Pages - Menu

20 Oktober 2012

Wa Kaji

Cerpen: Sobih Adnan*

Jama’ah yang diprediksikan hadir dari desa-desa sekitar belum juga nampak. Kursi-kursi plastik berwarna hijau itu kosong, tenda yang membentang gagah pun mulai nampak jenuh, hanya angin yang terlihat sibuk dan gembira dengan keheningan itu, bermain debu dan daun-daun yang telah digugurkan kemarau panjang.


“Mengapa belum juga ada yang datang? Aneh!!! Apakah kamu salah menuliskan jam pada undangan Mang Sarkum? Tahun-tahun kemarin tidak sampai seperti ini?” Sentak Haji Dul Goni kepada Mang Sarkum.

“Tidak Wa Kaji, sss..saya tepat sekali menuliskannya sesuai perintah Wa Kaji, jam 1 siang, setelah shalat Dzuhur,” jawab Mang Sarkum dengan gugup.
Mang Sarkum nampak kebingungan, hatinya juga turut bertanya-tanya. Mengapa para undangan tak kunjung juga hadir? Apa mereka sudah terlalu bosan? Terhitung selama dua puluh tahun mengabdi kepada juragan beras bernama Haji Dul Goni ini, sepuluh tahun terakhir majikannya itu secara rutin melaksanakan ibadah haji. “Jika menghitung musim haji tahun ini, berarti hendak sebelas kali,” gumam Mang Sarkum dalam hati.

Haji Dul Goni semakin kecewa, ternyata hingga mendekati waktu Ashar yang tinggal beberapa menit lagi-pun belum juga nampak tanda-tanda satu undangan yang datang. Padahal, dia sudah merencanakan selamatan keberangkatan haji tahun ini harus lebih meriah. Tidak sekedar seperti tahun-tahun lalu, tidak hanya mengundang Kiai Ma’ruf untuk ceramah, tapi grup rebana marawis dari kota pun minta ia hadirkan untuk menghibur para jama’ah, “Biar tidak suntuk dengan ceramah dari kiai yang sok tahu itu!” Begitu Kaji Dul Goni saat menilai sosok Kiai Ma’ruf yang belum sekalipun mampu melaksanakan ibadah haji, namun kerap diundang ceramah dalam selamatan keberangkatan calon haji.

Kiai Ma’ruf memang menyimpan perasaan yang serba salah. Di satu sisi dia tak juga diberi kekuatan untuk mampu menunaikan rukun Islam yang kelima itu, tabungannya belum cukup, dia hanya mengandalkan beberapa hasil lelangan dua pohon mangganya yang bertengger di depan rumah, dan hasilnya dia masukkan ke dalam celengan jago, hampir delapan belas tahun dia melakukan itu secara rutin, semenjak dia harus mengemban amanah untuk mengimami dan mengurus satu-satunya mushalla di kampung terpencil itu. Celengan jago kesayangannya itu ditandai dengan gambar ka’bah, sebagai tanda dan juga mengalap barokah, katanya. Padahal mungkin di samping itu, celengan jago itu adalah upaya ketulusannya untuk memisahkan antara aset mushalla dan pribadi. Dia sangat takut jika setetes darah yang mengalir di tubuhnya ternyata terbentuk dari uang haram yang ia curi dari kotak amal mushalla, meskipun satu rupiah.

Tapi, rasanya memang suatu keharusan dalam diri Kiai Ma’ruf untuk memenuhi undangan ceramah keberangkatan haji di kampungnya. Dusun yang terletak jauh dari perkotaan, dikelilingi sawah-sawah yang luas, akses jalan yang terjal dan sempit itu tak memiliki kiai dan tokoh agama selain Kiai Ma’ruf. Jika terpaksa mengundang dari kota, apalagi yang biasa muncul dan ceramah di televisi, masyarakat takut jika mengundang ustadz-ustadz layar kaca tersebut justru akan menghabiskan separuh ongkos naik haji yang telah mereka kumpulkan bertahun-tahun. Atau paling tidak, jadwal mereka terlalu padat membandingi artis-artis.

Haji Dul Goni sebenarnya memiliki niat untuk memanggil Ustadz Ricki Al-Islami yang terkenal itu dalam selamatan keberangkatan hajinya tahun ini, hanya saja dia kembali berfikir saat orang yang ia percaya untuk ke kota mengatakan perlu tiga puluh lima juta sebagai "ongkos transpor" kedatangannya. Haji Dul Goni yang kaya raya itu sempat mengernyitkan dahi, “Mahal benar ya bayaran orang yang cuma modal omongan dan hafalan hadits-hadits di TV itu?” umpatnya.
Kemudian niatnya diurungkan seiring dengan munculnya keinginan lain, “Biarlah si Ma’ruf saja yang ceramah. Pertama murah, cukup dibayar dengan seplastik gula dan teh saja, dan yang kedua, biar dia tahu rasa, jangan sok tahu tentang haji, sekalipun belum pernah, tapi gayanya itu sudah menasehati, seperti biasa, saya akan tertawa terbahak-bahak saat dia menerangkan runtutan dan tahapan haji, biar masyarakat mengerti bahwa saya lebih pantas menjadi tokoh agama yang kaya di kampung ini.” Pendamnya dalam hati.

“Sarkum! , masyarakat itu sebenarnya sedang apa? Mereka iri ya melihat saya yang mampu naik haji berkali-kali? Makanya kaya dong, jangan malas, pantas saja kampung ini enggak maju-maju, wong isinya Cuma orang-orang dengki.”

Mang Sarkum hanya terdiam, Haji Dul Goni masuk ke kamarnya sembari memberi tanda agar pembantunya itu tetap menunggu. Tak lama Haji Dul Goni keluar, membawa sekarung uang yang bercampur antara receh koin dan kertas.

“Ini, cepat kamu keliling ke seluruh pelosok kampung, dan bagikan ke setiap orang yang kamu temui, katakan, cepat hadiri selamatan keberangkatan haji saya yang ke sebelas kali ini, barang kali masyarakat sudah mulai matre karena selalu lapar dan susah.” Perintah Haji Dul Goni kepada Mang Sarkum.

“Mengapa mereka harus dikasih uang Wa Kaji? Barangkali mereka enggan datang karena memang ada halangan? Lagi pula saya harus menjawab apa jika mereka menanyakan soal beberapa tanah yang telah Wa Kaji rebut dengan paksa itu? Punten juga Wa Kaji, bukannya saya lancang, saya juga kerap ditanyai tentang siapakah tahun ini dari keempat isteri Wa Kaji yang akan diceraikan, dan anak gadis siapa lagi yang akan dijadikan isteri muda Wa Kaji kali ini?” papar Mang Sarkum dengan pasrah.
“Sarkum!, sekarang mulutmu sudah mulai lancang ya? Saya juga curiga semenjak kamu mulai dekat dengan Si Ma’ruf yang kere dan sok tahu itu, jangan-jangan dia yang ngomong seperti itu? Perlu kamu tahu ya? Saya tidak merebut tanah masyarakat secara paksa, saya hanya mengambil kembali hak yang mereka pinjam, kebetulan saja hutang dan bunga yang harus mereka kembalikan seimbang dengan harga tanah yang saya ambil. Kemudian masalah nikah, peduli apa mereka? Bukankah saya laki-laki yang memiliki hak untuk menikahi dan menceraikan perempuan? Keluarga mereka juga tak masalah kok, bukankah saya selalu memberikan uang yang banyak kepada orang tua gadis yang saya nikahi? Sudah sana kamu laksanakan perintah saya tadi, jika Si Ma’ruf atau yang lain menanyakan soal-soal yang kamu ungkapkan, jawab saja sesuai keterangan saya itu,” ujar Haji Dul Goni dengan nada marah dan muka memerah.

Mang Sarkum kemudian beranjak, memanggul sekarung uang Wa Kaji, menjalankan perintah tuannya itu untuk dibagikan kepada masyarakat agar mereka berkenan datang ke acara selamatan keberangkatan Haji Dul Goni tahun ini. Benak Mang Sarkum berkecamuk, ada kalanya dia merasa bosan mengikuti dan menuruti watak Haji Dul Goni majikannya itu, dia memiliki niat untuk keluar dari seluruh tanggung jawab dan pekerjaan-pekerjaan rumah itu, namun yang teringat oleh angan Mang Sarkum hanya anak-anaknya yang banyak dan tentu butuh makan, dari mana lagi kalau bukan hasil mengabdinya kepada Haji Dul Goni. Tapi yang membuat risih sebenarnya banyak sekali, meskipun kaya, Haji Dul Goni juga terkenal sangat kikir, tidak pernah bayar zakat, shadaqah, atau membantu sesama, terkecuali jika ada keinginan dan adu gengsi yang seperti sekarang ini, tak tanggung-tanggung ia keluarkan sekarung untuk dibagikan.

Kemarau di kampung tahun ini memang terlalu panjang dan menyengat, sumur-sumur mulai kekeringan, panen-panen gagal, termasuk beberapa sawah Haji Dul Goni, makanya ia berusaha memupuk kekayannya dengan cara lain, yakni merampasi tanah-tanah penduduk dengan dalih menagih utang, juga kedekatannya dengan salah satu anggota dewan legislatif di kota membuatnya bertingkah semakin semau benaknya. Terakhir, dia menemukan cara bayu dalam memupuk kekayaan, dia turut andil modal dalam penimbunan beras dan bahan bakar minyak dengan beberapa oknum anggota dewan kenalannya itu.

Mang Sarkum heran, hampir seluruh sudut kampung sepi, rumah-rumah penduduk terkunci, tak ada satu orangpun yang melintas dan mampu ia temui. Jika mereka biasanya di sawah, maka jelang senja seperti ini mereka pulang, terlebih anak-anak pasti ribut bermain dan berlarian ke sana kemari di jalanan, akhirnya Mang Sarkum memutuskan untuk mengunjungi rumah Kiai Ma’ruf, menjemputnya, sekaligus menanyakan apa sebenarnya yang telah terjadi di kampung ini?
Kebetulan Mang Sarkum sadar bahwa dirinya belum sempat menunaikan shalat Ashar, waktunya habis hanya untuk mendengarkan kemarahan Haji Dul Goni. Jadi, ke kediaman Kiai Ma’ruf adalah pilihan terbaik, di sampingnya ada mushalla geribik gebanggaan warga di kampung ini.
“Jangankan menyumbang agar rumah Kiai Ma’ruf untuk direhab dan dibagusi, satu-satunya orang kaya di kampung ini, Wa Kaji Dul Goni, menyumbang tajug (mushalla)-pun tak pernah sama sekali.” Mang Sarkum tersenyum prihatin saat mengingat kritikan warga terhadap majikannya itu.

Rumah Kiai Ma’ruf terletak di ujung jalan desa, tak seperti warga lain, rumah kiai ini menyendiri, konon, dulu kakeknya membangun rumah dan mushalla di tanah itu agar dapat sekalian menjaga kampung. Di pagar bambu tepian jalan menuju rumah kecil itu, tersedia gerabah-gerabah yang penuh diisi air bersih, kata Kiai Ma’ruf; agar orang-orang dan tamu kampung ini bisa minum sepuasnya, menghilangkan dahaga, dan bisa melanjutkan perjalanan silaturrahmi kemanapun.

Mang Sarkum terkejut saat memasuki belokan terakhir menuju rumah Kiai Ma’ruf, ternyata semua warga kampung berkumpul di sini, di batas pagar-pagar mushalla dan rumah Kiai Ma’ruf yang menyatu, mereka seperti asyik mengintip. Mata Mang Sarkum menengok ke kanan dan ke kiri, semua warga kampung yang ia kenali semua memang berada di sini, ramai sekali, namun tetap sepi, mereka seperti menjaga suara, hanya sesekali berbisik-bisik saja.

“Permisi, ada apa dengan rumah Kiai Ma’ruf? Mengapa semua warga berkumpul di sini?” Bisik Mang Sarkum kepada Paijo, jagoan kampung yang menurut sekali kepada Kiai Ma’ruf, juga kepada dirinya karena kedekatannya dengan Kiai Ma'ruf.

“Anu Mang, begini ceritanya, subuh tadi saya dan warga kampung sama-sama bermimpi, kita diundang oleh seseorang berjubah putih, dengan wangi yang sama persis dengan udara sore ini. Katanya, Kiai Ma’ruf hendak berangkat menunaikan ibadah haji, kami gembira sekali. Paginya masyarakat dihebohkan dengan mimpi yang seragam itu, makanya semua warga libur ke sawah, mereka justru datang ke sini, bermaksud menanyakan kepada Kiai Ma’ruf apa makna di balik mimpi-mimpi kami? Gitu, kalau sampean gak percaya, tanya saja kepada Siti, tuh, dia duduk di pagar sebelah sana,” jelas Paijo dengan bisik-bisik di telinga Mang Sarkum, dan menunjuk kepada Siti, perempuan yang rajin berjama’ah di mushalla Kiai Ma’ruf, yang turut mengintip di pagar sebelah utara.

Mang Sarkum langsung mengendap-endap menuju Siti, melewati beberapa warga lain yang juga turut duduk dan berbisik-bisik setiap mereka berbicara di pinggir-pinggir pagar. Setelah sampai, akhirnya Mang Sarkum paham dari keterangan Siti, bahwa sesampainya para warga di tempat ini, mereka dikejutkan dengan bebauan wangi yang sangat tajam, dan saat hendak masuk ke pagar rumah Kyai Ma’ruf, ternyata di dalam seperti berlangsung acara tahlil akbar, mereka mengintip dari celah geribik rumah kecil itu, ternyata hampir seluruh ruangan dipenuhi oleh orang-orang dengan wajah yang sangat bersih, berjubah putih, dan duduk bersila mengelilingi Kiai Ma’ruf yang seperti sedang memberikan ceramah kepada mereka. Semua warga merasa merinding dan kagum dengan peristiwa ini. Kemudian Mang Sarkum turut menyaksikan semuanya, dan menangis haru. Ada apa ini?




Warga lebih memilih untuk tetap diam, karena ternyata rombongan orang-orang berjubah putih itu keluar dari rumah Kiai Ma’ruf, salah satu dari mereka yang berwajah paling bersih dan wangi itu berkata pelan kepada Mang Sarkum. “Izinkan kami menjemput Kiai Ma’ruf untuk berhaji selamanya, segala kebaikannya sudah dirasa cukup untuk menemani semua warga di sini, Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiuun.” Kemudian sosok itu berpaling, dan menghilang bersama rombongan.


Sampai keesokan harinya warga tak juga meninggalkan rumah itu, mereka bersedih, karena Kiai Ma’ruf yang sangat mereka teladani harus pergi selamanya. Ada yang menangis, ada juga yang saling berwasiat tentang pentingnya memiliki kesabaran seperti Kiai Ma’ruf. Sedangkan di satu sudut jalan yang tak jauh dari rumah Kiai Ma’ruf, terdapat orang gila yang menangis meraung-raung, kadang tertawa terbahak-bahak, lelaki gendut yang mulai tua itu gila karena kemarin rumah dan berhektar-hektar kebun tebu kebanggannya terbakar, saat meninggalkannya yang hanya beberapa jam saja. Dan tentu, dengan sebab yang entah.
* Kerap menulis cerpen dan puisi di media cetak maupun online, aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS), Lembaga Kebudayaan Mahasiswa (LKM) Rumba Grage ISIF-Cirebon, dan kini sebagai Direktur LANDSKAPE (Lembaga Kajian Seni, Sastra, dan Kebudayaan Pesantren). Buku yang pernah ditulis: Nyanyian Gagang Telepon (Wedatama Widya Sastra, Jakarta Selatan: 2009).

Sumber: kompas, 16 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar