Pages - Menu

29 Mei 2013

Belajar Hidup di Dhaka

Oleh Riza Multazam Luthfy
Judul: Remember Dhaka
Penulis: Dy Lunaly
Terbit: Januari 2013
Penerbit: Bentang Belia
Tebal: 212 halaman
Harga: Rp. 37.000,-

Novel ini mengajak kita untuk senantiasa berintropeksi diri, mengisi waktu dengan hal-hal berguna, serta menggali makna kehidupan dengan bijak.


Ialah Arjuna Indra Alamsjah, remaja tanggung yang begitu manja karena kebesaran orang tuanya. Lulusan SMA yang punya hobi party dan menghabiskan puluhan juta rupiah dalam waktu semalam.
Dalam pikirannya, dengan kekayaan yang dipunyai sang ayah, ia bisa membeli segalanya, termasuk kampus mana yang akan bersedia menampungnya. Akan tetapi, kakaknya, Dewi Agni, mengingatkan bahwa hidup ini tidak semudah membalik telapak tangan, sehingga uang cukup lemah untuk diandalkan. Ia menegur sikap adiknya, sebab gemar membanggakan kekayaan dan kepopuleran ayahnya yang selalu terdaftar dalam short list lima besar konglomerat di Indonesia serta memiliki jaringan bisnis di berbagai negara.

Guna merubah perilaku saudaranya tercinta, Agni merencanakan ‘program khusus’. Untuk melancarkannya, ia meminta persetujuan dan dukungan penuh kedua orang tua. Sesuai harapan, papa dan mamanya memberinya lampu hijau, bahkan akan turut serta membantu jika dibutuhkan. Akhirnya ia pun memberi tahu bahwa adiknya telah didaftarkan dalam volunteer trip, suatu program di Dhaka, Bangladesh, yang membuka peluang bagi siapa saja untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam pendidikan anak-anak. Arjuna merasa bahwa itu adalah rencana konyol yang pernah digagas oleh sang kakak. Mengingat, selama ini ia hanya memikirkan diri sendiri, sehingga mengurus orang lain menjadi urusan ke sekian dalam hidupnya. Ia pun terang-terangan menolak ide kakaknya dengan mengatakan kalau dirinya tidak sanggup.

Dengan gigih, Agni melanting motivasi bahwa adiknya bisa melakukannya, “I know you can. Selain itu, coba berpikir, itu cuma sebulan, 30 hari. Setelah itu kamu bisa kembali ke kehidupan yang kamu kenal. Anggaplah ini tantangan dari Papa buat membuktikan bahwa kamu udah dewasa.” (halaman 16)

Terpaksa, berangkatlah Arjuna ke sebuah tempat yang sebelumnya tidak pernah menjadi target rekreasinya. Maklum, bersama teman-temannya, ia lebih suka menghamburkan waktu dan uang ke negara-negara lainnya, dengan hanya satu tujuan: bersenang-senang.

Setiba di Dhaka, ia disambut oleh Emma, seorang gadis dari Swedia. Ialah yang berperan selaku advisor bagi Arjuna. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, ternyata advisor-nya berusia lebih muda darinya.

Terbiasa hidup mewah dengan fasilitas serba cukup, di Dhaka ia merasa seperti di neraka. Mulanya, ia tidak begitu betah tinggal di sana. Apalagi, beragam kesulitan sudah ditemuinya sejak kali pertama ia mendarat. Mulai dari kewajiban yang mengharuskannya bangun tepat jam lima pagi, tempat perbelanjaan yang tutup jam tujuh malam, hingga pembatasan air yang tentu menurutnya amat menyiksa.

Susah. Itulah kata yang tepat untuk mewakili kesan di hari perdana ia mengajar anak-anak di Dhaka. Mereka ribut, berlarian ke sana kemari dan sama sekali tidak memperhatikan Arjuna. Meskipun awalnya agak kesal, namun lambat laun, dari hari ke hari, ia mulai enjoy dengan kegiatan tersebut, setelah beberapa teman sesama volunteer memberikan masukan. Bahkan, ia menilai anak-anak didiknya sangat luar biasa dengan berkata, “anak-anak ini besar dalam kemiskinan, keterbatasan yang aku sendiri tidak bisa membayangkan, tapi kenapa mereka masih bisa tersenyum bahagia? Sedangkan aku, sedikit saja keinginanku tidak berhasil aku dapatkan bisa marah dan berteriak kesal pada hidupku?!” (halaman 79)

Arjuna semakin enjoy karena Emma dengan senang hati kerap mengajaknya berjalan-jalan ke berbagai tempat yang baginya menyimpan keindahan tiada tara. Dalam mindanya, Dhaka tidak seperti apa yang dibayangkan. Loka-loka tertentu di Dhaka menyajikan memori yang manis jika berhasil diabadikan, semisal Sungai Tongi, yang menyewakan kapal-kapal bagi para pengunjung yang ingin menyusurinya.

Perasaan Arjuna tercubit, ketika mengajar di kelas Emma, ia mengetahui bahwa siswa bernama Arya sudah tiga hari berturut-turut tidak masuk tanpa kabar. Ia bermaksud mencari tahu alasan mengapa anak itu meninggalkan pelajaran, padahal dibanding yang lain, Arya termasuk penurut dan terlihat tidak punya masalah.

Tepat, jika keputusan Arjuna adalah mengunjungi rumah Arya. Dari sanalah ia memahami kenapa Arya tidak masuk kelas. Rupanya anak kecil itu sedang menunggu adiknya yang terbaring lemah karena sakit. Adapun ibu dan ayahnya tengah bekerja dan baru kembali bila malam sudah menampakkan batang hidungnya. Ketika ditanya, Arya mengaku ibunya ikut banting tulang setelah mengetahui tempat kerja ayahnya didera masalah. Karena kondisi keuangan yang memprihatinkan itu pula, adiknya belum sempat dirujuk ke rumah sakit.

Beberapa hari usai mengunjungi Arya, Arjuna bertekad meringankan beban anak didik Emma tersebut dengan cara mendermakan sejumlah uang. Namun, langkah ini justru ditentang oleh Emma dengan sengit, “mungkin buat kamu, uang bisa menyelesaikan masalah. Tapi, di dunia nyata, uang tidak pernah bisa menyelesaikan masalah.” (137)

Bukan hanya Emma. Thomas rupanya juga kurang sependapat dengan Arjuna. Dengan bahasa meyakinkan, Thomas memberi pengertian bahwa uang hanyalah solusi sementara. Jadi, harus ada problem solving atas sebab-sebab yang bersifat lebih mendasar.

Beberapa hari mengurung diri di kamar, Arjuna merampungkan proposal pengajuan dana kesehatan ke induk organisasi volunteer trip. Bukan cuma bagi keluarga Arya, melainkan semua orang kurang beruntung di Dhaka. Ide brilian tersebut ia unduh dari Thomas usai melalui debat panjang.

Gayung bersambut. Proposal Arjuna diterima dan dinyatakan lolos. Seluruh temannya ramai-ramai mengucapkan selamat, karena Arjuna dianggap telah menghibahkan kontribusi berarti bagi kehidupan orang-orang Dhaka. Arjuna begitu puas dan terharu. Di luar dugaan, ternyata ia mampu memberikan manfaat kepada orang lain.

Saat kian akrab dengan berbagai program kemanusiaan, Arjuna harus angkat kaki dari tanah Dhaka. Genap 30 hari ia tinggal di sana. Genap 30 hari pula ia berjuang, demi perubahan hidup dirinya juga manusia lainnya. Akhirnya, dengan berat hati ia meninggalkan Dhaka dan bertolak ke Indonesia. Berbekal pengalaman pendek selama sebulan tersebut, Arjuna menjadi mengerti tentang apa arti kehidupan sebenarnya.
Yogyakarta, 2013

Riza Multazam Luthfy
Karya-karyanya bertebaran di Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Basis, Sabili, Annida, Okezone.com, dan Kompas.com. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UII Yogyakarta. 

Sumber : Kompas, 28 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar