Oleh Seno Gumira Ajidarma
Semua
orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. Banyak
orang juga selalu mencuci tangan, tetapi tidak sesering dirinya. Belum
pernah ada yang menghitung, berapa kali ia mencuci tangannya dalam
sehari, tetapi dapat dipastikan sering sekali. Kalau ada orang yang
menyebut namanya, yang diingat setiap orang adalah, ”Oh, yang selalu
cuci tangan itu ya?”, dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, ”Nah!
Iya, yang selalu cuci tangan!”
Demikianlah ia kemudian dikenal
sebagai Orang yang Selalu Cuci Tangan. Tentu ia sendiri tidak tahu jika
dirinya mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya selalu
merasa tangannya kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor ia
selalu merasa harus cuci tangan di wastafel. Tentu saja tak jarang
tangannya itu memang kotor, meskipun baginya setitik debu yang tak
terlihat pun agaknya sudah sahih menyandang istilah kotoran, sehingga ia
pun akan selalu terlihat berjalan menuju wastafel untuk mencuci
tangannya. Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah berdiri lagi,
menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor,
begitu kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.
Tentunya
bisa diterima betapa setiap tangan yang kotor memang sebaiknya, lebih
baik, memang seharusnya, bahkan wajib dicuci, tapi bagaimana kalau
sebetulnya bersih?
”Barangkali ia sebetulnya hanya selalu merasa tangannya kotor.”
”Merasa?”
”Ya, tangannya itu sendiri sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya kotor.”
”Makanya ia selalu mencuci tangannya!”
Demikianlah
orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang
selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka
memasuki ruangannya.
Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri.
”Wajah itulah,” pikirnya, ”wajah itulah!”
Wajah
yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya
agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi
yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah selalu
mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan
mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
”Mengapa tanganku selalu kotor?”
Ia
sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak
orang mengira ia hanya merasa tangannya kotor, tetapi dalam pandangannya
tangannya memang betul-betul kotor.
Mula-mula hanya seperti sedikit berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.
”Apakah ini karena aku selalu melakukan pekerjaan kotor?”
Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan betul-betul kotor.
Ia
sendiri meragukan, manakah yang sebetulnya lebih baik, antara selalu
mencuci tangan karena merasa tangannya selalu kotor dibandingkan dengan
selalu mencuci tangan karena tangannya betul-betul kotor. Namun ia
sungguh-sungguh ingin percaya, meskipun ia selalu melihat tangannya
betul-betul kotor, betapa tangannya itu sendiri sebetulnya bersih.
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor.
Pada
suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur
dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
”Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
”Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, ”mana boleh jadi?”
Segeralah
para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air
pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru
membuat tangan semakin kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.
”Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
Kini ia khawatir, adalah matanya yang justru bermasalah.
Betapapun
ia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya sajalah yang
membuat ia mengira tangannya selalu kotor, yang membuatnya selalu merasa
harus mencuci tangan, meskipun tangannya itu sama sekali tidak kotor.
Air
kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah
kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi
kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak
kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara
seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia
mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang
keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan
terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya
dirasakannya sahaja.
Maka ia pun tetap mencuci tangannya dengan
air terkotor di dunia yang mengucur dari kran itu. Tidak cukup hanya
mencuci tangan, ia juga menggunakannya untuk cuci muka, membasuh
wajahnya begitu rupa sehingga ia merasa dirinya bersih suci murni tanpa
dosa dan antihama.
Suatu kali, ketika pekerjaan kotornya
menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah. Namun ia tetap yakin
dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin
lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang
memandangnya dengan aneh karena, ”Airnya tidak apa-apa Pak!”
Ia
mencuci tangannya dengan darah yang mengucur dari kran itu dengan
perasaan mencuci tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci muka,
tempat segala kehormatannya dipertaruhkan, dengan darah yang mengucur
dari kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya
pada cermin dan ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu
benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan
darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa
tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu
bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.
Semua orang terbelalak!
Sumber : Kompas, 20 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar