Pages - Menu

22 Desember 2008

Buku-Buku Novel yang Bergerak

Pekan pertama bulan Desember ini, setidaknya ditemukan dua buku yang tengah bergerak indah dengan bentuk interpretasi yang unik. Buku dipahami sebagai media informasi melalui tulisan, sementara bergerak berarti suatu keadaan dinamis, fleksible, dan tidak rigid. Pada saat buku sastra menjadi sebuah audio-visual akibat sentuhan sineas, di situlah buku-buku mulai bergerak terlepas diri dari kejumudan kata.

Kedua buku tersebut adalah Twiligt karya Stephenie Meyer dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sukses besar yang sudah terengkuh dalam penjualan berimbas pada media lain di mana buku-buku novel menjadi bergerak. Tabloid Nyata memberitakan bahwa kesuksesan Twilight berwujud pemecahan rekor pemasukan bioskop pada pemutaran perdana (Jumat, 21/11), yakni USD 70,6 juta atau Rp 858 miliar, mengalahkan Quantum of Solace-nya James Bond (USD 27,4 juta). Sebuah nilai fantastis mengingat krisis yang tengah dihadapi Amerika saat ini dan biaya produksi film Twilight yang ''hanya'' USD 37 juta.

Respon positif juga dirasakan novel bergerak asli buatan anak Belitong, Laskar Pelangi. Konon, film ini telah ditonton lebih dari 4,3 juta penduduk Indonesia (Jawa Pos, 2/12). Tentu saja angka itu belum termasuk penonton di layar tancap di Belitong yang mencapai 300 ribuan. Meski data pemasukan uang bukan standar kesuksesan film di Indonesia, melihat geliat apresiasi film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama ini seakan melecut sebuah gebrakan ''baru'' supaya lebih berkonsentrasi pada mewujudkan novel bermutu anak bangsa menjadi bergerak.

Sebuah Kontroversi

Membaca sebuah perjalanan buku-buku novel yang bergerak, ternyata kita mendapati sebuah kenyataan bahwa, menurut sutradara film Garin Nugroho, 85 persen film pemenang Oscar, 45 persen film cerita dan 83 persen miniseri televisi merupakan adaptasi dari novel. Begitu banyak bertebaran proyek menghidupkan novel dalam ruang gerak yang berbeda.

Pangsa luar negeri setidaknya terwakili oleh The Davinci Code-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Gone With the Wind-nya Margaret Mitchell, Lord of the Ring-nya J.R.R. Tolkien. Untuk buku bergerak yang terakhir, film yang mengadopsi novel laris dengan nama yang sama pernah mengantongi 9 piala Oscar dari 11 nominasi yang diperebutkan. Sedangkan di Indonesia, kita pernah memilki Siti Nurbaya karya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati, Di Bawah Lindungan Ka'bah-nya Buya Hamka, dan yang masih hangat terekam, Cintapuccino-nya Icha Rahmanti, Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Syirazi, dan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.

Baik yang di luar negeri maupun di dalam negeri, buku-buku novel yang bergerak ternyata mampu menjadi blue print dalam menggarap film bermutu. Kendati demikian, kontroversi sering mengemuka sebagai buah dari kekecewaan. Kekecewaan rawan terjadi saat pemahaman terhadap sebuah karya tidak dipahami secara arif. Misalnya, mengenai perbedaan antara novel yang terbatasi space dengan novel bergerak hasil pemahaman sineas.

Salah satunya, kekecewaan penonton film AAC-nya Kang Abik -panggilan Habiburrahman El-Syirazi. Beragam kekecewaan ditumpahkan mengimbangi berbagai lapisan masyarakat yang memujinya. Plot, karakter, keindahan estetika setting cerita, termasuk yang sering diperselisihkan. Bahkan Ayu Utami pernah mengkritik esensi muatan cerita yang menganggap bahwa penulis tidak memiliki keberanian dalam meneruskan polemik poligami di mana sosok Maria, salah satu tokoh, dibunuh dalam akhir cerita.

Kekecewaan dimungkinkan timbul pula dari pengarang novel. Habiburrahman mengaku kurang puas atas terwujudnya film AAC yang disutradarai Hanung Bramantyo itu. Ahmad Tohari juga pernah mengutarakan kekecewaanya atas film Ronggeng Dukuh Paruk. Hal sama juga pernah dirasakan Achdiat K Mihardja dan Y.B. Mangunwijaya saat Atheis (1975) dan Roro Mendut (1984) memasuki layar lebar. Alasan utamanya: ternyata kemauan sang penulis sebagai ''tuhan dari cerita'', tidak ditaati.

Menimbang persoalan tersebut, dibutuhkan pemahaman yang lebih arif termasuk mau mengakui bahwa antara novel dan film --sebagai novel yang bergerak-- merupakan sebuah karya yang berbeda. Buku novel yang bergerak merupakan sebuah interpretasi sineas sebagai hasil kontemplasinya memahami sebuah karya. Dalam buku Film Scripwriting a Practical Manual (Swain, 1990) tertera tiga cara mengadaptasi karya sastra ke film. Yaitu mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting dan membuat cerita baru. Kebanyakan para sineas mengeksplorasi diri dengan memilih opsi yang ketiga, karena di situlah kreasi dan kreativitas sineas membuncah dan tersalurkan meski masih dalam koridor muatan cerita utama dalam novel.

Akan banyak lagi karya-karya penulis novel yang mulai menggeliat, bergerak dalam ruangan yang benar-benar berbeda. New Moon dan Eclipse karya Sthepenie Meyer akan menyusul Twilight. Kemudian tiga karya Andrea Hirata yang lain --Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov-- sangat mungkin mengikuti jejak sukses Laskar Pelangi. Termasuk karya Habiburrahman El-Shirazi yang saat ini mengawal jalannya proses produksi Ketika Cinta Bertasbih. (*)


Mohammad Ikhwanuddin, pustakawan di Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber Jawa Pos, 21 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar