Oleh : Romi Febriyanto Saputro, S.IP *
Artikel ini telah dimuat di Harian Solo Pos, 4 Juni 2013
Mulai 3
Juni 2013 kemarin, Pemkab Sragen memberlakukan
uji coba 5 hari kerja. Keputusan ini telah dituangkan dalam Surat Edaran (SE)
Nomor 700/103/08/2013 yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah kabupaten
Sragen, Drs. Tatag Prabawanto B, MM tertanggal 27 Mei 2013. Di dalam SE
disebutkan uji coba ini akan diberlakukan mulai tanggal 3 Juni 2013 hingga 2
Juni 2014 tahun depan.
Program lima hari kerja ini bertujuan untuk menghemat pengeluaran
biaya operasional kantor seperti listrik, telepon, dan air. Selain itu, juga
untuk menyesuaikan diri dengan hari kerja yang ada di pemerintah pusat maupun
provinsi. Bagi unit kerja
yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, kepala SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah) mengatur pelaksanakan tugas
jaga bergilir pada hari Sabtu.
Sebagai sebuah program baru, lima hari
kerja perlu dikawal semua pihak agar bisa berjalan dengan baik. Waktu kerja yang bertambah lama sangat potensial
untuk menghadirkan masalah baru. Saat masih berlaku enam hari kerja saja dengan
waktu kerja berakhir pada pukul 14.30 WIB, cukup banyak PNS yang menjadi
pengangguran terselubung. Apalagi dengan alokasi waktu kerja yang bertambah
sampai pukul 16.00 WIB. Tentu waktu
menganggur akan semakin bertambah lama.
Untuk mengatasi masalah ini, pertama, kepala SKPD perlu menerapkan
pola kerja terpadu. Dalam arti mampu melakukan koordinasi dan sinkronisasi kerja yang baik antara
bidang satu dengan bidang lainnya. Meninggalkan ego sektoral dalam bekerja
mengabdi kepada negeri ini. Bidang yang sepi dari pekerjaan membantu bidang
yang mengalami beban kerja yang berlebihan. Satu SKPD ibarat satu tubuh, semua
organ memiliki peran yang sama penting untuk melayani masyarakat.
Kelemahan yang ada saat ini banyak PNS
cenderung mengerjakan tugas dan fungsi yang teranggarkan dalam APBD saja.
Padahal cukup banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan tanpa harus menuntut
anggaran dari APBD. Pekerjaan yang diprioritaskan adalah pekerjaan-pekerjaan
yang ada honornya. Mungkin mereka lupa bahwa setiap bulan mereka sudah menerima
gaji yang bersumber dari uang rakyat.
Sungguh ironis ! Masih ada saja PNS yang
sudah resmi digaji oleh negara tetapi masih berjiwa “honorer”. Senantiasa
mengaitkan kemauan untuk kerja dengan honor yang akan diterima. Padahal
kemampuan APBD sangat terbatas untuk mewujudkan hal ini. Alokasi belanja pegawai saat ini sudah
mencapai angka 67 % dari total APBD. Dengan kata lain program pembangunan untuk
menyejahterakan rakyat hanya tersisa 33 % saja.
Kedua,
memperbanyak tugas kreatif daripada tugas terkandung. Dalam banyak kesempatan
Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, SH.MH telah banyak menghimbau PNS agar
tidak terjebak tugas rutin belaka. Melainkan banyak melahirkan tugas yang
bersifat inisiatif, kreatif, dan inovatif.
Garda terdepan untuk memperbanyak tugas
kreatif adalah kepala SKPD. Kepala SKPD harus mampu melahirkan “lowongan tugas
kreatif” untuk para pejabat dan PNS fungsional umum sehingga dapat bekerja
penuh waktu dari pagi sampai sore. Bukan paruh waktu sebagaimana yang
dikeluhkan oleh masyarakat saat ini. Tugas rutin pun saat ini tentu masih ada
yang belum optimal untuk dilaksanakan. Seperti pengelolaan arsip-arsip negara
yang saat ini masih belum optimal.
Ketiga,
menyusun rencana kerja harian. Rencana
kerja harian sebenarnya merupakan tugas rutin dan melekat setiap PNS. Namun,
jarang sekali diaplikasikan dalam kehidupan kerja sehari-hari. Para PNS bekerja
setiap hari seolah tanpa pola kerja yang jelas. Tujuan, target, sasaran, dan
indikator kerja belum menjadi kenyataan
dan kebiasaan sehari-hari. Bahkan ada
yang sama sekali tidak tahu apa harus dikerjakan !
Rencana kerja harian untuk staf
(fungsional umum) tentu disusun oleh pejabat eselon IV yang bertindak sebagai
atasan langsung. Rencana kerja untuk pejabat eselon IV tentu dibuat oleh
pejabat eselon III. Demikian seterusnya, sesuai dengan hierarki organisasi.
Rencana kerja ini dibuat dalam rangka memberikan jaminan agar setiap PNS dapat
bekerja optimal sesuai dengan jam kerja yang sudah ditentukan dalam lima hari
kerja.
Keempat,
melaksanakan pendampingan, bimbingan, pembinaan, dan pengawasan kerja secara
melekat kepada bawahan. Dalam dunia militer dikenal istilah, tak ada prajurit
yang bersalah. Yang salah adalah komandannya. Ungkapan ini menunjukkan betapa
besar tanggungjawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin
harus bisa memberi warna pada
orang-orang yang dipimpinnya.
Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa
seorang pemimpin ketika di barisan depan harus bisa memberikan contoh (ing
ngarso sung tulodho), di barisan tengah membangun semangat, (ing madyo mangun karso) dan di barisan
belakang memberikan dorongan (tut wuri
handayani). Pola kepemimpinan semacam inilah yang diperlukan oleh
birokrasi. Kepemimpinan yang mampu menggerakkan seluruh sumber daya yang ada,
tak terkecuali sumber daya manusia.
Kepemimpinan yang mampu memberikan
energi kerja kepada seluruh bawahan. Sehingga tak ada PNS yang merasa tak
memiliki pekerjaan. Tidak ada PNS yang cepat merasa bosan melaksanakan tugas
negara sehingga mencari pekerjaan sendiri yang tak ada kaitannya dengan tugas
negara.
Dalam kacamata good governance atau kepemerintahan yang baik, program lima hari
kerja dituntut untuk memenuhi dua hal. Pertama, mampu meningkatkan
profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan efektifitas PNS
dalam melaksanakan tugas selaku unsur utama dalam mesin birokrasi. Kedua, mampu
meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat. Indikator hal ini adalah
masyarakat merasa lebih puas dengan pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah.
Jika hal ini terpenuhi, maka akan
memupus anggapan bahwa lima hari kerja hanya menguntungkan PNS saja. Namun jika sebaliknya, uji coba lima hari kerja akan bernasib sama
dengan Kabupaten Banyumas yang menghentikan program ini karena gagal memuaskan
masyarakat!
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian, dan Pengembangan di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar