Cerpen: Sobih Adnan*
Jama’ah yang
diprediksikan hadir dari desa-desa sekitar belum juga nampak.
Kursi-kursi plastik berwarna hijau itu kosong, tenda yang membentang
gagah pun mulai nampak jenuh, hanya angin yang terlihat sibuk dan
gembira dengan keheningan itu, bermain debu dan daun-daun yang telah
digugurkan kemarau panjang.
“Mengapa belum juga ada yang datang?
Aneh!!! Apakah kamu salah menuliskan jam pada undangan Mang Sarkum?
Tahun-tahun kemarin tidak sampai seperti ini?” Sentak Haji Dul Goni
kepada Mang Sarkum.
“Tidak Wa Kaji, sss..saya tepat sekali
menuliskannya sesuai perintah Wa Kaji, jam 1 siang, setelah shalat
Dzuhur,” jawab Mang Sarkum dengan gugup.
Mang Sarkum nampak
kebingungan, hatinya juga turut bertanya-tanya. Mengapa para undangan
tak kunjung juga hadir? Apa mereka sudah terlalu bosan? Terhitung selama
dua puluh tahun mengabdi kepada juragan beras bernama Haji Dul Goni
ini, sepuluh tahun terakhir majikannya itu secara rutin melaksanakan
ibadah haji. “Jika menghitung musim haji tahun ini, berarti hendak
sebelas kali,” gumam Mang Sarkum dalam hati.
Haji Dul Goni semakin
kecewa, ternyata hingga mendekati waktu Ashar yang tinggal beberapa
menit lagi-pun belum juga nampak tanda-tanda satu undangan yang datang.
Padahal, dia sudah merencanakan selamatan keberangkatan haji tahun ini
harus lebih meriah. Tidak sekedar seperti tahun-tahun lalu, tidak hanya
mengundang Kiai Ma’ruf untuk ceramah, tapi grup rebana marawis dari kota
pun minta ia hadirkan untuk menghibur para jama’ah, “Biar tidak suntuk
dengan ceramah dari kiai yang sok tahu itu!” Begitu Kaji Dul Goni saat
menilai sosok Kiai Ma’ruf yang belum sekalipun mampu melaksanakan ibadah
haji, namun kerap diundang ceramah dalam selamatan keberangkatan calon
haji.
Kiai Ma’ruf memang menyimpan perasaan yang serba salah. Di
satu sisi dia tak juga diberi kekuatan untuk mampu menunaikan rukun
Islam yang kelima itu, tabungannya belum cukup, dia hanya mengandalkan
beberapa hasil lelangan dua pohon mangganya yang bertengger di depan
rumah, dan hasilnya dia masukkan ke dalam celengan jago, hampir delapan
belas tahun dia melakukan itu secara rutin, semenjak dia harus mengemban
amanah untuk mengimami dan mengurus satu-satunya mushalla di kampung
terpencil itu. Celengan jago kesayangannya itu ditandai dengan gambar
ka’bah, sebagai tanda dan juga mengalap barokah, katanya. Padahal
mungkin di samping itu, celengan jago itu adalah upaya ketulusannya
untuk memisahkan antara aset mushalla dan pribadi. Dia sangat takut jika
setetes darah yang mengalir di tubuhnya ternyata terbentuk dari uang
haram yang ia curi dari kotak amal mushalla, meskipun satu rupiah.
Tapi,
rasanya memang suatu keharusan dalam diri Kiai Ma’ruf untuk memenuhi
undangan ceramah keberangkatan haji di kampungnya. Dusun yang terletak
jauh dari perkotaan, dikelilingi sawah-sawah yang luas, akses jalan yang
terjal dan sempit itu tak memiliki kiai dan tokoh agama selain Kiai
Ma’ruf. Jika terpaksa mengundang dari kota, apalagi yang biasa muncul
dan ceramah di televisi, masyarakat takut jika mengundang ustadz-ustadz
layar kaca tersebut justru akan menghabiskan separuh ongkos naik haji
yang telah mereka kumpulkan bertahun-tahun. Atau paling tidak, jadwal
mereka terlalu padat membandingi artis-artis.
Haji Dul Goni
sebenarnya memiliki niat untuk memanggil Ustadz Ricki Al-Islami yang
terkenal itu dalam selamatan keberangkatan hajinya tahun ini, hanya saja
dia kembali berfikir saat orang yang ia percaya untuk ke kota
mengatakan perlu tiga puluh lima juta sebagai "ongkos transpor"
kedatangannya. Haji Dul Goni yang kaya raya itu sempat mengernyitkan
dahi, “Mahal benar ya bayaran orang yang cuma modal omongan dan hafalan
hadits-hadits di TV itu?” umpatnya.
Kemudian niatnya diurungkan
seiring dengan munculnya keinginan lain, “Biarlah si Ma’ruf saja yang
ceramah. Pertama murah, cukup dibayar dengan seplastik gula dan teh
saja, dan yang kedua, biar dia tahu rasa, jangan sok tahu tentang haji,
sekalipun belum pernah, tapi gayanya itu sudah menasehati, seperti
biasa, saya akan tertawa terbahak-bahak saat dia menerangkan runtutan
dan tahapan haji, biar masyarakat mengerti bahwa saya lebih pantas
menjadi tokoh agama yang kaya di kampung ini.” Pendamnya dalam hati.
“Sarkum!
, masyarakat itu sebenarnya sedang apa? Mereka iri ya melihat saya yang
mampu naik haji berkali-kali? Makanya kaya dong, jangan malas, pantas
saja kampung ini enggak maju-maju, wong isinya Cuma orang-orang dengki.”
Mang
Sarkum hanya terdiam, Haji Dul Goni masuk ke kamarnya sembari memberi
tanda agar pembantunya itu tetap menunggu. Tak lama Haji Dul Goni
keluar, membawa sekarung uang yang bercampur antara receh koin dan
kertas.
“Ini, cepat kamu keliling ke seluruh pelosok kampung, dan
bagikan ke setiap orang yang kamu temui, katakan, cepat hadiri selamatan
keberangkatan haji saya yang ke sebelas kali ini, barang kali
masyarakat sudah mulai matre karena selalu lapar dan susah.” Perintah
Haji Dul Goni kepada Mang Sarkum.
“Mengapa mereka harus dikasih
uang Wa Kaji? Barangkali mereka enggan datang karena memang ada
halangan? Lagi pula saya harus menjawab apa jika mereka menanyakan soal
beberapa tanah yang telah Wa Kaji rebut dengan paksa itu? Punten juga Wa
Kaji, bukannya saya lancang, saya juga kerap ditanyai tentang siapakah
tahun ini dari keempat isteri Wa Kaji yang akan diceraikan, dan anak
gadis siapa lagi yang akan dijadikan isteri muda Wa Kaji kali ini?”
papar Mang Sarkum dengan pasrah.
“Sarkum!, sekarang mulutmu sudah
mulai lancang ya? Saya juga curiga semenjak kamu mulai dekat dengan Si
Ma’ruf yang kere dan sok tahu itu, jangan-jangan dia yang ngomong
seperti itu? Perlu kamu tahu ya? Saya tidak merebut tanah masyarakat
secara paksa, saya hanya mengambil kembali hak yang mereka pinjam,
kebetulan saja hutang dan bunga yang harus mereka kembalikan seimbang
dengan harga tanah yang saya ambil. Kemudian masalah nikah, peduli apa
mereka? Bukankah saya laki-laki yang memiliki hak untuk menikahi dan
menceraikan perempuan? Keluarga mereka juga tak masalah kok, bukankah
saya selalu memberikan uang yang banyak kepada orang tua gadis yang saya
nikahi? Sudah sana kamu laksanakan perintah saya tadi, jika Si Ma’ruf
atau yang lain menanyakan soal-soal yang kamu ungkapkan, jawab saja
sesuai keterangan saya itu,” ujar Haji Dul Goni dengan nada marah dan
muka memerah.
Mang Sarkum kemudian beranjak, memanggul sekarung
uang Wa Kaji, menjalankan perintah tuannya itu untuk dibagikan kepada
masyarakat agar mereka berkenan datang ke acara selamatan keberangkatan
Haji Dul Goni tahun ini. Benak Mang Sarkum berkecamuk, ada kalanya dia
merasa bosan mengikuti dan menuruti watak Haji Dul Goni majikannya itu,
dia memiliki niat untuk keluar dari seluruh tanggung jawab dan
pekerjaan-pekerjaan rumah itu, namun yang teringat oleh angan Mang
Sarkum hanya anak-anaknya yang banyak dan tentu butuh makan, dari mana
lagi kalau bukan hasil mengabdinya kepada Haji Dul Goni. Tapi yang
membuat risih sebenarnya banyak sekali, meskipun kaya, Haji Dul Goni
juga terkenal sangat kikir, tidak pernah bayar zakat, shadaqah, atau
membantu sesama, terkecuali jika ada keinginan dan adu gengsi yang
seperti sekarang ini, tak tanggung-tanggung ia keluarkan sekarung untuk
dibagikan.
Kemarau di kampung tahun ini memang terlalu panjang dan
menyengat, sumur-sumur mulai kekeringan, panen-panen gagal, termasuk
beberapa sawah Haji Dul Goni, makanya ia berusaha memupuk kekayannya
dengan cara lain, yakni merampasi tanah-tanah penduduk dengan dalih
menagih utang, juga kedekatannya dengan salah satu anggota dewan
legislatif di kota membuatnya bertingkah semakin semau benaknya.
Terakhir, dia menemukan cara bayu dalam memupuk kekayaan, dia turut
andil modal dalam penimbunan beras dan bahan bakar minyak dengan
beberapa oknum anggota dewan kenalannya itu.
Mang Sarkum heran,
hampir seluruh sudut kampung sepi, rumah-rumah penduduk terkunci, tak
ada satu orangpun yang melintas dan mampu ia temui. Jika mereka biasanya
di sawah, maka jelang senja seperti ini mereka pulang, terlebih
anak-anak pasti ribut bermain dan berlarian ke sana kemari di jalanan,
akhirnya Mang Sarkum memutuskan untuk mengunjungi rumah Kiai Ma’ruf,
menjemputnya, sekaligus menanyakan apa sebenarnya yang telah terjadi di
kampung ini?
Kebetulan Mang Sarkum sadar bahwa dirinya belum
sempat menunaikan shalat Ashar, waktunya habis hanya untuk mendengarkan
kemarahan Haji Dul Goni. Jadi, ke kediaman Kiai Ma’ruf adalah pilihan
terbaik, di sampingnya ada mushalla geribik gebanggaan warga di kampung
ini.
“Jangankan menyumbang agar rumah Kiai Ma’ruf untuk direhab
dan dibagusi, satu-satunya orang kaya di kampung ini, Wa Kaji Dul Goni,
menyumbang tajug (mushalla)-pun tak pernah sama sekali.” Mang Sarkum
tersenyum prihatin saat mengingat kritikan warga terhadap majikannya
itu.
Rumah Kiai Ma’ruf terletak di ujung jalan desa, tak seperti
warga lain, rumah kiai ini menyendiri, konon, dulu kakeknya membangun
rumah dan mushalla di tanah itu agar dapat sekalian menjaga kampung. Di
pagar bambu tepian jalan menuju rumah kecil itu, tersedia
gerabah-gerabah yang penuh diisi air bersih, kata Kiai Ma’ruf; agar
orang-orang dan tamu kampung ini bisa minum sepuasnya, menghilangkan
dahaga, dan bisa melanjutkan perjalanan silaturrahmi kemanapun.
Mang
Sarkum terkejut saat memasuki belokan terakhir menuju rumah Kiai
Ma’ruf, ternyata semua warga kampung berkumpul di sini, di batas
pagar-pagar mushalla dan rumah Kiai Ma’ruf yang menyatu, mereka seperti
asyik mengintip. Mata Mang Sarkum menengok ke kanan dan ke kiri, semua
warga kampung yang ia kenali semua memang berada di sini, ramai sekali,
namun tetap sepi, mereka seperti menjaga suara, hanya sesekali
berbisik-bisik saja.
“Permisi, ada apa dengan rumah Kiai Ma’ruf?
Mengapa semua warga berkumpul di sini?” Bisik Mang Sarkum kepada Paijo,
jagoan kampung yang menurut sekali kepada Kiai Ma’ruf, juga kepada
dirinya karena kedekatannya dengan Kiai Ma'ruf.
“Anu Mang, begini
ceritanya, subuh tadi saya dan warga kampung sama-sama bermimpi, kita
diundang oleh seseorang berjubah putih, dengan wangi yang sama persis
dengan udara sore ini. Katanya, Kiai Ma’ruf hendak berangkat menunaikan
ibadah haji, kami gembira sekali. Paginya masyarakat dihebohkan dengan
mimpi yang seragam itu, makanya semua warga libur ke sawah, mereka
justru datang ke sini, bermaksud menanyakan kepada Kiai Ma’ruf apa makna
di balik mimpi-mimpi kami? Gitu, kalau sampean gak percaya, tanya saja
kepada Siti, tuh, dia duduk di pagar sebelah sana,” jelas Paijo dengan
bisik-bisik di telinga Mang Sarkum, dan menunjuk kepada Siti, perempuan
yang rajin berjama’ah di mushalla Kiai Ma’ruf, yang turut mengintip di
pagar sebelah utara.
Mang Sarkum langsung mengendap-endap menuju
Siti, melewati beberapa warga lain yang juga turut duduk dan
berbisik-bisik setiap mereka berbicara di pinggir-pinggir pagar. Setelah
sampai, akhirnya Mang Sarkum paham dari keterangan Siti, bahwa
sesampainya para warga di tempat ini, mereka dikejutkan dengan bebauan
wangi yang sangat tajam, dan saat hendak masuk ke pagar rumah Kyai
Ma’ruf, ternyata di dalam seperti berlangsung acara tahlil akbar, mereka
mengintip dari celah geribik rumah kecil itu, ternyata hampir seluruh
ruangan dipenuhi oleh orang-orang dengan wajah yang sangat bersih,
berjubah putih, dan duduk bersila mengelilingi Kiai Ma’ruf yang seperti
sedang memberikan ceramah kepada mereka. Semua warga merasa merinding
dan kagum dengan peristiwa ini. Kemudian Mang Sarkum turut menyaksikan
semuanya, dan menangis haru. Ada apa ini?
Warga
lebih memilih untuk tetap diam, karena ternyata rombongan orang-orang
berjubah putih itu keluar dari rumah Kiai Ma’ruf, salah satu dari mereka
yang berwajah paling bersih dan wangi itu berkata pelan kepada Mang
Sarkum. “Izinkan kami menjemput Kiai Ma’ruf untuk berhaji selamanya,
segala kebaikannya sudah dirasa cukup untuk menemani semua warga di
sini, Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiuun.” Kemudian sosok itu berpaling,
dan menghilang bersama rombongan.
Sampai keesokan harinya warga
tak juga meninggalkan rumah itu, mereka bersedih, karena Kiai Ma’ruf
yang sangat mereka teladani harus pergi selamanya. Ada yang menangis,
ada juga yang saling berwasiat tentang pentingnya memiliki kesabaran
seperti Kiai Ma’ruf. Sedangkan di satu sudut jalan yang tak jauh dari
rumah Kiai Ma’ruf, terdapat orang gila yang menangis meraung-raung,
kadang tertawa terbahak-bahak, lelaki gendut yang mulai tua itu gila
karena kemarin rumah dan berhektar-hektar kebun tebu kebanggannya
terbakar, saat meninggalkannya yang hanya beberapa jam saja. Dan tentu,
dengan sebab yang entah.
* Kerap menulis cerpen dan puisi di media
cetak maupun online, aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS), Lembaga
Kebudayaan Mahasiswa (LKM) Rumba Grage ISIF-Cirebon, dan kini sebagai
Direktur LANDSKAPE (Lembaga Kajian Seni, Sastra, dan Kebudayaan
Pesantren). Buku yang pernah ditulis: Nyanyian Gagang Telepon (Wedatama
Widya Sastra, Jakarta Selatan: 2009).
Sumber: kompas, 16 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar