor riil.
Pertama, membangkitkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat untuk mengambil inisiatif berusaha/ berbisnis.Kondisi rupiah yang kian terpuruk kini membuat banyak orang mengambil posisi wait and see. Bagaimanapun pemerintah dan BI sebagai penjaga otoritas moneter dan fiskal tidak sewajarnya membiarkan rupiah dalam kondisi terpuruk.Secara psikologis, pelemahan rupiah harus segera dihentikan dengan stimulus fiskal karena kalau terus dibiarkan akan membuat masyarakat tidak nyaman, gelisah dan ragu-ragu untuk berbisnis. Suasana ini akan membuat kalangan dunia usaha semakin tidak kondusif.
Kedua, kebijakan pemerintah menawarkan blanket guarantee(terutama simpanan dalam bentuk rupiah) diyakini berbagai kalangan akan mengembalikan valas di tangan masyarakat ke dalam sistim perbankan. Kebijakan ini akan membuat deposan besar tidak akan memindahkan dananya ke luar negeri. Jika tidak segera diatasi dikahwatirkan akan mendorong capital flight.Jadi,kebijakan pemerintah menetapkan blanket guarantee merupakan salah satu solusi agar nasabah dan pebisnis merasa lebih aman.
Ketiga, pemerintah harus memberikan stimulus fiskal moneter kepada sektor riil dan masyarakat konsumen dalam negeri. Stimulus yang dibutuhkan, antara lain meliputi subsidi pajak dan bea masuk, untuk sektor riil senilai Rp12,5 triliun perlu segera dicairkan serta pemberian insentif pajak kepada pengusaha dengan cara penundaan pembayaran pajak harus dipikirkan. Selain itu BI Rate harus didorong ke angka 8,5% agar mendorong penurunan bunga kredit.Pemerintah juga harus lebih mendukung kemudahan letter of credit (L/C). Ekspor komoditas andalan pun perlu dukungan khusus dengan skema pendanaan perbankan tertentu.
Turunnya harga BBM (premium dan solar) bersubsidi merupakan berita yang melegakan, namun saya yakin penurunan itu bisa jadi lebih jauh lagi.Saat ini, harga minyak dunia sudah turun hingga sekitar USD44 per barel.Mungkin sekarang solar bisa didorong untuk lebih murah lagi karena berhubungan langsung dengan banyak variabel produksi. Tampaknya harga Rp4.000– 4.500 per liter akan mendorong sektor industri.
Kondisi ini akan mendinamisasi kegiatan ekonomi rakyat dan memperkuat daya beli masyarakat. Politik subsidi itu bukan aib, pemerintah jangan merasa malu menerapkannya selama subsidi berhasil menyejahterakan rakyat.
Keempat, tingkatkan efektivitas penyerapan anggaran APBN, karena hingga akhir November ini baru sekitar 54% APBN yang terserap. Ini membuktikan APBN belum terlaksana secara efektif sebagai motor penggerak ekonomi.
Kelima,segera turunkan tarif dasar listrik 8–10%. Keenam, maksimalkan upaya mendorong masyarakat menggunakan produksi dalam negeri.Ketujuh, mendesak pemerintah untuk memperbaiki living cost (biaya hidup) yang semakin tinggi. Gejala menurunnya permintaan di pasar global sudah dimulai sejak bergejolaknya harga minyak mentah pada pertengahan 2008 ini.
Di pasardalamnegeri,konsumsimasyarakat anjlok mulai 2006, ekses dari tingginya harga BBM bersubsidi. Daya serap pasar anjlok akibat rontoknya daya beli rakyat. Kapasitas produksi sektor industri terus turun sehingga PHK dalam skala kecil terjadi di mana-mana,hampir setiap hari. Otomatis jumlah pengangguran dan warga miskin bertambah. Keadaan kita makin parah karena kinerja sektor riil dan UMKM begitu lemah,sementara efektivitas pengelolaan APBN begitu rendah.
Bahkan begitu banyak APBD— sekitar Rp90 triliun—yang seharusnya dibelanjakan, parkir di BI. Begitu krisis finansial mencapai puncaknya,situasi yang kita hadapi mengarah ke stagnasi, bahkan deindustrialisasi. Ancaman stagnasi itu harus diterobos dengan tindakan dan kebijakan luar biasa. Kalau kita tidak berani menerobos kebuntuan sekarang, kita akan terperangkap dalam kelesuan berkepanjangan.(*)
Bambang Soesatyo
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia
Sumber Sindo, 19 Desember 2008
Suasana yang tidak kondusif ini sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, perdagangan, produktivitas, dam suku bunga. Pertumbuhan sektor riil sebagai motor penggerak perekonomian nasional pun semakin tidak berdaya. Karena itu, dampak yang ditimbulkan dari krisis finansial ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Dampak-dampak itu ialah meningkatnya jumlah penduduk miskin (dari 41,7 juta atau 21,6% pada 2008 meningkat sekitar 43 juta atau 22% pada 2009), bertambahnya angka pengangguran, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Saat ini pemerintah sedang menyusun paket stimulus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendorong sektor riil.
Diperkirakan, paket stimulus ekonomi akan rampung dalam dua pekan ke depan. Untuk itu, Kadin Indonesia mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan paket stimulus secara komprehensif,mulai dari bidang energi, fiskal, moneter, perbankan, serta dukungan terhadap sektor riil. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah dalam rangka menggerakkan sektor riil.
Pertama, membangkitkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat untuk mengambil inisiatif berusaha/ berbisnis.Kondisi rupiah yang kian terpuruk kini membuat banyak orang mengambil posisi wait and see. Bagaimanapun pemerintah dan BI sebagai penjaga otoritas moneter dan fiskal tidak sewajarnya membiarkan rupiah dalam kondisi terpuruk.Secara psikologis, pelemahan rupiah harus segera dihentikan dengan stimulus fiskal karena kalau terus dibiarkan akan membuat masyarakat tidak nyaman, gelisah dan ragu-ragu untuk berbisnis. Suasana ini akan membuat kalangan dunia usaha semakin tidak kondusif.
Kedua, kebijakan pemerintah menawarkan blanket guarantee(terutama simpanan dalam bentuk rupiah) diyakini berbagai kalangan akan mengembalikan valas di tangan masyarakat ke dalam sistim perbankan. Kebijakan ini akan membuat deposan besar tidak akan memindahkan dananya ke luar negeri. Jika tidak segera diatasi dikahwatirkan akan mendorong capital flight.Jadi,kebijakan pemerintah menetapkan blanket guarantee merupakan salah satu solusi agar nasabah dan pebisnis merasa lebih aman.
Ketiga, pemerintah harus memberikan stimulus fiskal moneter kepada sektor riil dan masyarakat konsumen dalam negeri. Stimulus yang dibutuhkan, antara lain meliputi subsidi pajak dan bea masuk, untuk sektor riil senilai Rp12,5 triliun perlu segera dicairkan serta pemberian insentif pajak kepada pengusaha dengan cara penundaan pembayaran pajak harus dipikirkan. Selain itu BI Rate harus didorong ke angka 8,5% agar mendorong penurunan bunga kredit.Pemerintah juga harus lebih mendukung kemudahan letter of credit (L/C). Ekspor komoditas andalan pun perlu dukungan khusus dengan skema pendanaan perbankan tertentu.
Turunnya harga BBM (premium dan solar) bersubsidi merupakan berita yang melegakan, namun saya yakin penurunan itu bisa jadi lebih jauh lagi.Saat ini, harga minyak dunia sudah turun hingga sekitar USD44 per barel.Mungkin sekarang solar bisa didorong untuk lebih murah lagi karena berhubungan langsung dengan banyak variabel produksi. Tampaknya harga Rp4.000– 4.500 per liter akan mendorong sektor industri.
Kondisi ini akan mendinamisasi kegiatan ekonomi rakyat dan memperkuat daya beli masyarakat. Politik subsidi itu bukan aib, pemerintah jangan merasa malu menerapkannya selama subsidi berhasil menyejahterakan rakyat.
Keempat, tingkatkan efektivitas penyerapan anggaran APBN, karena hingga akhir November ini baru sekitar 54% APBN yang terserap. Ini membuktikan APBN belum terlaksana secara efektif sebagai motor penggerak ekonomi.
Kelima,segera turunkan tarif dasar listrik 8–10%. Keenam, maksimalkan upaya mendorong masyarakat menggunakan produksi dalam negeri.Ketujuh, mendesak pemerintah untuk memperbaiki living cost (biaya hidup) yang semakin tinggi. Gejala menurunnya permintaan di pasar global sudah dimulai sejak bergejolaknya harga minyak mentah pada pertengahan 2008 ini.
Di pasardalamnegeri,konsumsimasyarakat anjlok mulai 2006, ekses dari tingginya harga BBM bersubsidi. Daya serap pasar anjlok akibat rontoknya daya beli rakyat. Kapasitas produksi sektor industri terus turun sehingga PHK dalam skala kecil terjadi di mana-mana,hampir setiap hari. Otomatis jumlah pengangguran dan warga miskin bertambah. Keadaan kita makin parah karena kinerja sektor riil dan UMKM begitu lemah,sementara efektivitas pengelolaan APBN begitu rendah.
Bahkan begitu banyak APBD— sekitar Rp90 triliun—yang seharusnya dibelanjakan, parkir di BI. Begitu krisis finansial mencapai puncaknya,situasi yang kita hadapi mengarah ke stagnasi, bahkan deindustrialisasi. Ancaman stagnasi itu harus diterobos dengan tindakan dan kebijakan luar biasa. Kalau kita tidak berani menerobos kebuntuan sekarang, kita akan terperangkap dalam kelesuan berkepanjangan.(*)
Bambang Soesatyo
Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia
Sumber Sindo, 19 Desember 2008
Kembali ke Konsep Kurs Tetap
Dalam situasi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian berkepanjangan, semestinya setiap negara berkepentingan mengurangi jumlah variabelvariabel liar ekonomi.
Salah satu variabel itu adalah kurs atau nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang masih berjaya sebagai mata uang dunia. Dalam ilmu ekonomi, khususnya perdagangan dan keuangan internasional, dikenal nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan nilai tukar mengambang (floating).
Kedua sistem nilai tukar ini mempunyai modifikasinya masing-masing. Misalnya ada currency board arrangement, ada pula kurs tetap, tetapi dengan band (naik-turun) yang terbatas. Indonesia mempunyai cukup banyak pengalaman dengan rezim nilai tukar rupiah.
Pernah menjalankan kurs tetap, kurs tetap dengan bandyang sedikit demi sedikit dilonggarkan, dan kurs mengambang penuh seperti sekarang ini. Secara teoretis, kurs mengambang penuh artinya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme atau kekuatan pasar. Tetapi dalam praktiknya bank sentral diam-diam atau terangterangan sering campur tangan untuk menjinakkan kurs.
Intervensi ini sering gagal meski dengan biaya yang mahal.Selain itu, dalam beberapa kejadian,intervensi bank sentral ini justru merangsang para spekulan di pasar uang untuk lebih giat bermain. Setiap sistem nilai tukar tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Persoalannya adalah mana yang lebih cocok untuk dipilih pada waktu (periode) tertentu dan wilayah (negara) tertentu.
Bagi negeri dengan skala ekonomi internasional yang relatif kecil seperti Indonesia, dalam ekonomi perdagangan dunia yang penuh uncertainty ini, kurs tetap merupakan pilihan yang lebih tepat atau layak dipertimbangkan mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama, kurs tetap lebih memberi kepastian dalam kalkulasi harga/cost bagi eksportir dan importir. Kedua, memudahkan penyusunan APBN,khususnya pos-pos anggaran yang berkaitan dengan valuta asing seperti penerimaan migas dan pembayaran utang luar negeri berikut bunganya.
Ketiga, tidak dipusingkan dengan naik turunnya nilai tukar rupiah yang dapat mengganggu ekonomi pada umumnya dan ekspor-impor serta inflasi pada khususnya. Kita juga sering melihat fluktuasi berbagai mata uang dunia yang sebenarnya sulit dibaca atau dijelaskan alasannya secara ekonomis.
Dengan perkataan lain, fluktuasi kurs yang tidak beralasan itu lebih mencerminkan kekuatan spekulan pasar yang berburu keuntungan dengan menggonjang-ganjingkan kurs. Keempat, mengurangi hasrat spekulasi di pasar valas karena setiap penukaran rupiah ke mata uang asing vice-versa terkena komisi penukaran,sementara kursnya tetap. Kelima, mengembalikan fungsi utama uang sebagai alat pembayaran dan penyimpanan kekayaan, bukan sebagai barang dagangan.
Keenam, dengan rezim kurs tetap diharapkan para pemilik uang terdorong menggunakan uangnya untuk diinvestasikan di sektor riil—bukan untuk spekulasi valas—agar bisa menyerap tenaga kerja. Ketujuh, stabilitas kurs mata uang juga bisa mengurangi permainan pressure group atau politisasi atas fluktuasi rupiah dari kekuatan dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam era globalisasi ini, rezim fixed exchange rate akan lebih mencapai sasaran stabilitasnya bila diikuti oleh sebanyak mungkin negara. Meski secara teoretis mudah dikatakan, tidak berarti kebijakan kurs tetap tidak berisiko seperti terjadinya devaluasi. Karena itu apabila dipilih kebijakan kurs tetap, harus didukung dengan paket kebijakan pengamanannya. Misalnya, setiap hasil ekspor harus disimpan di dalam negeri dan importir dijamin keperluan valasnya.
Tetapi dalam keadaan ekonomi yang serbaliar seperti sekarang, tampaknya kurs mengambang jauh lebih mahal dan besar risikonya seperti yang kita alami selama ini. Malaysia dengan kebijakan kurs tetapnya terbukti lebih berhasil atau sekurang-kurangnya lebih selamat ekonominya daripada Indonesia.
Walaupun pemilihan rezim fixed exchange rate itu sesuatu yang amat biasa dan merupakan kedaulatan ekonomi suatu negara, tetapi khusus untuk Indonesia bisa menjadi luar biasa karena banyaknya pihak yang berkepentingan dengan Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi.Artinya, pada tahap awal ide kembali ke kebijakan fixed exchange rate di Indonesia dapat diduga akan memperoleh tantangan keras seperti yang pernah dialami Malaysia.
Lebih-lebih Indonesia merupakan negara yang sarat dengan utang luar negeri, dan percaya atau tidak dalam sebelas tahun terakhir ini kebijakan pokok ekonominya diatur dari Washington DC. Nah, siapa sebenarnya pemegang kedaulatan ekonomi Indonesia?(*)
DR Fuad Bawazier
Mantan Menkeu/ Ketua DPP Hanura
Sumber, Sindo, 19 Desember 2008
Salah satu variabel itu adalah kurs atau nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang masih berjaya sebagai mata uang dunia. Dalam ilmu ekonomi, khususnya perdagangan dan keuangan internasional, dikenal nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan nilai tukar mengambang (floating).
Kedua sistem nilai tukar ini mempunyai modifikasinya masing-masing. Misalnya ada currency board arrangement, ada pula kurs tetap, tetapi dengan band (naik-turun) yang terbatas. Indonesia mempunyai cukup banyak pengalaman dengan rezim nilai tukar rupiah.
Pernah menjalankan kurs tetap, kurs tetap dengan bandyang sedikit demi sedikit dilonggarkan, dan kurs mengambang penuh seperti sekarang ini. Secara teoretis, kurs mengambang penuh artinya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme atau kekuatan pasar. Tetapi dalam praktiknya bank sentral diam-diam atau terangterangan sering campur tangan untuk menjinakkan kurs.
Intervensi ini sering gagal meski dengan biaya yang mahal.Selain itu, dalam beberapa kejadian,intervensi bank sentral ini justru merangsang para spekulan di pasar uang untuk lebih giat bermain. Setiap sistem nilai tukar tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Persoalannya adalah mana yang lebih cocok untuk dipilih pada waktu (periode) tertentu dan wilayah (negara) tertentu.
Bagi negeri dengan skala ekonomi internasional yang relatif kecil seperti Indonesia, dalam ekonomi perdagangan dunia yang penuh uncertainty ini, kurs tetap merupakan pilihan yang lebih tepat atau layak dipertimbangkan mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama, kurs tetap lebih memberi kepastian dalam kalkulasi harga/cost bagi eksportir dan importir. Kedua, memudahkan penyusunan APBN,khususnya pos-pos anggaran yang berkaitan dengan valuta asing seperti penerimaan migas dan pembayaran utang luar negeri berikut bunganya.
Ketiga, tidak dipusingkan dengan naik turunnya nilai tukar rupiah yang dapat mengganggu ekonomi pada umumnya dan ekspor-impor serta inflasi pada khususnya. Kita juga sering melihat fluktuasi berbagai mata uang dunia yang sebenarnya sulit dibaca atau dijelaskan alasannya secara ekonomis.
Dengan perkataan lain, fluktuasi kurs yang tidak beralasan itu lebih mencerminkan kekuatan spekulan pasar yang berburu keuntungan dengan menggonjang-ganjingkan kurs. Keempat, mengurangi hasrat spekulasi di pasar valas karena setiap penukaran rupiah ke mata uang asing vice-versa terkena komisi penukaran,sementara kursnya tetap. Kelima, mengembalikan fungsi utama uang sebagai alat pembayaran dan penyimpanan kekayaan, bukan sebagai barang dagangan.
Keenam, dengan rezim kurs tetap diharapkan para pemilik uang terdorong menggunakan uangnya untuk diinvestasikan di sektor riil—bukan untuk spekulasi valas—agar bisa menyerap tenaga kerja. Ketujuh, stabilitas kurs mata uang juga bisa mengurangi permainan pressure group atau politisasi atas fluktuasi rupiah dari kekuatan dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam era globalisasi ini, rezim fixed exchange rate akan lebih mencapai sasaran stabilitasnya bila diikuti oleh sebanyak mungkin negara. Meski secara teoretis mudah dikatakan, tidak berarti kebijakan kurs tetap tidak berisiko seperti terjadinya devaluasi. Karena itu apabila dipilih kebijakan kurs tetap, harus didukung dengan paket kebijakan pengamanannya. Misalnya, setiap hasil ekspor harus disimpan di dalam negeri dan importir dijamin keperluan valasnya.
Tetapi dalam keadaan ekonomi yang serbaliar seperti sekarang, tampaknya kurs mengambang jauh lebih mahal dan besar risikonya seperti yang kita alami selama ini. Malaysia dengan kebijakan kurs tetapnya terbukti lebih berhasil atau sekurang-kurangnya lebih selamat ekonominya daripada Indonesia.
Walaupun pemilihan rezim fixed exchange rate itu sesuatu yang amat biasa dan merupakan kedaulatan ekonomi suatu negara, tetapi khusus untuk Indonesia bisa menjadi luar biasa karena banyaknya pihak yang berkepentingan dengan Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi.Artinya, pada tahap awal ide kembali ke kebijakan fixed exchange rate di Indonesia dapat diduga akan memperoleh tantangan keras seperti yang pernah dialami Malaysia.
Lebih-lebih Indonesia merupakan negara yang sarat dengan utang luar negeri, dan percaya atau tidak dalam sebelas tahun terakhir ini kebijakan pokok ekonominya diatur dari Washington DC. Nah, siapa sebenarnya pemegang kedaulatan ekonomi Indonesia?(*)
DR Fuad Bawazier
Mantan Menkeu/ Ketua DPP Hanura
Sumber, Sindo, 19 Desember 2008
15 Desember 2008
Menulis, Terapi yang Menyembuhkan
Menulis pada hakikatnya merupakan aktivitas yang menggerakkan energi imajinatif nan mencerahkan. Akitivitas menulis tak hanya membuat sehat fisik dan mengukuhkan kekuatan jasmaniah, tetapi juga mencemerlangkan kehidupan. Menulis juga menjadi kekuatan untuk bertahan dari gempuran penyakit yang telah berakar dalam tubuh. Maka, dapat kita lacak dalam lanskap aras dunia kepenulisan termaktub nama-nama penulis yang berkarib dengan penyakit, namun tetap bugar.
Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.
Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.
Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.
Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.
Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.
Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.
Menghalau Kabut
Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.
Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.
Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.
Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)
*) Munawir Aziz, peneliti di Cepdes Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 14 Desember 2008
Hal ini terekam dalam jejak kepenulisan pemikir wanita dari kaum muslim; Fatima Mernissi. Intelektual muslim yang lahir pada 1940 di Maroko ini banyak menulis buku yang melontarkan pertanyaan ''menggugat'' dan mencerahkan. Beberapa karyanya di antaranya, Beyond the Veil, Doing Daily Battle, Woman and Islam, The Forgotten Queens of Islam, Islam and Democracy, Dream of Trespass, dan beberapa yang lain.
Mernissi mengungkapkan bahwa menulis merupakan forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang mengganggu pikiran dan perasaan. Lebih lanjut Fatima Mernissi mewartakan kepada kita bahwa menulis dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Menulis secara istiqomah setiap hari lebih baik daripada operasi pengencangan wajah. ''Usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit Anda akan menjadi segar kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa,'' ungkap Mernissi.
Aktivitas menulis yang getol dengan kajian bahasa dan menganyam kata secara detail dapat menjadikan tubuh ini bebas dari penyakit kronis. Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks juga menjadi ''terapi'' yang menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini terekam dalam pengalaman Dahlan Iskan, CEO/Chairman Jawa Pos Group. Dahlan menuliskan pengalaman dan refleksi pribadinya setelah melakukan transpalantasi liver di Tiongkok. Esai-esainya itu kemudian dibukukan dengan judul Ganti Hati (JPBooks, 2007). Kumpulan esai itu menjadi anyaman tulisan yang rapi dan menjadi terapi bagi kesehatan Dahlan Iskan. Spirit kepenulisan yang didedahkan Dahlan Iskan tak hanya menjadi semangat bagi dirinya sendiri, tetapi juga menebar inspirasi bagi orang lain untuk menjadi penulis maupun mengarungi dahsyatnya cobaan kehidupan.
Penulis lain di negeri ini yang meneruskan jejak kreatif di tengah ganasnya virus penyakit adalah Pipiet Senja. Penulis perempuan yang produktif berkarya ini sejak kecil menderita leukimia; kanker darah yang mengancam jiwanya. Di tengah kegalauan akan penyakit yang dideritanya, Pipiet Senja memilih jalan kesunyian dengan membaca dan menulis buku. Pipiet mengisi waktu luangnya dengan menulis jejak kegelisahan dan gagasan yang bertebaran di pikirannya. Walaupun setiap minggu harus transfusi darah untuk penyegaran tubuh, akan tetapi semangat menulisnya tak pernah surut, justru menjadi gelombang ide yang membuatnya asyik menuliskan gagasan. Maka, dapat kita telusuri dalam jejak sejarah penerbitan negeri ini, karya Pipiet Senja telah bertebaran di mana-mana hingga ke pelosok tanah air. Dari pancangan semangat menulis itulah, Pipiet menjadi lebih tegar menghirup napas kehidupan.
Di ranah penulisan dunia, banyak penulis yang hidup di tengah kepungan penyakit ganas. Akan tetapi mereka justru bertahan dan melakukan terapi dengan menjadi penulis brilian. Christine Clifford, misalnya, seorang penulis besar yang mengidap kanker. Di tengah perawatan medis yang harus dijalaninya berbulan-bulan, dengan pancangan semangat yang kokoh, dia terus menulis dan lahirlah buku pertamanya, Not Now...I'm Having a No Hair Day!.
Tak lama kemudian, setelah sukses operasi, buku berikutnya lahir dari rahim gagasannya: Our Family Has Cancer, Too! Kedua buku itu menyabet sejumlah penghargaan dan beroleh sambutan luas publik internasional.
Menghalau Kabut
Dalam jagad intelektual dunia Islam, ada ribuan ulama yang menjadi penulis produktif serta memiliki gagasan cemerlang. Di antaranya Ibn 'Aqil, ulama yang sangat luas pandangannya dan memiliki spirit belajar yang tak pernah redup. ''Saya tidak meninggalkan mencari ilmu kecuali pada dua malam; malam pernikahan saya dan malam kematian orang tua saya,'' ujar Ibn Aqil perihal dunia keilmuan yang dicintainya.
Ibn 'Aqil dilahirkan di Baghdad pada 431 H/1039 M. Pada usia 15 tahun, dia sudah menghafal Alquran. Ketika orang tuanya meninggal pada tahun 447 H/1055, bangsa Saljuk mengepung Baghdad. Ibn Aqil merupakan salah satu ulama yang banyak memiliki guru dan mentor diskusi. Guru-gurunya antara lain Abu al-Thayyib al-Thabari (wafat 450 H/1058), al-Khatib al-Baghdadi (wafat 643 H/1071 M), Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476 H/1083 M), Abu Muhammad al-Tamimi (wafat 488 H/1095 M). Spirit pembelajaran, mendaras teks agama dari berbagai aliran pemikiran dan spirit menulis yang tinggi menjadikan Ibn 'Aqil seorang ilmuan yang luas kajian keilmuannya, elok perangainya, dan menjadi seorang yang tercerahkan.
Konsistensi menulis di tengah penderitaan dan ketekunan menelusuri jejak keindahan Tuhan dari kitab-kitab akan mendapatkan pencerahan dan kecemerlangan kesehatan. Maka, tak salah, apabila Khaled Abou el-Fadl (2002) mengungkapkan bahwa menulis sejatinya merupakan sarana untuk menyibak ''tipuan kabut''. Kabut yang menutupi kecemerlangan berpikir dan kabut tebal yang menyumbat aliran darah di tubuh, hingga menjadikan sakit.
Menulis merupakan agenda menjernihkan kesehatan diri dan tangga menuju kecemerlangan pemikiran. (*)
*) Munawir Aziz, peneliti di Cepdes Jakarta
Dikutip dari Jawa Pos, 14 Desember 2008
Jurus Pamungkas Laskar Pelangi
Setelah membuat para pecintanya berdebar-debar selama lebih dari setengah tahun, buku terakhir tetralogi Laskar Pelangi, yakni Maryamah Karpov, diluncurkan akhir November lalu. Toko buku se-Indonesia pun dibanjiri ribuan pesanan untuk mendapatkan buku itu pada kesempatan pertama. Ratusan kopi langsung terjual ludes pada awal Desember dan pecinta buku yang lain harus menunggu datangnya kiriman kedua.
Apa yang menarik dari buku keempat ini? Pecinta Laskar Pelangi yang sudah membaca Sang Pemimpi, Edensor, dan Laskar Pelangi, tampaknya ingin mengetahui nasib A Ling, Lintang, anggota Laskar Pelangi lain, dan tentu saja Ikal serta Belitong.
Film Laskar Pelangi telah menyihir penonton. Sampai bulan lalu tercatat 4,3 juta penonton di berbagai kota menonton film dengan karcis Rp 20.000,- yang sulit diperoleh itu. Belum lagi penonton layar tancap di Belitong yang diperkirakan mencapai 200 ribu orang. Dengan prestasi penonton sebanyak itu sutradara dan produser film ini memutuskan untuk tidak mengikutkan Laskar Pelangi dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2008 di Bandung, Jumat (12/12) kemarin. Jumlah penonton sudah membuktikan bahwa film itu sangat berkenan di hati masyarakat Indonesia.
Tetralogi Laskar Pelangi dapat dipandang sebagai biografi Andrea Hirata (Ikal) dalam mencapai pendidikan tinggi. Semangat Laskar Pelangi untuk belajar, walau keadaan sekolah Muhamadiyah di Belitong memprihatinkan, sangat tinggi. Andrea ingin membuktikan bahwa dengan doa dan kerja keras segala rintangan dapat diatasi. Di sekolah seadanya itu ternyata berkumpul anak-anak luar biasa. Lintang, sang fisikawan genius; juga Arai, Mahar, Samson, Kucai, Harun, dan sejumlah anak lain dengan bakat dan semangat menyala untuk belajar. Arai akhirnya diundang kembali ke Prancis untuk menyelesaikan tesisnya dan sekaligus ditawari melanjutkan studi sampai ke tingkat doktor. Dia berangkat dengan gadis pujaannya, Zakiah, yang berhasil diperistrinya.
Lintang harus meninggalkan sekolah sewaktu SMP, tak bisa melanjutkan studi ke SMA, apalagi ke universitas. Namun dalam novel Maryamah Karpov yang diberi judul kecil: mimpi-mimpi Lintang, kita disodori kisah tentang Lintang yang sudah menjadi juragan kopra namun tetap menunjukkan kejeniusannya saat merancang perahu Ikal yang akan dipakai untuk mencari A Ling di kepulauan Batuan. Demikian rinci ukuran kapal yang harus dibuat Lintang sampai ke hitungan sentimeter, termasuk jenis kayu yang harus dipakai. Lintang juga yang menolong Ikal mengangkat kapal yang sudah ratusan tahun terkubur di dasar sungai dengan rumus fisikanya! Karena itu perahu tersebut kemudian diberi nama: Mimpi-Mimpi Lintang.
Andrea Hirata tidak hanya menuliskan ''biografi'' sembarangan. Dia telah melakukan studi antropologi tentang kebiasaan orang Melayu Kepulauan yang punya selera humor sangat tinggi, dan dengan narasinya tentang rasa humor itu kita dibuat tertawa terbahak-bahak. Tentang ilmu perkapalan, pelayaran, geografi, fisika, kedokteran gigi, dan bahkan ''ilmu klenik''.
Dalam sosok Mahar tersimpan rahasia terkuburnya kapal di dasar sungai itu dan dengan pertolongan Mahar pula dia berhasil bernegosisai dengan Tuk Bayan Tula dan Dayang Kaw, dua tokoh setempat yang sangat ditakuti, untuk diizinkan mencari A Ling di Batuan selama tiga hari.
A Ling akhirnya ditemukan pada hari terakhir di sebuah barak kumuh dalam keadaan lemah. Saat meninggalkan Batuan mereka dikejar kelompok Tambok namun lantaran perahu mereka lebih baik dan layar didorong angin, maka mereka mampu lepas dari kejaran dan pulang ke kampung.
Ikal masih harus memenuhi hasrat Ketua Karmun untuk menghidupkan poliklinik gigi dengan dokter cantik Diaz. Caranya, dia mesti menyerahkan diri untuk dibedah giginya karena gusi gigi bungsunya membengkak. Keberhasilan dokter melakukan bedah gigi Ikal itu membuat penduduk kampung berduyunn berkunjung ke klinik untuk berobat.
A Ling sudah ditemukan namun pernikahan mereka tak disetujui ayah Ikal. Apa yang harus dilakukan?
Semua diceitakan Andrea Hirata dengan rinci dan ilmiah. Hal itu menunjukkan keluasan bacaan, wawasan, dan intelektualisme serta imajinasinya yang tinggi.
Lika-liku kehidupan anggota Laskar Pelangi diceritakan tuntas dalam jidid pamungkas tetralogi Laskar Pelangi, dengan gaya Andrea Hirata yang mengagumkan! Soal Maryamah Karpov dan gambar gadis bermain biola di sampul depan, ternyata itu Nurmi, putri Mak Cik Maryamah Karpov! (*)
*) Sunaryono Basuki Ks, sastrawan, tinggal di Singaraja
Judul Buku: Maryamah Karpov
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang, Jogjakarta
Cetakan: November 2008
Tebal: 504 + xii Halaman
Sumber Jawa Pos, 15 Desember 2008
Mempertanyakan Klaim Kejaksaan
Pada perayaan Hari AntiKorupsi Internasional (9/12) di Lapangan Monas, Kejaksaan Agung menyampaikan laporan penanganan tindak pidana korupsi dan uang negara yang berhasil diselamatkan. Tercantum, di tahap penyidikan, kejaksaan telah menangani 3.143 perkara dari tahun 2004–November 2008.
Selain itu, Polri menangani 1.095 kasus,sementara KPK hanya 110.Jika ditambah embel-embel, KPK hanya berperan 2,53% (110 kasus) dari total kasus yang diungkap, langsung atau tidak langsung tentu hal itu akan berpotensi mendelegitimasi keberadaan KPK. Jika data itu benar, dengan pembanding yang setara, tentu publik akan berpikir,”sepertinya kita tidak butuh KPK”.
Namun, jika dicermati, mudah diduga bahwa agaknya penyusun data tidak begitu cermat,terutama karena membandingkan sesuatu secara tidak proporsional.Kejaksaan Agung punya kejaksaan tinggi di 33 provinsi Indonesia dan setiap kejaksaan tinggi pun membawahkan 4–5 kejaksaan negeri.
Bahkan sebagian kejaksaan negeri masih mempunyai anak atau cabang kejaksaan negeri dan semua unit-unit tersebut dapat mengusut kasus korupsi.Tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan KPK yang hanya punya satu unit pun di Jakarta. Agaknya tidak salah jika menilai perbandingan tersebut terlalu naif.
Selain itu,dari aspek kriminalisasi atau penanganan kasus, penilaian yang didasarkan sekadar pada jumlah adalah sebuah kesalahpahaman mendasar. Tentu harus dilihat, kualitas perkara yang ditangani seperti jumlah kerugian negara,level atau jabatan aktor pelaku, dan bahkan soal strategis atau tidaknya sektor tersebut.
Di tengah korupsi yang tinggi dan merata di Indonesia,mutlak diperlukan pembacaan dan strategi (road map).Tidak semata klaim keberhasilan dengan menggunakan kuantitas kasus. Data kedua, tentang uang negara yang berhasil diselamatkan dari tahun 2004–2008.Tercatat,kejaksaan menyelamatkan Rp8 triliun dan USD18 juta, Polri Rp859,76 miliar, dan KPK ”hanya” Rp476,46 miliar.
Klaim seperti ini tentu dapat berpotensi menjadi kebohongan publik jika tidak diklarifikasi dengan metode penghitungan dan indikator yang benar. Karakter data kedua ini mirip dengan data pertama yang ingin memunculkan keberhasilan kejaksaan. ICW mendapatkan angka berbeda. Dengan pemahaman, ”uang negara yang diselamatkan” baru dapat dihitung setelah masuk ke kas negara, maka data kejaksaan sangat patut dipertanyakan.
Berdasarkan analisis hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004-Semester I/2008, ternyata uang negara yang berhasil diselamatkan hanya Rp382,67 miliar. Lantas bagaimana dengan selisih hingga triliunan rupiah? Di titik inilah klaim kejaksaan menjadi bumerang. Pejabat yang berwenang tentu harus bertanggung jawab dengan keberadaan uang rakyat tersebut.
Melalui analisis lebih jauh terhadap dokumen LKPP dan BPK, ternyata diketahui terdapat uang pengganti yang belum disetor kejaksaan pada kas negara mencapai Rp7,72 triliun. Bagaimana kejaksaan dapat menjelaskan kekurangan yang sangat signifikan ini? Sumber dokumen resmi di atas bahkan menerangkan, per 31 Desember 2004 uang pengganti yang belum diselesaikan mencapai Rp6,67 triliun.
Jika uang tersebut disimpan oleh kejaksaan, lantas bagaimana dengan bunga atau pendapatan dari penyimpanan tunggakan itu? *** Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya dan kerja keras beberapa kalangan di Kejaksaan Agung,data dan laporan di Lapangan Monas di Hari Antikorupsi (selasa, 9/12) patut diuji ulang kebenarannya. Jika tidak, tentu data ini berpotensi menjadi kebohongan publik.Kemudian, dalam konteks menempatkan
Hari Antikorupsi Internasional sebagai otokritik, evaluasi, dan penyemangat, tentu validitas data mutlak dibutuhkan.Publik tentu saja tidak ingin uang pengembalian kasus korupsi kemudian menguap. Namun,terlepas dari persoalan di atas,penegakan hukum bukan tanpa prestasi. Peningkatan jumlah penanganan kasus patut diapresiasi.
Kejaksaan Agung, misalnya,mulai terlihat menggunakan kewenangan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan aset korupsi. KPK tentu saja sudah masuk pada sektor sensitif seperti legislatif dan perbankan meskipun peningkatan jumlah kasus dinilai tidak akan memiliki efek signifikan jika tidak diikuti strategi priotas dan road map jangka panjang.
Akan tetapi, data tersebut tentu perlu dicermati lebih mendalam.Dari aspek kriminalisasi dan penegak hukum,penting diperhatikan perincian terkait: jabatan dan asal institusi tersangka; modus kasus korupsi,nilai kerugian negara pada tiap perkara, dan perkembangan penanganan perkara.
Khusus poin terakhir, perkembangan penanganan kasus akan memberikan informasi lebih akurat, apakah dakwaan,proses pembuktian, dan tuntutan yang dilakukan efektif dilakukan jaksa. Tentu, laporan Kejaksaan Agung akan lebih dapat dipahami dan dimaknai secara fair jika poin-poin di atas diperhatikan.Dengan demikian, masyarakat dapat menilai dengan lebih objektif.Sebaliknya,kejaksaan tidak sekedar mengklaim prestasi berdasarkan angka-angka.(*)
Emerson Yuntho
Koordinator Divisi Hukum dan
Monitoring Peradilan ICW
Sumber Sindo, 15 Desember 2008
Selain itu, Polri menangani 1.095 kasus,sementara KPK hanya 110.Jika ditambah embel-embel, KPK hanya berperan 2,53% (110 kasus) dari total kasus yang diungkap, langsung atau tidak langsung tentu hal itu akan berpotensi mendelegitimasi keberadaan KPK. Jika data itu benar, dengan pembanding yang setara, tentu publik akan berpikir,”sepertinya kita tidak butuh KPK”.
Namun, jika dicermati, mudah diduga bahwa agaknya penyusun data tidak begitu cermat,terutama karena membandingkan sesuatu secara tidak proporsional.Kejaksaan Agung punya kejaksaan tinggi di 33 provinsi Indonesia dan setiap kejaksaan tinggi pun membawahkan 4–5 kejaksaan negeri.
Bahkan sebagian kejaksaan negeri masih mempunyai anak atau cabang kejaksaan negeri dan semua unit-unit tersebut dapat mengusut kasus korupsi.Tentu sangat timpang jika dibandingkan dengan KPK yang hanya punya satu unit pun di Jakarta. Agaknya tidak salah jika menilai perbandingan tersebut terlalu naif.
Selain itu,dari aspek kriminalisasi atau penanganan kasus, penilaian yang didasarkan sekadar pada jumlah adalah sebuah kesalahpahaman mendasar. Tentu harus dilihat, kualitas perkara yang ditangani seperti jumlah kerugian negara,level atau jabatan aktor pelaku, dan bahkan soal strategis atau tidaknya sektor tersebut.
Di tengah korupsi yang tinggi dan merata di Indonesia,mutlak diperlukan pembacaan dan strategi (road map).Tidak semata klaim keberhasilan dengan menggunakan kuantitas kasus. Data kedua, tentang uang negara yang berhasil diselamatkan dari tahun 2004–2008.Tercatat,kejaksaan menyelamatkan Rp8 triliun dan USD18 juta, Polri Rp859,76 miliar, dan KPK ”hanya” Rp476,46 miliar.
Klaim seperti ini tentu dapat berpotensi menjadi kebohongan publik jika tidak diklarifikasi dengan metode penghitungan dan indikator yang benar. Karakter data kedua ini mirip dengan data pertama yang ingin memunculkan keberhasilan kejaksaan. ICW mendapatkan angka berbeda. Dengan pemahaman, ”uang negara yang diselamatkan” baru dapat dihitung setelah masuk ke kas negara, maka data kejaksaan sangat patut dipertanyakan.
Berdasarkan analisis hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2004-Semester I/2008, ternyata uang negara yang berhasil diselamatkan hanya Rp382,67 miliar. Lantas bagaimana dengan selisih hingga triliunan rupiah? Di titik inilah klaim kejaksaan menjadi bumerang. Pejabat yang berwenang tentu harus bertanggung jawab dengan keberadaan uang rakyat tersebut.
Melalui analisis lebih jauh terhadap dokumen LKPP dan BPK, ternyata diketahui terdapat uang pengganti yang belum disetor kejaksaan pada kas negara mencapai Rp7,72 triliun. Bagaimana kejaksaan dapat menjelaskan kekurangan yang sangat signifikan ini? Sumber dokumen resmi di atas bahkan menerangkan, per 31 Desember 2004 uang pengganti yang belum diselesaikan mencapai Rp6,67 triliun.
Jika uang tersebut disimpan oleh kejaksaan, lantas bagaimana dengan bunga atau pendapatan dari penyimpanan tunggakan itu? *** Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya dan kerja keras beberapa kalangan di Kejaksaan Agung,data dan laporan di Lapangan Monas di Hari Antikorupsi (selasa, 9/12) patut diuji ulang kebenarannya. Jika tidak, tentu data ini berpotensi menjadi kebohongan publik.Kemudian, dalam konteks menempatkan
Hari Antikorupsi Internasional sebagai otokritik, evaluasi, dan penyemangat, tentu validitas data mutlak dibutuhkan.Publik tentu saja tidak ingin uang pengembalian kasus korupsi kemudian menguap. Namun,terlepas dari persoalan di atas,penegakan hukum bukan tanpa prestasi. Peningkatan jumlah penanganan kasus patut diapresiasi.
Kejaksaan Agung, misalnya,mulai terlihat menggunakan kewenangan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan aset korupsi. KPK tentu saja sudah masuk pada sektor sensitif seperti legislatif dan perbankan meskipun peningkatan jumlah kasus dinilai tidak akan memiliki efek signifikan jika tidak diikuti strategi priotas dan road map jangka panjang.
Akan tetapi, data tersebut tentu perlu dicermati lebih mendalam.Dari aspek kriminalisasi dan penegak hukum,penting diperhatikan perincian terkait: jabatan dan asal institusi tersangka; modus kasus korupsi,nilai kerugian negara pada tiap perkara, dan perkembangan penanganan perkara.
Khusus poin terakhir, perkembangan penanganan kasus akan memberikan informasi lebih akurat, apakah dakwaan,proses pembuktian, dan tuntutan yang dilakukan efektif dilakukan jaksa. Tentu, laporan Kejaksaan Agung akan lebih dapat dipahami dan dimaknai secara fair jika poin-poin di atas diperhatikan.Dengan demikian, masyarakat dapat menilai dengan lebih objektif.Sebaliknya,kejaksaan tidak sekedar mengklaim prestasi berdasarkan angka-angka.(*)
Emerson Yuntho
Koordinator Divisi Hukum dan
Monitoring Peradilan ICW
Sumber Sindo, 15 Desember 2008
13 Desember 2008
Musim Jualan Politik
Musim Jualan Politik
Kita tampaknya sedang dikepung oleh berbagai iklan poli- tik dari berbagai figur elite politik yang kerap muncul tiap jam di berbagai stasiun televisi dan di berbagai media cetak.
Di televisi kita menyaksikan iklan politik begitu marak.Tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa tiada hari tanpa iklan politik di televisi. Iklaniklan politik itu telah merasuk dalam ruang-ruang privat kita, saat kita sedang beristirahat menikmati acara televisi kesukaan kita.Sedang asyik-asyiknya menonton acara favorit, tiba-tiba kita disuguhi iklan politik.
Di antara tokoh dan partai politik yang gencar beriklan di televisi adalah Prabowo Subijanto bersama Partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat, Megawati dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Selain digempur iklan politik di televisi, di media massa cetak juga kita disuguhi hal yang sama.Dari halaman muka, tengah, dan belakang surat kabar kita mendapat sajian sejumlah iklan politik para tokoh yang hendak maju sebagai calon presiden, para calon anggota legislatif, dan gambar-gambar partai politik.
Wajah-wajah mereka beserta tanda gambar partai politik terpampang disertai janji atau slogan-slogan yang mereka usung sambil tidak lupa mengajak untuk memilih mereka. Di sejumlah tempat-tempat umum di kota-kota, di jalan-jalan utama, di perempatan-perempatan jalan, kita bukan saja dibanjiri oleh bendera-bendera parpol,tetapi juga ditaburi berbagai iklan politik dalam bentuk billboard, baliho, dan spanduk-spanduk.
Wajah-wajah calon legislatif tingkat nasional atau tingkat lokal seperti berebut tempat untuk memasangnya di baliho-baliho besar. Tidak lupa di belakang mereka terdapat wajah-wajah para pemimpin atau dewan pembina partainya. Sepertinya mereka tidak percaya diri bila gambar mereka tidak mengikutsertakan juga gambar wajah para pemimpin atau dewan pembina partai mereka.
Citra dan Popularitas
Keberadaan iklan politik di media massa memang bukan hal yang baru. Di dunia Barat, sudah lama iklan politik menjadi sarana untuk memengaruhi pemilih. Di Indonesia,iklan politik mulai marak dipraktikkan pada Pemilu 1999 dalam sistem multipartai yang kompetitif.Namun iklan politik itu tidak sesemarak seperti saat ini.
Penggunaan iklan politik dalam kehidupan politik dengan sistem pemilu langsung di anggap sebagai sarana jitu membujuk calon pemilih. Iklan politik bertujuan untuk merebut hati dan simpati khalayak para calon pemilih. Dengan beriklan, diharapkan suara pemilih akhirnya diberikan kepada sang politisi atau partai politik itu pada saat pemilu nanti.
Melalui iklan politik, partai politik dan para politisi yang mengiklankan dirinya berlomba-lomba menampilkan citra positif diri mereka. Lewat iklan politik, sosok figur dan partai politik coba ditampilkan sebagai sosok yang peduli, populis,dan dekat dengan rakyat. Intinya, mereka yang mengiklan diri tersebut, merupakan bagian dari ”yang dipikirkan dan diderita oleh rakyat”, dan mereka mampu menyelesaikan semua persoalan itu..
Lewat iklan politik juga mereka berupaya mendongkrak dan mengatrol popularitas.Hasil survei yang dilakukan Lembaga Riset Indonesia (LRI) belum lama ini mengungkapkan adanya keterkaitan antara iklan politik dan naiknya popularitas politisi.
Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menyimpulkan gencarnya iklan politik telah mendongkrak dukungan dan popularitas partai tertentu. Survei terakhir LSI menunjukkan bahwa Partai Demokrat melesat di urutan pertama mengungguli Partai Golkar dan PDIP. Partai Gerindra naik ke posisi tengah, menyaingi PAN dan PPP.
Pendidikan Politik
Iklan politik merupakan bagian dari jualan politik. Sebagai bagian dari jualan politik, produk atau barang yang hendak dijual tersebut harus menarik dan dikemas sedemikian rupa sehingga khalayak tertarik atas produk tersebut. Yang menjadi perhatian kita bersama, sejauh yang kita amati, iklaniklan politik di berbagai media massa tersebut betul-betul setali dengan iklan komersial di mana khalayak dicekoki janji-janji dan impian- impian fatamorgana.
Memang janji-janji yang ditawarkan tersebut menarik bagi khalayak karena terbius oleh ”mantra”isi iklan tersebut. Persoalannya,apakah itu layak terus dilakukan,seperti kita menyaksikan iklan komersial bahwa dengan memakan obat yang ditawarkan seketika itu juga maka langsung sembuh.
Bila hal itu terus dilakukan, dampak yang terjadi adalah berupa pembodohan politik. Ini berbahaya bagi masa depan bangsa. Karena itu, sudah saatnya iklan-iklan politik yang muncul memberikan pendidikan politik. Iklan-iklan politik mendasarkan pada visi-misi yang dimiliki oleh partai politik atau para tokoh yang mengiklankan itu dengan sungguh-sungguh, bukan lip service. Semoga! (*)
Lili Romli
Peneliti P2P LIPI
Direktur Desk Pemilu dan
Pilkada Puskapol UI
Sumber Sindo, 12 Desember 2008
Kita tampaknya sedang dikepung oleh berbagai iklan poli- tik dari berbagai figur elite politik yang kerap muncul tiap jam di berbagai stasiun televisi dan di berbagai media cetak.
Di televisi kita menyaksikan iklan politik begitu marak.Tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa tiada hari tanpa iklan politik di televisi. Iklaniklan politik itu telah merasuk dalam ruang-ruang privat kita, saat kita sedang beristirahat menikmati acara televisi kesukaan kita.Sedang asyik-asyiknya menonton acara favorit, tiba-tiba kita disuguhi iklan politik.
Di antara tokoh dan partai politik yang gencar beriklan di televisi adalah Prabowo Subijanto bersama Partai Gerindra, Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat, Megawati dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Selain digempur iklan politik di televisi, di media massa cetak juga kita disuguhi hal yang sama.Dari halaman muka, tengah, dan belakang surat kabar kita mendapat sajian sejumlah iklan politik para tokoh yang hendak maju sebagai calon presiden, para calon anggota legislatif, dan gambar-gambar partai politik.
Wajah-wajah mereka beserta tanda gambar partai politik terpampang disertai janji atau slogan-slogan yang mereka usung sambil tidak lupa mengajak untuk memilih mereka. Di sejumlah tempat-tempat umum di kota-kota, di jalan-jalan utama, di perempatan-perempatan jalan, kita bukan saja dibanjiri oleh bendera-bendera parpol,tetapi juga ditaburi berbagai iklan politik dalam bentuk billboard, baliho, dan spanduk-spanduk.
Wajah-wajah calon legislatif tingkat nasional atau tingkat lokal seperti berebut tempat untuk memasangnya di baliho-baliho besar. Tidak lupa di belakang mereka terdapat wajah-wajah para pemimpin atau dewan pembina partainya. Sepertinya mereka tidak percaya diri bila gambar mereka tidak mengikutsertakan juga gambar wajah para pemimpin atau dewan pembina partai mereka.
Citra dan Popularitas
Keberadaan iklan politik di media massa memang bukan hal yang baru. Di dunia Barat, sudah lama iklan politik menjadi sarana untuk memengaruhi pemilih. Di Indonesia,iklan politik mulai marak dipraktikkan pada Pemilu 1999 dalam sistem multipartai yang kompetitif.Namun iklan politik itu tidak sesemarak seperti saat ini.
Penggunaan iklan politik dalam kehidupan politik dengan sistem pemilu langsung di anggap sebagai sarana jitu membujuk calon pemilih. Iklan politik bertujuan untuk merebut hati dan simpati khalayak para calon pemilih. Dengan beriklan, diharapkan suara pemilih akhirnya diberikan kepada sang politisi atau partai politik itu pada saat pemilu nanti.
Melalui iklan politik, partai politik dan para politisi yang mengiklankan dirinya berlomba-lomba menampilkan citra positif diri mereka. Lewat iklan politik, sosok figur dan partai politik coba ditampilkan sebagai sosok yang peduli, populis,dan dekat dengan rakyat. Intinya, mereka yang mengiklan diri tersebut, merupakan bagian dari ”yang dipikirkan dan diderita oleh rakyat”, dan mereka mampu menyelesaikan semua persoalan itu..
Lewat iklan politik juga mereka berupaya mendongkrak dan mengatrol popularitas.Hasil survei yang dilakukan Lembaga Riset Indonesia (LRI) belum lama ini mengungkapkan adanya keterkaitan antara iklan politik dan naiknya popularitas politisi.
Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menyimpulkan gencarnya iklan politik telah mendongkrak dukungan dan popularitas partai tertentu. Survei terakhir LSI menunjukkan bahwa Partai Demokrat melesat di urutan pertama mengungguli Partai Golkar dan PDIP. Partai Gerindra naik ke posisi tengah, menyaingi PAN dan PPP.
Pendidikan Politik
Iklan politik merupakan bagian dari jualan politik. Sebagai bagian dari jualan politik, produk atau barang yang hendak dijual tersebut harus menarik dan dikemas sedemikian rupa sehingga khalayak tertarik atas produk tersebut. Yang menjadi perhatian kita bersama, sejauh yang kita amati, iklaniklan politik di berbagai media massa tersebut betul-betul setali dengan iklan komersial di mana khalayak dicekoki janji-janji dan impian- impian fatamorgana.
Memang janji-janji yang ditawarkan tersebut menarik bagi khalayak karena terbius oleh ”mantra”isi iklan tersebut. Persoalannya,apakah itu layak terus dilakukan,seperti kita menyaksikan iklan komersial bahwa dengan memakan obat yang ditawarkan seketika itu juga maka langsung sembuh.
Bila hal itu terus dilakukan, dampak yang terjadi adalah berupa pembodohan politik. Ini berbahaya bagi masa depan bangsa. Karena itu, sudah saatnya iklan-iklan politik yang muncul memberikan pendidikan politik. Iklan-iklan politik mendasarkan pada visi-misi yang dimiliki oleh partai politik atau para tokoh yang mengiklankan itu dengan sungguh-sungguh, bukan lip service. Semoga! (*)
Lili Romli
Peneliti P2P LIPI
Direktur Desk Pemilu dan
Pilkada Puskapol UI
Sumber Sindo, 12 Desember 2008
Kuat Memegangi Prinsip
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim *
Harus ada keyakinan kuat yang mereka pegangi agar bisa tegak kepalanya, mantap langkahnya, jelas tujuannya dan ada alasan yang kuat untuk bertindak dan bekerja keras. Keyakinan kuat kepada Allah Yang Maha Menciptakan hampir tidak ada artinya jika tidak ada petunjuk yang pasti benarnya untuk hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ringkasnya, petunjuk itu harus pasti dan meyakinkan. Betul-betul petunjuk dari Allah 'Azza wa Jalla. Bukan rekaan.
Tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, petunjuk itu haruslah menjadi pijakan dalam bertindak, berpikir dan bersikap. Mengacu pada petunjuk, kita mengarahkan pikiran, sikap, keinginan dan tindakan kita. Berpijak pada petunjuk, kita membangkitkan mimpi-mimpi dalam diri kita untuk meraihnya sekaligus memperoleh kebaikan dari usaha maupun hasilnya. Petunjuk menjadi daya penggerak (driving force) untuk bertindak, berjuang, bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjalani serta mewujudkan cita-cita yang bersifat
moralistik-idealistik.
Apakah petunjuk yang pasti benarnya itu? Al-Qur'an. Allah Ta'ala menjamin, 'Alif Laam Miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (Al-Baqarah [2]: 1-4).
Tetapi Al-Qur'an tidak memberi manfaat jika kita menggunakannya sebagai pembenaran atas pendapat dan keinginan kita, bukan sebagai sumber kebenaran. Kita kehilangan petunjuk. Pada saat yang sama, sikap itu membuat anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap al-Qur'an, meski secara kognitif mengakuinya sebagai kitab suci. Hilangnya kepercayaan itu secara pasti akan menyebabkan anak kehilangan rasa hormat terhadap kesucian agama sehingga hampir tidak mungkin menjadikannya sebagai pembentuk sikap hidup yang kokoh.
Maka, kita perlu menghidupkan budaya mengambil petunjuk dari al-Qur'an semenjak anak-anak masih amat belia. Kita mengakrabkan mereka dengan kebiasaan mengenali bagaimana kemauan al-Qur'an dalam setiap urusan sekaligus membuktikan kebenaran al-Qur'an. Kita membiasakan mereka untuk mencerna ayat al-Qur'an, lalu mengajak mereka menemukan apa yang harus mereka kerjakan berdasarkan ayat-ayat tersebut.
Ini berarti, kita memperkenalkan tradisi mendeduksikan pesan-pesan al-Qur'andalam pemahaman. Artinya, bermula dari ayat al-Qur'an kita belajar merumuskan sikap dan tindakan. Bermula dari al-Qur'an, kita mengarahkan perasaan dan pikiran kita. Berpijak pada al-Qur'an kita menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, al-Qur'an menjadi penilai, penjelas dan pembeda.
Cara memperkenalkan al-Qur'an semacam ini lebih sempurna jika orangtua maupun guru memiliki kecakapan untuk memahami 'maksud al-Qur'an yang sebenarnya' sebelum mengeksplorasi lebih jauh. Hal ini kita lakukan dengan membiasakan anak memahami maksud tiap ayat berdasarkan tafsir yang otoritatif, yakni tafsir baku yang semua mufassir terpercaya menerimanya. Tanpa memahami maksud yang sebenarnya, kita bukannya mengambil petunjuk dari al-Qur'an, tetapi menjadikan al-Qur'an sebagai penguat dari pendapat kita tanpa kita menyadari.
Contoh sederhana. Dalam al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendirian." (Ar-Raad [13]: 11).
Penggalan ayat ini sering menjadi argumentasi mereka yang sedang meyakinkan saudara-saudaranya untuk melakukan perubahan nasib. Padahal ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa pada dasarnya Allah Ta'ala limpahkan kebaikan dan kemuliaan kepada kita sampai jiwa kita berubah.
Nah.
Contoh sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupkan budaya mengambil petunjuk secara tepat. Sebab, salah dalam mengambil petunjuk "meski sumber petunjuknya benar" akan salah pula tindakan yang kita ambil.
Di sini kita perlu berhati-hati. Pemahaman, perasaan, sikap, keyakinan dan tidak terkecuali tindakan, banyak berawal dari perkataan. Cara kita mengungkapkan, sangat berpengaruh terhadap pemahaman, penghayatan dan keyakinan. Sangat berbeda akibatnya bagi keyakinan anak terhadap al-Qur̢۪an. Salah cara kita berbicara, salah pula sikap anak terhadap al-Qur'an sebagai petunjuk untuk masa-masa selanjutnya.
Sangat berbeda pengaruhnya bagi pikiran ketika kita berkata, "Begitulah Allah Ta'ala berfirman. Karena itu", kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa lebih banyak bersedekah.†Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur'an adalah sumber petunjuk dan inspirasi tindakan. Sedangkan kalimat berikut, melemahkan keyakinan anak terhadap al-Qur'an karena terasa sebagai pembenaran. Bukan sumber kebenaran. Sainslah yang menjadi sumber kebenaran manakala kalimat kita berbunyi, "Berdasarkan penemuan mutakhir tadi kita bisa melihat bahwa sikap kita bisa mempengaruh alam semesta, meskipun kelihatannya tidak merusak. Karena itu…, tidak heran kalau Allah Ta'ala berfirman;
Agar anak semakin percaya kepada al-Qur'an suasana yang menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk dan acuan dalam bertindak perlu dihidupkan. Ini menuntut budaya pembelajaran yang kontekstual. Seorang guru al-Qur'an adalah guru yang kemana pun ia pergi, ia akan menunjukkan kepada murid-muridnya bagaimana al-Qur'an berbicara. Melalui cara ini anak memperoleh pengalaman mental bahwa al-Qur'an melingkupi seluruh aspek kehidupan, sehingga anak semakin dekat hatinya kepada petunjuk. Selengkapnya, pembicaraan tentang ini akan kita lanjutkan pada edisi mendatang.
Anak-anak juga perlu memperoleh pengalaman iman dan sekaligus intelektual bahwa al-Qur'an merupakan penimbang, penilai dan pemberi kata putus tentang benar tidaknya sebuah pendapat, bahkan penemuan yang dianggap ilmiah sekalipun. Bukan sebaliknya, menakar kebenaran al-Qur'an dari sains. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki wawasan luas, meski yang diajarkan di sekolah hanya satu mata pelajaran: tahfidz. Menghafal al-Qur'an. Tujuannya, agar murid tidak hanya hafal di otak, tetapi lebih penting lagi meyakini di hati.
Selebihnya, tidak bisa tidak, modal yakin dan tidak ragu sama sekali terhadap al-Qur'an adalah dengan mengenal dan mengimani sumber al-Qur'an, yakni Allah Ta'ala dan proses turunnya.
Ringkasnya, ternyata untuk mengajak anak-anak meyakini al-Qur'an, guru tidak cukup sekedar bisa membaca. Hanya dengan meyakini secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya, al-Qur'an bisa menjadi daya penggerak untuk bertindak. Dengan demikian, mereka tidak sekedar hafal. Lebih dari itu, hidup jiwanya dan kuat keyakinannya dalam memegangi prinsip.
Semoga melalui lisan para guru yang memancarkan cahaya al-Qur'an, anak-anak kita bisa belajar memegangi al-Qur'an dengan kuat, sehingga kita bisa berharap anak-anak itu kelak menjadi mukmin yang bertakwa, penuh belas kasih hatinya, berbakti pada orangtua, santun, tidak sombong dan hidup jiwanya. *Wallahu a'lam bish-shawab.
Penulis buku-buku laris masalah parenting dan kolomnis di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
Harus ada keyakinan kuat yang mereka pegangi agar bisa tegak kepalanya, mantap langkahnya, jelas tujuannya dan ada alasan yang kuat untuk bertindak dan bekerja keras. Keyakinan kuat kepada Allah Yang Maha Menciptakan hampir tidak ada artinya jika tidak ada petunjuk yang pasti benarnya untuk hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ringkasnya, petunjuk itu harus pasti dan meyakinkan. Betul-betul petunjuk dari Allah 'Azza wa Jalla. Bukan rekaan.
Tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, petunjuk itu haruslah menjadi pijakan dalam bertindak, berpikir dan bersikap. Mengacu pada petunjuk, kita mengarahkan pikiran, sikap, keinginan dan tindakan kita. Berpijak pada petunjuk, kita membangkitkan mimpi-mimpi dalam diri kita untuk meraihnya sekaligus memperoleh kebaikan dari usaha maupun hasilnya. Petunjuk menjadi daya penggerak (driving force) untuk bertindak, berjuang, bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjalani serta mewujudkan cita-cita yang bersifat
moralistik-idealistik.
Apakah petunjuk yang pasti benarnya itu? Al-Qur'an. Allah Ta'ala menjamin, 'Alif Laam Miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (Al-Baqarah [2]: 1-4).
Tetapi Al-Qur'an tidak memberi manfaat jika kita menggunakannya sebagai pembenaran atas pendapat dan keinginan kita, bukan sebagai sumber kebenaran. Kita kehilangan petunjuk. Pada saat yang sama, sikap itu membuat anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap al-Qur'an, meski secara kognitif mengakuinya sebagai kitab suci. Hilangnya kepercayaan itu secara pasti akan menyebabkan anak kehilangan rasa hormat terhadap kesucian agama sehingga hampir tidak mungkin menjadikannya sebagai pembentuk sikap hidup yang kokoh.
Maka, kita perlu menghidupkan budaya mengambil petunjuk dari al-Qur'an semenjak anak-anak masih amat belia. Kita mengakrabkan mereka dengan kebiasaan mengenali bagaimana kemauan al-Qur'an dalam setiap urusan sekaligus membuktikan kebenaran al-Qur'an. Kita membiasakan mereka untuk mencerna ayat al-Qur'an, lalu mengajak mereka menemukan apa yang harus mereka kerjakan berdasarkan ayat-ayat tersebut.
Ini berarti, kita memperkenalkan tradisi mendeduksikan pesan-pesan al-Qur'andalam pemahaman. Artinya, bermula dari ayat al-Qur'an kita belajar merumuskan sikap dan tindakan. Bermula dari al-Qur'an, kita mengarahkan perasaan dan pikiran kita. Berpijak pada al-Qur'an kita menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, al-Qur'an menjadi penilai, penjelas dan pembeda.
Cara memperkenalkan al-Qur'an semacam ini lebih sempurna jika orangtua maupun guru memiliki kecakapan untuk memahami 'maksud al-Qur'an yang sebenarnya' sebelum mengeksplorasi lebih jauh. Hal ini kita lakukan dengan membiasakan anak memahami maksud tiap ayat berdasarkan tafsir yang otoritatif, yakni tafsir baku yang semua mufassir terpercaya menerimanya. Tanpa memahami maksud yang sebenarnya, kita bukannya mengambil petunjuk dari al-Qur'an, tetapi menjadikan al-Qur'an sebagai penguat dari pendapat kita tanpa kita menyadari.
Contoh sederhana. Dalam al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendirian." (Ar-Raad [13]: 11).
Penggalan ayat ini sering menjadi argumentasi mereka yang sedang meyakinkan saudara-saudaranya untuk melakukan perubahan nasib. Padahal ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa pada dasarnya Allah Ta'ala limpahkan kebaikan dan kemuliaan kepada kita sampai jiwa kita berubah.
Nah.
Contoh sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupkan budaya mengambil petunjuk secara tepat. Sebab, salah dalam mengambil petunjuk "meski sumber petunjuknya benar" akan salah pula tindakan yang kita ambil.
Di sini kita perlu berhati-hati. Pemahaman, perasaan, sikap, keyakinan dan tidak terkecuali tindakan, banyak berawal dari perkataan. Cara kita mengungkapkan, sangat berpengaruh terhadap pemahaman, penghayatan dan keyakinan. Sangat berbeda akibatnya bagi keyakinan anak terhadap al-Qur̢۪an. Salah cara kita berbicara, salah pula sikap anak terhadap al-Qur'an sebagai petunjuk untuk masa-masa selanjutnya.
Sangat berbeda pengaruhnya bagi pikiran ketika kita berkata, "Begitulah Allah Ta'ala berfirman. Karena itu", kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa lebih banyak bersedekah.†Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur'an adalah sumber petunjuk dan inspirasi tindakan. Sedangkan kalimat berikut, melemahkan keyakinan anak terhadap al-Qur'an karena terasa sebagai pembenaran. Bukan sumber kebenaran. Sainslah yang menjadi sumber kebenaran manakala kalimat kita berbunyi, "Berdasarkan penemuan mutakhir tadi kita bisa melihat bahwa sikap kita bisa mempengaruh alam semesta, meskipun kelihatannya tidak merusak. Karena itu…, tidak heran kalau Allah Ta'ala berfirman;
Agar anak semakin percaya kepada al-Qur'an suasana yang menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk dan acuan dalam bertindak perlu dihidupkan. Ini menuntut budaya pembelajaran yang kontekstual. Seorang guru al-Qur'an adalah guru yang kemana pun ia pergi, ia akan menunjukkan kepada murid-muridnya bagaimana al-Qur'an berbicara. Melalui cara ini anak memperoleh pengalaman mental bahwa al-Qur'an melingkupi seluruh aspek kehidupan, sehingga anak semakin dekat hatinya kepada petunjuk. Selengkapnya, pembicaraan tentang ini akan kita lanjutkan pada edisi mendatang.
Anak-anak juga perlu memperoleh pengalaman iman dan sekaligus intelektual bahwa al-Qur'an merupakan penimbang, penilai dan pemberi kata putus tentang benar tidaknya sebuah pendapat, bahkan penemuan yang dianggap ilmiah sekalipun. Bukan sebaliknya, menakar kebenaran al-Qur'an dari sains. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki wawasan luas, meski yang diajarkan di sekolah hanya satu mata pelajaran: tahfidz. Menghafal al-Qur'an. Tujuannya, agar murid tidak hanya hafal di otak, tetapi lebih penting lagi meyakini di hati.
Selebihnya, tidak bisa tidak, modal yakin dan tidak ragu sama sekali terhadap al-Qur'an adalah dengan mengenal dan mengimani sumber al-Qur'an, yakni Allah Ta'ala dan proses turunnya.
Ringkasnya, ternyata untuk mengajak anak-anak meyakini al-Qur'an, guru tidak cukup sekedar bisa membaca. Hanya dengan meyakini secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya, al-Qur'an bisa menjadi daya penggerak untuk bertindak. Dengan demikian, mereka tidak sekedar hafal. Lebih dari itu, hidup jiwanya dan kuat keyakinannya dalam memegangi prinsip.
Semoga melalui lisan para guru yang memancarkan cahaya al-Qur'an, anak-anak kita bisa belajar memegangi al-Qur'an dengan kuat, sehingga kita bisa berharap anak-anak itu kelak menjadi mukmin yang bertakwa, penuh belas kasih hatinya, berbakti pada orangtua, santun, tidak sombong dan hidup jiwanya. *Wallahu a'lam bish-shawab.
Penulis buku-buku laris masalah parenting dan kolomnis di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
Mengenalkan Allah Kepada Anak
Rasulullah saw. pernah mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha illaLlah." Kalimat suci inilah yang kelak akan membekas pada otak dan hati mereka
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Kalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.
Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.
Astaghfirullahal ‘adziim…
Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."
Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho."
Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.
Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.
Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.
Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:
Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah
Rasulullah saw. pernah mengingatkan, "Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah."
Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.
Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:
"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering." (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain disebutkan, "Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan."
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Wallahu a’lam bishawab.
Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq
Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.
Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, "Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?"
Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.
Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah penulis kolom rubrik parenting di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Kalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.
Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.
Astaghfirullahal ‘adziim…
Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat "keliru" –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, "Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa."
Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, "E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho."
Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara "mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari". Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka "menjauh" karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.
Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.
Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.
Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:
Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah
Rasulullah saw. pernah mengingatkan, "Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah."
Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.
Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:
"Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering." (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain disebutkan, "Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan."
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.
Wallahu a’lam bishawab.
Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq
Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.
Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, "Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?"
Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.
Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia.
Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah penulis kolom rubrik parenting di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
“Merebut Jiwa Anak”
Sejauh mana pendidikan mempengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa anak?. Sekedar cerdas secara kognitif tidak banyak berpengaruh bagi jiwanya
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
CAMPUR aduk perasaan saya ketika Allah Ta’ala memperkenankan saya bertemu dengan buku karya Theodore Herzl, tokoh yang telah menggerakkan jutaan manusia untuk rela berdarah-darah mendirikan negara Israel Raya. Membaca Der Judenstaat –Negara Yahudi—membawa pikiran saya mengenangkan saat-saat penuh persaudaraan dalam Silaturrahmi Nasional di Gunung Tembak. Kenangan yang mengharukan dan membuat dada saya penuh sesak oleh mimpi-mimpi tentang sebuah stasiun TV, jaringan surat kabar, sekolah-sekolah yang melahirkan manusia besar, lembaga-lembaga yang menjadi pusat kebajikan sehingga bisa mewujudkan kehendak Islam untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh dan segenap ummat manusia.
Ada keyakinan yang membuat saya tak bisa menulis tema lain kecuali apa yang saya perbincangkan sekarang ini. Ada airmata yang saya tahan agar tidak jatuh ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini. Bukan karena sedih oleh perasaan tidak berdaya, Tuan. Tetapi karena keharuan yang amat kuat dan keyakinan yang begitu mendalam. Insya-Allah, atas pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti kita akan mampu mewujudkannya. Tak ada alasan untuk pesimis karena Allah ‘Azza wa Jalla tak pernah berhenti memberi pertolongan, kecuali kalau iman kita telah habis dan keyakinan kita pada kekuasaan-Nya telah menipis.
Belajar dari orang-orang yang telah berlalu, tidak terkecuali Theodore Herzl yang telah menginspirasi jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan Israel Raya dengan merampas tanah orang-orang Palestina, ada satu hal yang harus kita catat. Keberhasilan membuat sejarah besar, bukanlah bertumpu pada besarnya kekayaan dan banyaknya orang-orang yang berdiri di belakang kita. Seratus juta manusia yang tipis keyakinannya, akan mudah lari terbirit-birit oleh seribu orang terpilih dengan keyakinan yang sangat kokoh dan keberanian yang sangat besar. Ketika Herzl menulis Der Judenstaat, kaum Yahudi adalah orang-orang yang tidak berdaya dan tercerai berai. Tetapi Benyamin Se’ev –nama lain Theodore Herzl—menulis dalam buku hariannya sepulang dari Kongres Basel tahun 1897, “Di Basel, aku dirikan Negara Yahudi. Jika aku katakan dengan lantang hari ini, aku akan disambut dengan tertawaan orang-orang sedunia. Mungkin dalam lima tahun, tetapi pasti dalam lima puluh tahun, setiap orang akan menyaksikannya.”
Apa yang membuat Herzl begitu yakin? Media dan kekuatan jaringan. Media memainkan pikiran manusia, menggiring orang yang paling benci sekalipun untuk sekurang-kurangnya tidak peduli. Media dapat membuat orang menangisi apa yang seharusnya mereka syukuri, dan merayakan apa yang seharusnya membuat mereka tidak bisa tidur dalam tiga hari karena ngerinya tragedi. Media dapat membuat kebusukan tampak bagus dalam sekejap, dan sebaliknya bisa membuat orang jujur dicaci-maki dan diludahi. Seorang yang telah cukup matang berpikir pun bisa berubah karena tulisan yang dibuat dengan penuh kekuatan. Terlebih anak-anak dan orang muda, media bukan saja mempengaruhi. Ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orangtua mendampingi anak-anaknya hampir setiap hari.
Di antara perusahaan media –sepeninggal Herzl—yang dengan sangat serius menggarap anak-anak adalah Disney dengan berbagai produknya, terutama film kartun. Didirikan oleh Mogul Michael Eisner –seorang Yahudi militan yang sangat fobi pada Islam—The Disney Company bekerja keras melahirkan produk-produk untuk anak. Mereka telah bersungguh-sungguh, berusaha melakukan yang terbaik dan tak berhenti meningkatkan kemampuan. Hari ini, jutaan anak-anak kaum muslimin menanti dengan sabar film-film mereka di layar TV bersama para orangtua mereka –yang terkadang bukan mendampingi, tetapi ikut berebut memelototi. Sebagian masih menawarkan kebaikan, tetapi tak sedikit yang menyuntikkan racun ke dalam pikiran kita, sementara kita menikmatinya dengan senang hati.
Berkenaan dengan pilihan menggarap anak-anak ini, teringatlah saya kepada David McClelland. Atas biaya CIA –lembaga inteligen Amerika—McClelland melakukan penelitian untuk mengetahui semangat kewirausahaan masyarakat berbagai bangsa. McClelland kemudian menyimpulkan bahwa semangat wirausaha sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Darimana kebutuhan untuk berprestasi ini sangat mempengaruhi jiwa mereka? McClelland menunjuk pada cerita anak. Keyakinan ini didasarkan pada hasil analisis proyektif cerita anak dari bangsa-bangsa yang ditelitinya.
Meskipun pendidikan di perguruan tinggi turut berpengaruh pada sikap dan terutama wawasan seseorang, tetapi pengaruh paling kuat yang membekas pada kepribadian adalah masa kecil. Dan cerita anak –termasuk film yang mereka lihat—sangat menentukan besar kekuatan kebutuhan jiwa. Anak yang sudah kokoh jiwanya ketika memasuki masa remaja, insya-Allah mereka tidak mudah terpengaruh –apalagi guncang—oleh hal-hal baru yang ada di sekelilingnya. Menjadi remaja tidak dengan sendirinya berarti mengalami kebingungan jatidiri sehingga mereka sibuk mencari identitas –yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan apa saja yang tidak benar. Ada remaja-remaja yang tidak mengalami keguncangan. Mereka telah menemukan jatidiri sebelum memasuki masa remaja. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.
Pertanyaan kita adalah, mengapa ada yang harus guncang dan kehilangan pegangan sehingga pelajaran agama yang mereka terima semenjak kecil seakan tak berbekas, sementara pada saat yang sama remaja lain tidak mengalami kebingungan identitas? Wallahu a’lam bishawab. Penyebab yang sangat menentukan adalah pendidikan yang mereka terima di masa sebelumnya; sejauh mana mempengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa mereka. Sekedar cerdas secara kognitif atas nilai-nilai tauhid, tidak banyak berpengaruh bagi jiwa. Banyaknya pengetahuan tidak terlalu menentukan apa yang menjadi penggerak utama manusia untuk hidup –McClelland kemudian menganggapnya sebagai kebutuhan (need). Seperti dokter penyakit dalam, sekedar pengetahuan yang mendalam tentang bahaya merokok, tidak cukup untuk membuat mereka berhenti merokok. Itu sebabnya perusahaan rokok dengan senang hati mencantum peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di iklan-iklan mereka.
Nah, salah satu cara yang efektif mempengaruhi jiwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita, semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa anak. Demikian pula semakin dini mereka membaca cerita-cerita berpengaruh tersebut, semakin kuat bekasnya pada jiwa. Kuatnya pengaruh ini akan lebih besar lagi jika anak-anak itu mengungkapkan kembali cerita dan kesan yang ia tangkap melalui tulisan. ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Itu sebabnya, dua keterampilan ini –yakni membaca dan menulis-- perlu kita bangkitkan semenjak dini. Kita gerakkan jiwa mereka untuk membaca semenjak anak-anak itu baru berusia beberapa hari. Kita rangsang minat baca mereka, dan kita ajarkan mereka bagaimana membaca semenjak dini, bukan semata untuk meningkatkan kecerdasan. Lebih dari itu, mudah-mudahan kita tergerak untuk melakukannya karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan membaca (iqra’) sebagai perintah pertama. Iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq! Adapun kenyataan bahwa mengajarkan membaca semenjak dini terbukti meningkatkan kecerdasan anak kita berlipat-lipat, itu merupakan hikmah yang kita syukuri.
Tetapi…
Sekedar membuat anak kita terampil membaca dan menulis di usia dini, sama sekali tidak cukup. Kita harus berikan kepada mereka bacaan-bacaan bergizi bagi pikiran, perasaan dan ruhani mereka. Tak cukup kalau kita sekedar mencerdaskan otak. Kita harus menghidupkan jiwa mereka sehingga tumbuh kebutuhan yang sangat kuat sebagai penggerak hidup mereka kelak. Kita harus menulis cerita-cerita anak yang bergizi. Sekarang juga! Tak ada waktu untuk menunggu, sebab setiap detik waktu berlari meninggalkan kita. Seperti Mogul Michael Eisner, harus ada di antara kita yang berbuat untuk anak-anak. Jika Eisner mewujudkan pengabdian melalui jaringan bisnis The Disney Company, lalu apakah yang akan kita lakukan?
Selebihnya, kita memerlukan buku-buku cerita yang hidup, yakni guru-guru yang memiliki kekuatan jiwa. Mereka inilah penentu masa depan anak-anak. Di tangan para guru, buku-buku yang kurang gizinya dapat dibenahi sehingga menghidupkan hati, menajamkan pikiran dan menggerakkan jiwa anak. Mereka inilah yang harus kita persiapkan untuk mengantarkan anak-anak kita menyambut seruan perjuangan. Tak perlu tergesa-gesa mendirikan perguruan tinggi. Kalau kita telah mampu membangun kekuatan jiwa pada anak-anak kita sedari playgroup hingga SMP –syukur hingga SMA—melalui sekolah-sekolah yang diasuh oleh guru-guru dengan kekuatan jiwa yang tangguh, kekuatan ruhiyah yang kokoh dan kekuatan ilmu yang matang, insya-Allah kita sudah menggenggam generasi yang penentu sejarah lima puluh tahun yang akan datang!
Allahu akbar!
Penulis adalah kolomnis tetap rubrik parenting di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
CAMPUR aduk perasaan saya ketika Allah Ta’ala memperkenankan saya bertemu dengan buku karya Theodore Herzl, tokoh yang telah menggerakkan jutaan manusia untuk rela berdarah-darah mendirikan negara Israel Raya. Membaca Der Judenstaat –Negara Yahudi—membawa pikiran saya mengenangkan saat-saat penuh persaudaraan dalam Silaturrahmi Nasional di Gunung Tembak. Kenangan yang mengharukan dan membuat dada saya penuh sesak oleh mimpi-mimpi tentang sebuah stasiun TV, jaringan surat kabar, sekolah-sekolah yang melahirkan manusia besar, lembaga-lembaga yang menjadi pusat kebajikan sehingga bisa mewujudkan kehendak Islam untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh dan segenap ummat manusia.
Ada keyakinan yang membuat saya tak bisa menulis tema lain kecuali apa yang saya perbincangkan sekarang ini. Ada airmata yang saya tahan agar tidak jatuh ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini. Bukan karena sedih oleh perasaan tidak berdaya, Tuan. Tetapi karena keharuan yang amat kuat dan keyakinan yang begitu mendalam. Insya-Allah, atas pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti kita akan mampu mewujudkannya. Tak ada alasan untuk pesimis karena Allah ‘Azza wa Jalla tak pernah berhenti memberi pertolongan, kecuali kalau iman kita telah habis dan keyakinan kita pada kekuasaan-Nya telah menipis.
Belajar dari orang-orang yang telah berlalu, tidak terkecuali Theodore Herzl yang telah menginspirasi jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan Israel Raya dengan merampas tanah orang-orang Palestina, ada satu hal yang harus kita catat. Keberhasilan membuat sejarah besar, bukanlah bertumpu pada besarnya kekayaan dan banyaknya orang-orang yang berdiri di belakang kita. Seratus juta manusia yang tipis keyakinannya, akan mudah lari terbirit-birit oleh seribu orang terpilih dengan keyakinan yang sangat kokoh dan keberanian yang sangat besar. Ketika Herzl menulis Der Judenstaat, kaum Yahudi adalah orang-orang yang tidak berdaya dan tercerai berai. Tetapi Benyamin Se’ev –nama lain Theodore Herzl—menulis dalam buku hariannya sepulang dari Kongres Basel tahun 1897, “Di Basel, aku dirikan Negara Yahudi. Jika aku katakan dengan lantang hari ini, aku akan disambut dengan tertawaan orang-orang sedunia. Mungkin dalam lima tahun, tetapi pasti dalam lima puluh tahun, setiap orang akan menyaksikannya.”
Apa yang membuat Herzl begitu yakin? Media dan kekuatan jaringan. Media memainkan pikiran manusia, menggiring orang yang paling benci sekalipun untuk sekurang-kurangnya tidak peduli. Media dapat membuat orang menangisi apa yang seharusnya mereka syukuri, dan merayakan apa yang seharusnya membuat mereka tidak bisa tidur dalam tiga hari karena ngerinya tragedi. Media dapat membuat kebusukan tampak bagus dalam sekejap, dan sebaliknya bisa membuat orang jujur dicaci-maki dan diludahi. Seorang yang telah cukup matang berpikir pun bisa berubah karena tulisan yang dibuat dengan penuh kekuatan. Terlebih anak-anak dan orang muda, media bukan saja mempengaruhi. Ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orangtua mendampingi anak-anaknya hampir setiap hari.
Di antara perusahaan media –sepeninggal Herzl—yang dengan sangat serius menggarap anak-anak adalah Disney dengan berbagai produknya, terutama film kartun. Didirikan oleh Mogul Michael Eisner –seorang Yahudi militan yang sangat fobi pada Islam—The Disney Company bekerja keras melahirkan produk-produk untuk anak. Mereka telah bersungguh-sungguh, berusaha melakukan yang terbaik dan tak berhenti meningkatkan kemampuan. Hari ini, jutaan anak-anak kaum muslimin menanti dengan sabar film-film mereka di layar TV bersama para orangtua mereka –yang terkadang bukan mendampingi, tetapi ikut berebut memelototi. Sebagian masih menawarkan kebaikan, tetapi tak sedikit yang menyuntikkan racun ke dalam pikiran kita, sementara kita menikmatinya dengan senang hati.
Berkenaan dengan pilihan menggarap anak-anak ini, teringatlah saya kepada David McClelland. Atas biaya CIA –lembaga inteligen Amerika—McClelland melakukan penelitian untuk mengetahui semangat kewirausahaan masyarakat berbagai bangsa. McClelland kemudian menyimpulkan bahwa semangat wirausaha sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Darimana kebutuhan untuk berprestasi ini sangat mempengaruhi jiwa mereka? McClelland menunjuk pada cerita anak. Keyakinan ini didasarkan pada hasil analisis proyektif cerita anak dari bangsa-bangsa yang ditelitinya.
Meskipun pendidikan di perguruan tinggi turut berpengaruh pada sikap dan terutama wawasan seseorang, tetapi pengaruh paling kuat yang membekas pada kepribadian adalah masa kecil. Dan cerita anak –termasuk film yang mereka lihat—sangat menentukan besar kekuatan kebutuhan jiwa. Anak yang sudah kokoh jiwanya ketika memasuki masa remaja, insya-Allah mereka tidak mudah terpengaruh –apalagi guncang—oleh hal-hal baru yang ada di sekelilingnya. Menjadi remaja tidak dengan sendirinya berarti mengalami kebingungan jatidiri sehingga mereka sibuk mencari identitas –yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan apa saja yang tidak benar. Ada remaja-remaja yang tidak mengalami keguncangan. Mereka telah menemukan jatidiri sebelum memasuki masa remaja. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.
Pertanyaan kita adalah, mengapa ada yang harus guncang dan kehilangan pegangan sehingga pelajaran agama yang mereka terima semenjak kecil seakan tak berbekas, sementara pada saat yang sama remaja lain tidak mengalami kebingungan identitas? Wallahu a’lam bishawab. Penyebab yang sangat menentukan adalah pendidikan yang mereka terima di masa sebelumnya; sejauh mana mempengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa mereka. Sekedar cerdas secara kognitif atas nilai-nilai tauhid, tidak banyak berpengaruh bagi jiwa. Banyaknya pengetahuan tidak terlalu menentukan apa yang menjadi penggerak utama manusia untuk hidup –McClelland kemudian menganggapnya sebagai kebutuhan (need). Seperti dokter penyakit dalam, sekedar pengetahuan yang mendalam tentang bahaya merokok, tidak cukup untuk membuat mereka berhenti merokok. Itu sebabnya perusahaan rokok dengan senang hati mencantum peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di iklan-iklan mereka.
Nah, salah satu cara yang efektif mempengaruhi jiwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita, semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa anak. Demikian pula semakin dini mereka membaca cerita-cerita berpengaruh tersebut, semakin kuat bekasnya pada jiwa. Kuatnya pengaruh ini akan lebih besar lagi jika anak-anak itu mengungkapkan kembali cerita dan kesan yang ia tangkap melalui tulisan. ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Itu sebabnya, dua keterampilan ini –yakni membaca dan menulis-- perlu kita bangkitkan semenjak dini. Kita gerakkan jiwa mereka untuk membaca semenjak anak-anak itu baru berusia beberapa hari. Kita rangsang minat baca mereka, dan kita ajarkan mereka bagaimana membaca semenjak dini, bukan semata untuk meningkatkan kecerdasan. Lebih dari itu, mudah-mudahan kita tergerak untuk melakukannya karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan membaca (iqra’) sebagai perintah pertama. Iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq! Adapun kenyataan bahwa mengajarkan membaca semenjak dini terbukti meningkatkan kecerdasan anak kita berlipat-lipat, itu merupakan hikmah yang kita syukuri.
Tetapi…
Sekedar membuat anak kita terampil membaca dan menulis di usia dini, sama sekali tidak cukup. Kita harus berikan kepada mereka bacaan-bacaan bergizi bagi pikiran, perasaan dan ruhani mereka. Tak cukup kalau kita sekedar mencerdaskan otak. Kita harus menghidupkan jiwa mereka sehingga tumbuh kebutuhan yang sangat kuat sebagai penggerak hidup mereka kelak. Kita harus menulis cerita-cerita anak yang bergizi. Sekarang juga! Tak ada waktu untuk menunggu, sebab setiap detik waktu berlari meninggalkan kita. Seperti Mogul Michael Eisner, harus ada di antara kita yang berbuat untuk anak-anak. Jika Eisner mewujudkan pengabdian melalui jaringan bisnis The Disney Company, lalu apakah yang akan kita lakukan?
Selebihnya, kita memerlukan buku-buku cerita yang hidup, yakni guru-guru yang memiliki kekuatan jiwa. Mereka inilah penentu masa depan anak-anak. Di tangan para guru, buku-buku yang kurang gizinya dapat dibenahi sehingga menghidupkan hati, menajamkan pikiran dan menggerakkan jiwa anak. Mereka inilah yang harus kita persiapkan untuk mengantarkan anak-anak kita menyambut seruan perjuangan. Tak perlu tergesa-gesa mendirikan perguruan tinggi. Kalau kita telah mampu membangun kekuatan jiwa pada anak-anak kita sedari playgroup hingga SMP –syukur hingga SMA—melalui sekolah-sekolah yang diasuh oleh guru-guru dengan kekuatan jiwa yang tangguh, kekuatan ruhiyah yang kokoh dan kekuatan ilmu yang matang, insya-Allah kita sudah menggenggam generasi yang penentu sejarah lima puluh tahun yang akan datang!
Allahu akbar!
Penulis adalah kolomnis tetap rubrik parenting di Majalah Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.com
11 Desember 2008
Ilmuwan Buktikan Adanya Cadangan Air Beku di Mars
AFP
WASHINGTON--MI: Para ilmuwan NASA telah menemukan waduk air beku di bawah tanah di Mars, jauh dari tudung kutubnya.
Penemuan ini merupakan tanda terbaru bahwa kehidupan boleh jadi dapat bertahan di Planet Merah.
Radar yang mampu menembus tanah dari Mars Reconnaissance Orbiter mengungkapkan gletser dalam jumlah banyak dengan ketebalan hingga setengah mil terkubur di bawah lapisan karang dan debu.
Para ilmuwan menyatakan sebuah gletser besarnya mencapai tiga kali daripada ukuran kawasan Los Angeles.
"Secara keseluruhan, gletser-gletser ini hampir dapat dipastikan sebagai waduk air es terbesar di Mars, dan bukan tudung es di kutub," kata John Holt, seorang pakar geofisika pada Universitas Texas di Austin dan penyusun utama laporan tentang penemuan tersebut.
Laporan mengenai penemuan mereka muncul di jurnal Science edisi 21 November.
"Di samping nilai ilmiah mereka, gletser-gletser ini dapat menjadi sumber air guna mendukung penjelajahan Mars mendatang, ujar Holt, seperti dilaporkan AFP.
Para ilmuwan pada tim riset beranggotakan 12 orang itu menduga cadangan air beku itu adalah peninggalan Jaman Es di Mars pada jutaan tahun silam.
Karena air merupakan salah satu keperluan dasar bagi kehidupan, para ilmuwan mengatakan waduk beku itu adalah tanda yang menjanjikan bagi kehidupan di luar Bumi.
Mars adalah satu-satunya planet yang permukaannya dapat dilihat secara terinci dari Bumi. Suhunya antara -140 derajat Celsius hingga20 derajat celsius. (OL-01)
Teleskop Hubble Temukan Karbon Dioksida di Planet Luar Tata Surya
Teleskop Hubble Temukan Karbon Dioksida di Planet Luar Tata Surya
AFP PHOTO NASA/ESA/HO
WASHINGTON--MI: Teleskop Antariksa Hubble berhasil menemukan karbon dioksida di atmosfir satu planet di luar tata surya, demikian keterangan Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, Selasa (9/12).
Planet sebesar Jupiter, yang disebut HD 189733b tersebut berada sejauh 63 tahun cahaya. Terobosan itu adalah langkah penting ke arah ditemukannya jejak-biokimia mengenai kehidupan di luar bumi.
Itu terlalu panas untuk kehidupan, tapi pengamatan Hubble adalah petunjuk bukti konsep bahwa bahan kimia dasar bagi kehidupan dapat diukur di planet yang mengorbit bintang lain.
Susunan organik juga dapat menjadi produk tambahan proses kehidupan dan jejak mereka di planet Bumi pada suatu hari bisa menyediakan bukti pertama mengenai kehidupan di luat planet kita.
Pengamatan sebelumnya mengenai HD 189733b oleh Teleskop Antariksa Hubble dan Spitzer mendapat uap air. Awal tahun ini, Teleskop Hubble menemukan methane di atmosfir planet tersebut.
"Semua studi atmosfir ini akan mulai menetapkan susunan dan proses kimia yang beroperasi di dunia jauh yang mengorbit bintang lain."
"Masa depan perbatasan ilmu pengetahuan yang terkuak ini sangat menjanjikan karena kami berharap akan menemukan banyak lagi molekul di atmosfir planet di luar tatasurya," kata ilmuwan program Teleskop Hubble di NASA, Eric Smith.(Xinhua/Ant/OL-02)
Kumpulan Buku Karya Hartono Ahmad Jaiz
Kumpulan Buku Karya Hartono Ahmad Jaiz
1. Ada Pemurtadan Di IAIN
2. Bila Kiyai Menjadi Tuhan
3. Bahaya Islam Liberal
4. Tasawuf Belitan Iblis
5. Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan
Miliki buku di atas dengan klik pada judul. Selamat membaca
1. Ada Pemurtadan Di IAIN
2. Bila Kiyai Menjadi Tuhan
3. Bahaya Islam Liberal
4. Tasawuf Belitan Iblis
5. Tasawuf, Pluralisme, & Pemurtadan
Miliki buku di atas dengan klik pada judul. Selamat membaca
Makna Membangkitkan Minat Baca
HEBAT. Itu tanggapan atas berita bahwa Indonesia bisa menjadi model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik. Penilaian itu diberikan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Sejak 2007, buta aksara di Indonesia turun 1,7 juta orang, menjadi 10,1 juta. Sekitar 7 juta di antaranya perempuan. Sukses program pemberantasan buta aksara antara lain berkat dukungan 59 perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai daerah di Indonesia. Jendela dunia terbuka makin lebar bagi mereka yang melek aksara.
Namun, angka tadi tidak seiring dengan hasil survei UNESCO yang menunjukkan minat baca kita sangat rendah. Dua tahun lalu kita yang paling rendah di kawasan Asia. Sementara itu International Educational Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara. Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itu antara lain menyebabkan United Nations Development Program (UNDP) menempatkan kita pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumber daya manusia.
Kenyataan-kenyataan tadi membuktikan, melek aksara tidak menjamin peningkatan kemampuan maupun minat membaca. Kita perlu prihatin. Tanpa minat baca, dari mana kita bisa memperoleh ide-ide segar dan baru? Dilihat dari jumlah penduduk kita dan jumlah harian yang beredar tiap hari, persentase bacaan koran amat sangat kecil. Seputar 1%? UNESCO menetapkan, sebaiknya 10%.
Editorial Media Indonesia hari Senin lalu khusus membahas soal ini. Antara lain disebutkannya, kemajuan media elektronik salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca. Memang masyarakat kita sejak dulu jauh lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat kita lebih suka menonton wayang, misalnya. Bahwa jumlah buku dalam bahasa-bahasa daerah tidak berarti, membenarkan asumsi tadi. Maka kita tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat kita sekarang jauh lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca. Gejala ini sebenarnya ada di semua negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.
Tekanan sosial seharusnya ada pengaruhnya. Misalnya, apakah minat dan kemampuan membaca merupakan persyaratan bagi klasifikasi sosial masyarakat? Di tingkat bawah, orang-orang kita yang buta aksara, atau yang kemampuan membacanya kurang, lebih sulit mencari pekerjaan yang memadai jika dibandingkan dengan mereka yang lebih terdidik. Ini seharusnya mendorong masyarakat untuk belajar membaca lebih baik.
Lain situasinya dengan masyarakat di negara-negara maju. Membaca kelihatannya sudah menjadi bagian dari hidup. Membaca juga memberi hiburan. Sistem dan fasilitas dibangun untuk mendukungnya. Begitu bertimbun bacaan-bacaan yang padat makna sejarah, makna ilmiah, atau padat nilai-nilai kemanusiaan, moral dan spiritual, maupun hiburan, sehingga masyarakat tinggal memilih sesuai selera. Membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institut, Universitas Stanford, pernah mengatakan tujuan pokok pembangunan ekonomi adalah mengusahakan tercapainya taraf penghidupan yang layak bagi segenap rakyat. Namun, rasanya kita sepakat, kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya diukur dari GNP per kapita rakyatnya. Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik, seperti tecermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang didukung kemauan rakyat banyak. Juga mencakup pendidikan yang menyeluruh bagi rakyat, termasuk pengembangan seni budaya, sarana komunikasi, dan penyuburan segala bentuk rekreasi. Kesimpulannya, pembangunan mensyaratkan perubahan sikap dan perilaku manusia. Perlu transformasi. Sarana paling ampuh untuk transformasi adalah komunikasi. Bacaan termasuk di dalamnya.
Sejauh ini kita terkesan bingung menghadapi ide transformasi. Wajar karena transformasi menuntut perubahan cara berpikir. Secara berangsur kita harus meninggalkan cara berpikir yang sudah mengendap lama dalam budaya kita dan sudah kedaluwarsa. Sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun. Meninggalkannya seperti meninggalkan prinsip-prinsip kehidupan asli kita. Tarik ulur pertentangan mengenai hal ini masih terjadi sampai sekarang. Dalam hal modernisasi, kita masyarakat heterogen.
Menurut Inkeles, ciri-ciri manusia modern ada dua; yang eksternal dan yang internal. Yang pertama berkaitan dengan lingkungan. Yang kedua tentang sikap, nilai-nilai, dan perasaan. Perubahan eksternal mudah dikenali. Urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi, kehidupan politik, dan pendidikan, semua itu gejala-gejala modernisasi. Namun, sekalipun lingkungan telah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi manusia modern. Baru kalau kita berhasil mengubah cara berpikir kita, mengubah perasaan kita, mengubah perilaku kita, maka kita bisa menyebut diri manusia modern.
Ciri-ciri manusia modern adalah kalau dia bersedia membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Maka jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan karena manusia modern tidak hanya membatasi wawasannya pada lingkungan dekatnya, tetapi ingin melebarkan wawasannya ke cakrawala lain.
Permasalahannya sekarang, bagaimana meningkatkan minat baca, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan-bahan bacaan sesuai kebutuhan masyarakat modern? Tentang buta aksara, kalau kita memang dianggap model untuk pemberantasan buta aksara, sistem yang ada tentunya akan kita teruskan. Kalau bisa, mempercepatnya. Kartini (1879-1904) sudah lebih dari seabad lalu berprakarsa mengajar membaca dan menulis kaumnya sekalipun dia sendiri hanya berpendidikan sekolah dasar. Sekarang masih ada 7 juta perempuan buta aksara. Fakta itu menyedihkan dan patut disesalkan. Kemungkinan mereka itu tinggal di desa-desa dan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Tentang kualitas dan kuantitas bahan bacaan, sebenarnya dua hal itu, dan minat baca, membentuk lingkaran setan. Minat baca bisa dibangkitkan oleh bahan bacaan yang bermutu dan/atau memikat. Kalau minat baca jumlahnya banyak, kuantitasnya menjadi banyak. Demikian seterusnya. Kualitas dan kuantitas buku yang mencukupi, dan harganya terjangkau, bisa menjauhkan masyarakat dari godaan-godaan hiburan lain yang tidak bermutu.
Bahwa masyarakat, dari anak-anak sampai orang tua, sering terpaku menonton televisi, boleh dikata sepanjang waktu luang mereka. Mungkin karena tidak ada hiburan lain, atau karena tidak ada keharusan bagi anak-anak untuk banyak membaca di rumah. Selain tidak ada keharusan bagi orang tua untuk memberikan teladan. Tentang keteladanan orang tua, Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, menyiasatinya dengan meminta kerja sama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.
Pengalaman itu disampaikan oleh perwakilan Malaysia ketika menghadiri seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) bertema Reading for all. Organisasi sosial GPMB berdiri Oktober 2001, diprakarsai antara lain oleh Perpustakaan Nasional RI dan Departemen Pendidikan Nasional. Dia berfungsi menjadi mitra kerja pemerintah pusat maupun daerah dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat. Namun, sekalipun sudah berdiri tujuh tahun, gaungnya tidak banyak kita dengar. Mungkin masyarakat juga tidak terlalu peduli kalau itu menyangkut minat baca.
Seminar Reading for all yang diselenggarakan dua tahun lalu, juga dihadiri wakil-wakil dari Jepang, Belanda, Australia, dan Singapura. Mereka sependapat bahwa meningkatkan minat baca bisa dilakukan dengan menumbuhkan kebiasaan membaca secara disiplin lewat jalur pendidikan formal. Pembicara dari Jepang, misalnya, mengatakan mereka sekarang memiliki prinsip; teman duduk terbaik adalah buku. Di mana-mana di tempat-tempat umum kita melihat mereka membaca. Kebiasaan itu terpelihara. Sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.
Tentang minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji lebih seabad lalu, Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan.
Ekspose para utusan luar negeri di seminar Reading for all itu menyemangati publik yang gemar membaca di Indonesia. Intinya mereka menegaskan, maju tidaknya minat baca masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kemajuan suatu masyarakat. Dan peningkatan minat baca yang paling efektif adalah yang melalui jalur pendidikan formal. Di Belanda, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan yang memenuhi kebutuhan mereka. Di Singapura, minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku. Di Australia, para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Sistem ini sekarang diberlakukan juga di sekolah-sekolah Indonesia yang berafiliasi dengan sekolah-sekolah Australia.
Untuk menunjang peningkatan minat baca, memang tidak akan cukup hanya dengan imbauan dan seruan. Banyak persoalan lebih gawat yang dihadapi masyarakat sehingga peningkatan minat baca dianggap bukan secara langsung menjadi tanggung jawab mereka. Karena itu kebijakan tersebut harus dijalin dalam sistem, khususnya dalam sistem pendidikan formal. Di luar itu, terbangunnya sistem dan fasilitas-fasilitas pendukung menjadi harapan banyak orang, termasuk pengadaan buku-buku bermutu yang harganya terjangkau dan jumlahnya mencukupi. Juga perpustakaan-perpustakaan yang jumlahnya memadai, untuk sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi maupun perpustakaan-perpustakaan umum. Misalnya, selain yang milik pemerintah, akan sangat ideal kalau tiap RT, atau paling tidak tiap RW, berprakarsa membangun perpustakaan atau balai bacaan bagi warganya. Sejumlah budayawan aktivis telah melakukannya.
Semoga nanti kita bisa membuktikan, apa manfaat menggulirkan tradisi membaca bagi pembangunan manusia modern Indonesia untuk masa depan. Buku-buku bacaan anak-anak yang memuat dongeng-dongeng dan kisah-kisah menantang atau misterius, misalnya, bisa mengembangkan imajinasi anak Indonesia tanpa mengenal batas. Bila imajinasi mereka cukup kuat, tidak mungkin mereka akan meninggalkannya tanpa mencoba meraihnya. Begitu pula lewat bacaan, kita dengan rela akan meninggalkan pandangan-pandangan sempit yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Berbagai buku yang padat informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman masyarakat dunia pada gilirannya nanti akan membuat kita ikut berpacu mengejar kemajuan yang juga dicoba diraih bangsa-bangsa lain.
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber Media Indonesia, 12 September 2008
Namun, angka tadi tidak seiring dengan hasil survei UNESCO yang menunjukkan minat baca kita sangat rendah. Dua tahun lalu kita yang paling rendah di kawasan Asia. Sementara itu International Educational Achievement mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Kesimpulan itu diambil dari penelitian atas 39 negara. Indonesia menempati urutan ke-38. Dua hal itu antara lain menyebabkan United Nations Development Program (UNDP) menempatkan kita pada urutan rendah dalam hal pembangunan sumber daya manusia.
Kenyataan-kenyataan tadi membuktikan, melek aksara tidak menjamin peningkatan kemampuan maupun minat membaca. Kita perlu prihatin. Tanpa minat baca, dari mana kita bisa memperoleh ide-ide segar dan baru? Dilihat dari jumlah penduduk kita dan jumlah harian yang beredar tiap hari, persentase bacaan koran amat sangat kecil. Seputar 1%? UNESCO menetapkan, sebaiknya 10%.
Editorial Media Indonesia hari Senin lalu khusus membahas soal ini. Antara lain disebutkannya, kemajuan media elektronik salah satu faktor yang ikut menghambat lajunya minat baca. Memang masyarakat kita sejak dulu jauh lebih mengandalkan budaya lisan daripada tulisan. Masyarakat kita lebih suka menonton wayang, misalnya. Bahwa jumlah buku dalam bahasa-bahasa daerah tidak berarti, membenarkan asumsi tadi. Maka kita tidak terlalu kaget ketika melihat masyarakat kita sekarang jauh lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi daripada membaca. Gejala ini sebenarnya ada di semua negara, bergantung pada kelompok masyarakatnya, tontonannya, dan jenis bahan bacaan yang ada.
Tekanan sosial seharusnya ada pengaruhnya. Misalnya, apakah minat dan kemampuan membaca merupakan persyaratan bagi klasifikasi sosial masyarakat? Di tingkat bawah, orang-orang kita yang buta aksara, atau yang kemampuan membacanya kurang, lebih sulit mencari pekerjaan yang memadai jika dibandingkan dengan mereka yang lebih terdidik. Ini seharusnya mendorong masyarakat untuk belajar membaca lebih baik.
Lain situasinya dengan masyarakat di negara-negara maju. Membaca kelihatannya sudah menjadi bagian dari hidup. Membaca juga memberi hiburan. Sistem dan fasilitas dibangun untuk mendukungnya. Begitu bertimbun bacaan-bacaan yang padat makna sejarah, makna ilmiah, atau padat nilai-nilai kemanusiaan, moral dan spiritual, maupun hiburan, sehingga masyarakat tinggal memilih sesuai selera. Membaca sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institut, Universitas Stanford, pernah mengatakan tujuan pokok pembangunan ekonomi adalah mengusahakan tercapainya taraf penghidupan yang layak bagi segenap rakyat. Namun, rasanya kita sepakat, kemajuan suatu bangsa tidak bisa hanya diukur dari GNP per kapita rakyatnya. Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik, seperti tecermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang didukung kemauan rakyat banyak. Juga mencakup pendidikan yang menyeluruh bagi rakyat, termasuk pengembangan seni budaya, sarana komunikasi, dan penyuburan segala bentuk rekreasi. Kesimpulannya, pembangunan mensyaratkan perubahan sikap dan perilaku manusia. Perlu transformasi. Sarana paling ampuh untuk transformasi adalah komunikasi. Bacaan termasuk di dalamnya.
Sejauh ini kita terkesan bingung menghadapi ide transformasi. Wajar karena transformasi menuntut perubahan cara berpikir. Secara berangsur kita harus meninggalkan cara berpikir yang sudah mengendap lama dalam budaya kita dan sudah kedaluwarsa. Sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun. Meninggalkannya seperti meninggalkan prinsip-prinsip kehidupan asli kita. Tarik ulur pertentangan mengenai hal ini masih terjadi sampai sekarang. Dalam hal modernisasi, kita masyarakat heterogen.
Menurut Inkeles, ciri-ciri manusia modern ada dua; yang eksternal dan yang internal. Yang pertama berkaitan dengan lingkungan. Yang kedua tentang sikap, nilai-nilai, dan perasaan. Perubahan eksternal mudah dikenali. Urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi, kehidupan politik, dan pendidikan, semua itu gejala-gejala modernisasi. Namun, sekalipun lingkungan telah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi manusia modern. Baru kalau kita berhasil mengubah cara berpikir kita, mengubah perasaan kita, mengubah perilaku kita, maka kita bisa menyebut diri manusia modern.
Ciri-ciri manusia modern adalah kalau dia bersedia membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Maka jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan karena manusia modern tidak hanya membatasi wawasannya pada lingkungan dekatnya, tetapi ingin melebarkan wawasannya ke cakrawala lain.
Permasalahannya sekarang, bagaimana meningkatkan minat baca, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan-bahan bacaan sesuai kebutuhan masyarakat modern? Tentang buta aksara, kalau kita memang dianggap model untuk pemberantasan buta aksara, sistem yang ada tentunya akan kita teruskan. Kalau bisa, mempercepatnya. Kartini (1879-1904) sudah lebih dari seabad lalu berprakarsa mengajar membaca dan menulis kaumnya sekalipun dia sendiri hanya berpendidikan sekolah dasar. Sekarang masih ada 7 juta perempuan buta aksara. Fakta itu menyedihkan dan patut disesalkan. Kemungkinan mereka itu tinggal di desa-desa dan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Tentang kualitas dan kuantitas bahan bacaan, sebenarnya dua hal itu, dan minat baca, membentuk lingkaran setan. Minat baca bisa dibangkitkan oleh bahan bacaan yang bermutu dan/atau memikat. Kalau minat baca jumlahnya banyak, kuantitasnya menjadi banyak. Demikian seterusnya. Kualitas dan kuantitas buku yang mencukupi, dan harganya terjangkau, bisa menjauhkan masyarakat dari godaan-godaan hiburan lain yang tidak bermutu.
Bahwa masyarakat, dari anak-anak sampai orang tua, sering terpaku menonton televisi, boleh dikata sepanjang waktu luang mereka. Mungkin karena tidak ada hiburan lain, atau karena tidak ada keharusan bagi anak-anak untuk banyak membaca di rumah. Selain tidak ada keharusan bagi orang tua untuk memberikan teladan. Tentang keteladanan orang tua, Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, menyiasatinya dengan meminta kerja sama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.
Pengalaman itu disampaikan oleh perwakilan Malaysia ketika menghadiri seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) bertema Reading for all. Organisasi sosial GPMB berdiri Oktober 2001, diprakarsai antara lain oleh Perpustakaan Nasional RI dan Departemen Pendidikan Nasional. Dia berfungsi menjadi mitra kerja pemerintah pusat maupun daerah dalam usaha meningkatkan minat baca masyarakat. Namun, sekalipun sudah berdiri tujuh tahun, gaungnya tidak banyak kita dengar. Mungkin masyarakat juga tidak terlalu peduli kalau itu menyangkut minat baca.
Seminar Reading for all yang diselenggarakan dua tahun lalu, juga dihadiri wakil-wakil dari Jepang, Belanda, Australia, dan Singapura. Mereka sependapat bahwa meningkatkan minat baca bisa dilakukan dengan menumbuhkan kebiasaan membaca secara disiplin lewat jalur pendidikan formal. Pembicara dari Jepang, misalnya, mengatakan mereka sekarang memiliki prinsip; teman duduk terbaik adalah buku. Di mana-mana di tempat-tempat umum kita melihat mereka membaca. Kebiasaan itu terpelihara. Sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.
Tentang minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji lebih seabad lalu, Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan.
Ekspose para utusan luar negeri di seminar Reading for all itu menyemangati publik yang gemar membaca di Indonesia. Intinya mereka menegaskan, maju tidaknya minat baca masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kemajuan suatu masyarakat. Dan peningkatan minat baca yang paling efektif adalah yang melalui jalur pendidikan formal. Di Belanda, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan yang memenuhi kebutuhan mereka. Di Singapura, minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku. Di Australia, para siswa dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Sistem ini sekarang diberlakukan juga di sekolah-sekolah Indonesia yang berafiliasi dengan sekolah-sekolah Australia.
Untuk menunjang peningkatan minat baca, memang tidak akan cukup hanya dengan imbauan dan seruan. Banyak persoalan lebih gawat yang dihadapi masyarakat sehingga peningkatan minat baca dianggap bukan secara langsung menjadi tanggung jawab mereka. Karena itu kebijakan tersebut harus dijalin dalam sistem, khususnya dalam sistem pendidikan formal. Di luar itu, terbangunnya sistem dan fasilitas-fasilitas pendukung menjadi harapan banyak orang, termasuk pengadaan buku-buku bermutu yang harganya terjangkau dan jumlahnya mencukupi. Juga perpustakaan-perpustakaan yang jumlahnya memadai, untuk sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi maupun perpustakaan-perpustakaan umum. Misalnya, selain yang milik pemerintah, akan sangat ideal kalau tiap RT, atau paling tidak tiap RW, berprakarsa membangun perpustakaan atau balai bacaan bagi warganya. Sejumlah budayawan aktivis telah melakukannya.
Semoga nanti kita bisa membuktikan, apa manfaat menggulirkan tradisi membaca bagi pembangunan manusia modern Indonesia untuk masa depan. Buku-buku bacaan anak-anak yang memuat dongeng-dongeng dan kisah-kisah menantang atau misterius, misalnya, bisa mengembangkan imajinasi anak Indonesia tanpa mengenal batas. Bila imajinasi mereka cukup kuat, tidak mungkin mereka akan meninggalkannya tanpa mencoba meraihnya. Begitu pula lewat bacaan, kita dengan rela akan meninggalkan pandangan-pandangan sempit yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Berbagai buku yang padat informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan serta pengalaman masyarakat dunia pada gilirannya nanti akan membuat kita ikut berpacu mengejar kemajuan yang juga dicoba diraih bangsa-bangsa lain.
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Sumber Media Indonesia, 12 September 2008