Oleh Riza Multazam Luthfy
Judul: Remember Dhaka
Penulis: Dy Lunaly
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp. 37.000,-
Penulis: Dy Lunaly
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp. 37.000,-
Novel
ini mengajak kita untuk senantiasa berintropeksi diri, mengisi waktu
dengan hal-hal berguna, serta menggali makna kehidupan dengan bijak.
Ialah
Arjuna Indra Alamsjah, remaja tanggung yang begitu manja karena
kebesaran orang tuanya. Lulusan SMA yang punya hobi party dan
menghabiskan puluhan juta rupiah dalam waktu semalam.
Dalam
pikirannya, dengan kekayaan yang dipunyai sang ayah, ia bisa membeli
segalanya, termasuk kampus mana yang akan bersedia menampungnya. Akan
tetapi, kakaknya, Dewi Agni, mengingatkan bahwa hidup ini tidak semudah
membalik telapak tangan, sehingga uang cukup lemah untuk diandalkan. Ia
menegur sikap adiknya, sebab gemar membanggakan kekayaan dan kepopuleran
ayahnya yang selalu terdaftar dalam short list lima besar konglomerat
di Indonesia serta memiliki jaringan bisnis di berbagai negara.
Guna
merubah perilaku saudaranya tercinta, Agni merencanakan ‘program
khusus’. Untuk melancarkannya, ia meminta persetujuan dan dukungan penuh
kedua orang tua. Sesuai harapan, papa dan mamanya memberinya lampu
hijau, bahkan akan turut serta membantu jika dibutuhkan. Akhirnya ia pun
memberi tahu bahwa adiknya telah didaftarkan dalam volunteer trip,
suatu program di Dhaka, Bangladesh, yang membuka peluang bagi siapa saja
untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam pendidikan anak-anak.
Arjuna merasa bahwa itu adalah rencana konyol yang pernah digagas oleh
sang kakak. Mengingat, selama ini ia hanya memikirkan diri sendiri,
sehingga mengurus orang lain menjadi urusan ke sekian dalam hidupnya. Ia
pun terang-terangan menolak ide kakaknya dengan mengatakan kalau
dirinya tidak sanggup.
Dengan gigih, Agni melanting motivasi bahwa
adiknya bisa melakukannya, “I know you can. Selain itu, coba berpikir,
itu cuma sebulan, 30 hari. Setelah itu kamu bisa kembali ke kehidupan
yang kamu kenal. Anggaplah ini tantangan dari Papa buat membuktikan
bahwa kamu udah dewasa.” (halaman 16)
Terpaksa, berangkatlah
Arjuna ke sebuah tempat yang sebelumnya tidak pernah menjadi target
rekreasinya. Maklum, bersama teman-temannya, ia lebih suka menghamburkan
waktu dan uang ke negara-negara lainnya, dengan hanya satu tujuan:
bersenang-senang.
Setiba di Dhaka, ia disambut oleh Emma, seorang
gadis dari Swedia. Ialah yang berperan selaku advisor bagi Arjuna. Tidak
seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata advisor-nya berusia lebih
muda darinya.
Terbiasa hidup mewah dengan fasilitas serba cukup,
di Dhaka ia merasa seperti di neraka. Mulanya, ia tidak begitu betah
tinggal di sana. Apalagi, beragam kesulitan sudah ditemuinya sejak kali
pertama ia mendarat. Mulai dari kewajiban yang mengharuskannya bangun
tepat jam lima pagi, tempat perbelanjaan yang tutup jam tujuh malam,
hingga pembatasan air yang tentu menurutnya amat menyiksa.
Susah.
Itulah kata yang tepat untuk mewakili kesan di hari perdana ia mengajar
anak-anak di Dhaka. Mereka ribut, berlarian ke sana kemari dan sama
sekali tidak memperhatikan Arjuna. Meskipun awalnya agak kesal, namun
lambat laun, dari hari ke hari, ia mulai enjoy dengan kegiatan tersebut,
setelah beberapa teman sesama volunteer memberikan masukan. Bahkan, ia
menilai anak-anak didiknya sangat luar biasa dengan berkata, “anak-anak
ini besar dalam kemiskinan, keterbatasan yang aku sendiri tidak bisa
membayangkan, tapi kenapa mereka masih bisa tersenyum bahagia? Sedangkan
aku, sedikit saja keinginanku tidak berhasil aku dapatkan bisa marah
dan berteriak kesal pada hidupku?!” (halaman 79)
Arjuna semakin
enjoy karena Emma dengan senang hati kerap mengajaknya berjalan-jalan ke
berbagai tempat yang baginya menyimpan keindahan tiada tara. Dalam
mindanya, Dhaka tidak seperti apa yang dibayangkan. Loka-loka tertentu
di Dhaka menyajikan memori yang manis jika berhasil diabadikan, semisal
Sungai Tongi, yang menyewakan kapal-kapal bagi para pengunjung yang
ingin menyusurinya.
Perasaan Arjuna tercubit, ketika mengajar di
kelas Emma, ia mengetahui bahwa siswa bernama Arya sudah tiga hari
berturut-turut tidak masuk tanpa kabar. Ia bermaksud mencari tahu alasan
mengapa anak itu meninggalkan pelajaran, padahal dibanding yang lain,
Arya termasuk penurut dan terlihat tidak punya masalah.
Tepat,
jika keputusan Arjuna adalah mengunjungi rumah Arya. Dari sanalah ia
memahami kenapa Arya tidak masuk kelas. Rupanya anak kecil itu sedang
menunggu adiknya yang terbaring lemah karena sakit. Adapun ibu dan
ayahnya tengah bekerja dan baru kembali bila malam sudah menampakkan
batang hidungnya. Ketika ditanya, Arya mengaku ibunya ikut banting
tulang setelah mengetahui tempat kerja ayahnya didera masalah. Karena
kondisi keuangan yang memprihatinkan itu pula, adiknya belum sempat
dirujuk ke rumah sakit.
Beberapa hari usai mengunjungi Arya,
Arjuna bertekad meringankan beban anak didik Emma tersebut dengan cara
mendermakan sejumlah uang. Namun, langkah ini justru ditentang oleh Emma
dengan sengit, “mungkin buat kamu, uang bisa menyelesaikan masalah.
Tapi, di dunia nyata, uang tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.”
(137)
Bukan hanya Emma. Thomas rupanya juga kurang sependapat
dengan Arjuna. Dengan bahasa meyakinkan, Thomas memberi pengertian bahwa
uang hanyalah solusi sementara. Jadi, harus ada problem solving atas
sebab-sebab yang bersifat lebih mendasar.
Beberapa hari mengurung
diri di kamar, Arjuna merampungkan proposal pengajuan dana kesehatan ke
induk organisasi volunteer trip. Bukan cuma bagi keluarga Arya,
melainkan semua orang kurang beruntung di Dhaka. Ide brilian tersebut ia
unduh dari Thomas usai melalui debat panjang.
Gayung bersambut.
Proposal Arjuna diterima dan dinyatakan lolos. Seluruh temannya
ramai-ramai mengucapkan selamat, karena Arjuna dianggap telah
menghibahkan kontribusi berarti bagi kehidupan orang-orang Dhaka. Arjuna
begitu puas dan terharu. Di luar dugaan, ternyata ia mampu memberikan
manfaat kepada orang lain.
Saat kian akrab dengan berbagai program
kemanusiaan, Arjuna harus angkat kaki dari tanah Dhaka. Genap 30 hari
ia tinggal di sana. Genap 30 hari pula ia berjuang, demi perubahan hidup
dirinya juga manusia lainnya. Akhirnya, dengan berat hati ia
meninggalkan Dhaka dan bertolak ke Indonesia. Berbekal pengalaman pendek
selama sebulan tersebut, Arjuna menjadi mengerti tentang apa arti
kehidupan sebenarnya.
Yogyakarta, 2013
Riza Multazam Luthfy
Karya-karyanya bertebaran di Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Basis, Sabili, Annida, Okezone.com, dan Kompas.com. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta.
Karya-karyanya bertebaran di Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Basis, Sabili, Annida, Okezone.com, dan Kompas.com. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta.
Sumber : Kompas, 28 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar