RAKYAT Indonesia mesti bangga memiliki presiden yang gemar menulis. Dibanding pendahulunya --kecuali Presiden Soekarno-- Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbilang enerjik dan piawai mengomunikasikan alur pemikirannya dalam konteks kepemimpinan berbangsa-bernegara melalui buku.
Dengan cara ini, SBY telah mengabadikan pergulatannya dalam segugus momentum penting yang dia alami, sekaligus membangun ruang dialog (imajiner) di wilayah publik, sehingga rakyat bisa menyulam penilaian yang sistemik terhadap kapasitas dan konsistensinya selaku orang nomor wahid di negeri ini.
Buku Indonesia Unggul terbit di aras itu. Namun buku ini tidak disusun berdasar atas sebuah tema keindonesiaan yang utuh dan dikupas secara komprehensif, akan tetapi sekadar dokumentasi pidato SBY yang disampaikan dalam beragam kesempatan pada medium 2005-2006, baik yang terjadi di dalam negeri maupun di dunia internasional. Hanya saja, pada bagian akhir disisipi wawancara SBY dengan beberapa media internasional semisal Time Asia, The International Herald Tribune, Newsweek International, The Wall Street Journal, dan penilaian (positif) Yenny Wahid terhadap sosok SBY.
Karena berbentuk dokumentasi pidato, maka yang terasa bukan membaca sebuah tulisan, melainkan seolah-olah tengah mendengarkan orasi SBY di depan mik. Dengan begini, ulasan-ulasan yang diketengahkan memang global dan lebih mengandung nuansa reflektif, sehingga gampang dicerna oleh khalayak biasa.
Justru karena itulah, tak ada pembahasan detail dan analisis kritis sebagaimana lazim dijumpai bila membaca sebuah tulisan --dalam bentuk makalah atau opini. Hatta, bisa jadi bagi kalangan akademisi kontribusi konkret buku ini terasa sunyi, kecuali sebatas informasi.
Mengabaikan faktor tersebut, yang pasti buku bunga rampai pidato SBY ini layak diapresiasi. Di sini dirangkumkan bagaimana perspektif SBY mengenai pembangunan bangsa, demokrasi, dan reformasi; renungannya tentang Islam; resolusi konflik; strategi penguatan ekonomi, pembangunan, dan tujuan pembangunan millenium (MDGs); reposisi dan reorientasi hubungan Indonesia dalam kancah dunia internasional; dan refleksi pribadi terkait posisinya saat ini.
Terkait dengan konsepsi budaya unggul (hlm. 3-12), yang menginspirasi penjudulan buku ini, SBY menjelentrehkan torehan prestasi, di antaranya, dalam upaya pemberantasan korupsi menuju terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Bukti keseriusan kebijakan ini adalah ketika SBY ''cuci tangan'' dalam pengusutan dugaan korupsi terhadap besannya, Aulia Pohan. Walhasil, disinyalir biaya korupsi di Indonesia per total produksi menurun dari 10 persen ke 6 persen.
SBY mengakui bahwa pencapaian budaya unggul tidak terlepas dari tegaknya demokrasi, reformasi, berikut resolusi konflik yang merebak di awal-awal pemerintahannya sekaligus merupakan pengembangan dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal ini diyakini sepenuhnya, serangkaian konflik itu merupakan bagian tak terelakkan dari transisi demokrasi yang berembus sejak medio 1998. Pelan namun pasti, konflik-konflik itu menemukan solusi. Salah satu capaian prestisius adalah ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia terkait dengan penyelesaian sengketa Aceh yang berkepanjangan (hlm. 108-116).
Di sisi lain, tantangan transisi demokrasi adalah perlunya transformasi yang menyeluruh dengan berkaca pada pengalaman berbagai negara. Dalam konteks ini, SBY mengurai 9 poin penting, di antaranya adalah didorong oleh pemimpin yang merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik, memberi energi positif pada aspek keberhidupan bangsa, serta transparan dalam tata kelola pemerintahan (hlm. 50-60).
Hal yang cukup heroik di buku ini yaitu seruan lantang SBY pada Sidang Pleno Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB pada 14 September 2005. SBY berani menuding PBB bersikap tidak netral dengan serangkaian kebijakan yang ambigu. PBB memberi beban yang cukup berat kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ketimbang negara-negara maju dalam berpartisipasi di ranah global terutama terhadap penanganan isu-isu multilateral.
SBY juga menyerukan perlunya reformasi Dewan Keamanan PBB dengan menekankan pada kriteria yang jelas dan objektif bagi anggota-anggota baru. Usulan pembentukan Dewan Hak-Hak Asasi Manusia secara terbuka, transparan, dan inklusif di bawah naungan Majelis Umum pun digulirkan demi terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi secara global (hlm. 181-191).
Melalui buku ini sesungguhnya rakyat Indonesia sedang diajak terlibat dalam sebuah proses panjang menuju Indonesia unggul. Letupan pemikiran SBY dalam gugusan pidatonya bisa menjadi bahan renungan dan kajian yang dinamis. Namun kesan bahwa lewat buku ini SBY mencitrakan diri sebagai pemimpin yang telah banyak melakukan perubahan dan membawa gerbong negara Indonesia menuju stasiun kemapanan serta merta tak terbantahkan.
Apalagi penyertaan foto-foto eksklusif nan monumental SBY dalam sejumlah kesempatan, baik di pelbagai wilayah Indonesia maupun ketika lawatan ke luar negeri, kian meneguhkan kesan itu. Sayangnya, foto-foto itu tak dibubuhi keterangan seputar kapan dan di mana diambil, sehingga bisa merentangkan jarak psikologis dan menyumbat proses dialog imajiner ketika melihatnya.
Andai saja, buku ini sekaligus memuat narasi penyeimbang dari sejumlah tokoh yang memberi komentar objektif (plus-minus) terhadap pemikiran kenegarawanan SBY, tentu akan terbangun dialektika yang dinamis. Sebab, tanpa narasi penyeimbang, buku ini terkesan jadi semacam media kampanye terselubung menjelang digelarnya pesta Pemilu 2009, dan pencitraan diri seorang pemimpin yang narsistis (baca: ngujo roso). (*)
*) Saiful Amin Ghofur, Redaktur Jurnal Studi Agama MILLAH MSI-UII Jogjakarta
Judul Buku: Indonesia Unggul
Penulis: Dr Susilo Bambang Yudhoyono
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cetakan: I, Desember 2008
Tebal: xii + 335 halaman
Sumber Jawa Pos, 28 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar