EL Hadiansyah
Namanya
Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada
kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri,
hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Bilur matahari langsung
sampai ke lapangan sekolah. Menjadi jejak. Cukup panas. Aku sendiri
gerah dibuatnya. Angin dari beringin yang berkeliling tak juga
mengurangi rasa. Tetap menyengat. Hanya satu dua dedaunan menggelinding
disertai bungkus permen, juga bungkus snack
yang terserak dari bawah tempat sampah. Namun Sri tak juga menyerah
pada hukuman. Tubuh kecilnya berdiri di bawah tiang bendera warna putih.
Membuatku miris.
Aku hanya melihatnya sesekali.
Pak Broto
terus menerangkan tentang masa lalu. Sejarah yang mesti kami ketahui
demi hari esok. Entah apa. Inilah pelajaran yang membawa hukuman demi
hukuman berjejer kian panjang bagi Sri, menunggu dilaksanakan.
Hampir
satu bulan ke belakang. Ketika Pak Broto mengurai pemberontakan sebuah
partai yang pernah dilakukan sekian puluh tahun lampau, tiba-tiba suara
Sri memecah ketegangan. Sebuah pertanyaan meloncat malu-malu, saling
bersusulan, seperti tontonan. Kami hanya diam mendengarkan dua suara
saling berlanjut, membentuk dialog panjang yang akhirnya berujung
ngambang. Pak Broto seperti kehilangan kalimat, lalu kelas selesai lebih
awal.
”Memangnya kamu tahu dari mana to Sri?” tanyaku
mendekatinya. Anak-anak lain tak ketinggalan mengerubung mirip semut.
Ini pertama kalinya ia jadi pusat perhatian kelas.
”Kakekku yang cerita. Katanya, yang ada dibuku itu bohong.”
”Kalau itu bohong, kenapa bisa tertulis di buku pelajaran? Aneh.”
”Makanya tadi tanyakan.”
Pertanyaan
dan sanggahan lebih mirip dengung lebah mengisi kelas. Aku sendiri kian
pengap dibuatnya. Meski rasa penasaran belum terbayar atas jawaban Sri,
tetap saja tak mungkin dilanjutkan.
”Pokoknya kamu tanyakan itu
terus saja Sri, biar kita bisa pulang cepat. Hahahaha,” kata Budi. Yang
lain sorak menyetujui usul tersebut. Aku memilih pergi.
Tak lama,
sebelum bel tanda berakhirnya pelajaran istirahat memenuhi lorong kelas,
tiba-tiba Mas Karnaen, pak bon sekolah kami mendekati Sri, menyampaikan
sebuah pesan yang mesti ia patuhi. Menghadap guru. Kerumunan mengurai
cepat, membawa tanda tanya juga ketegangan pada wajah masing-masing.
Bibir terkatup rapat.
Dua jam pelajaran, Sri tak juga kembali ke
kelas. Aku dilanda debar tak stabil dalam dada. Keras, bersusulan. Ada
rasa khawatir yang lebih berwarna takut membayangkan ia. Apa sedang
menerima hukuman karena masalah tadi? Bisa jadi. Ketegangan tak juga
lepas dari wajah masing-masing siswa di kelas, merangsang bisik-bisik
hingga ke meja guru.
”Jangan suka ngomong ngawur di sekolahan ya?” kata Bu Dewi tiba-tiba. Di sela pelajaran Agama Islam yang ia terangkan.
Tak ada yang merespons.
”Kalian tahu kenapa teman kalian belum juga balik ke kelas?”
Heran.
Aku pikir, masalahnya hanya tentang perbedaan pendapat antara dirinya
dan Pak Broto. Sesuatu yang mestinya wajar, dan tak perlu diperpanjang.
Bukankah pertanyaan menjadi rutinitas saat proses belajar berlangsung?
Bahkan di luar jam kelas! Namun pertanyaan Sri beberapa waktu lalu
justru menjadi momok berkepanjangan. Menghantui kami, terlebih bagi Sri
sendiri.
Satu hari setelah ”perselisihan” Sri dan Pak Broto,
sebuah kabar menggemparkan sampai di sekolah. Kakek Sri ditangkap
polisi. Masalahnya tak lain karena cerita yang ia sampaikan pada
cucunya. Sekolah kian tegang, terlebih kelasku. Ternyata pihak sekolah
melaporkan apa yang diungkapkan Sri pagi itu. Tentang ilmu sejarah yang
katanya simpang siur.
Yang aku tahu, sebenarnya tak sekalipun Sri
menuduh pemalsuan untuk materi yang disampaikan Pak Broto pagi itu.
Tidak. Seluruh murid di kelas kami pun sepakat, ucapan Sri lebih pada
pertanyaan yang nyatanya tak mampu dijawab pak guru.
”Apa benar banyak orang tidak bersalah dihukum tanpa diadili terlebih dahulu pak?”
”Itu tidak benar.”
”Dari mana bapak tahu?”
Lalu perdebatan melebar, dan Sri justru dituduh mengganggu pelajaran.
Kasus
penangkapan sang kakek membuat Sri kian terpojok. Beberapa terhasut
isu, menudingnya cucu seorang penjahat. Menjauh. Praktis tak ada yang
mau berteman dengannya, kecuali siswa satu kelas, yang benar-benar paham
kondisinya.
Anehnya, makin hari, perlakuan buruk makin menjadi.
Tidak hanya datang dari satu guru, namun semua guru dan siswa-siswa di
kelas lain. Aku prihatin melihat apa yang Sri alami. Sedih, tanpa bisa
berbuat apa pun.
Sri masih saja bertahan. Tak sekali, aku dan
teman-teman satu kelas membujuknya agar menyerah. Pindah ke sekolah lain
yang lebih baik. Rasanya tak tega melihat ia setiap hari mendapat
hukuman, tanpa jelas kesalahannya. Namun hasilnya sama. Sri tetap ingin
bertahan.
”Aku sudah kelas tiga Din. Bentar lagi kelulusan. Kalau
aku pindah sekolah, justru akan merepotkanku sendiri. Terlebih, cuma di
sekolah ini aku bisa dapat beasiswa.”
”Tapi kamu akan terus
menjalani hukuman demi hukuman setiap hari. Aku tahu tujuan mereka
sebenarnya. Ingin membuatmu tidak betah, lalu keluar dari sekolah. Tapi
bagaimana lagi. Kita tak mungkin bisa melawan ini. Jadi...”
”Jadi aku harus keluar?” sahut Sri.
Kami
terdiam lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Aku sendiri sangat
bingung menghadapi masalah yang kini menghadang Sri. Ah, kadang aku
menyesali cerita dari kakeknya. Kenapa harus membantah materi sekolah!
”Sekarang, apa yang akan kamu lakukan Sri?” tanyaku.
”Aku pasti bisa melaluinya Din.”
Selesai.
Tiap
hari, ada saja kesalahan yang ditimpakan pada Sri. Dari satu guru ke
guru lain, dari tugas satu ke tugas lain. Peraturan baru bermunculan.
Hanya untuk Sri. Semua anak di kelas kami tahu hal itu.
Pernah,
tiba-tiba Sri dipanggil ke ruang guru hanya karena ada garis putih tipis
di sepatunya. Mendadak. Padahal sebelumnya hal itu tak pernah
dipermasalahkan. Tak cukup dua jam pelajaran, kurungan ruang bagi Sri
dilakukan hingga waktu pulang tiba. Hasilnya, Sri harus menyalin enam
materi pelajaran yang tak ia ikuti.
Pada kesempatan lain,
tiba-tiba Sri diberi tugas membersihkan ruang guru, tanpa sebab akibat.
Atau diminta untuk foto copy buku oleh guru, yang entah mengapa
membutuhkan waktu satu jam pelajaran. Aneh. Namun tak ada yang berani
menentang keganjilan itu. Tidak juga Sri.
”Taruhannya beasiswaku.” Sri menangis saat kami membicarakannya. ”Aku ingin tetap sekolah.”
Aku terdiam.
”Aku harus bertahan. Tinggal empat bulan lagi. setelah itu masa kelulusan tiba. Aku tak ingin menyerah begitu saja Din.”
”Yang sabar ya.” Tak ada kalimat lain yang bisa kuucapkan.
Sri
akhirnya memang kalah. Entahlah. Memasuki bulan kedua masa sulitnya,
tiba-tiba gadis cerdas yang selalu jadi kebanggaan di kelas, tak tampak
lagi di sekolah. Tak ada surat izin. Tak juga keterangan dari teman
terdekat.
Aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi,
Hari
kedua Sri tetap tak datang, hari ketiga, keempat, sepekan, sebulan,
hingga muncul surat dari sekolah. Isinya, ia dikeluarkan dengan tidak
hormat. Terang saja, ini menyisakan beban tak ringan bagi kami,
teman-teman satu kelasnya.
Sri benar-benar menghilang. Tak hanya
dari sekolah. Ia dan keluarga pun pindah ke kota lain. Tak ada yang tahu
di mana tepatnya. Dari kabar yang beredar, satu hari sebelum mereka pindah dari desa, segerombol polisi mendatangi rumahnya. Menangkap sang ayah. Aku kaget dibuatnya. Ah,
sebegitu besarkah dampak yang harus diterima Sri? Hanya karena bertanya
tentang ilmu sejarah yang dianggapnya tak sesuai dengan kenyataan?
Tiba-tiba aku takut bertanya tentang apa pun.
Sangat takut.
Namanya
Sri. Hanya Sri. Sangat singkat bukan? Awalnya, aku pun menyangka ada
kelanjutan dari tiga huruf itu. Namun tidak. Namanya benar-benar Sri,
hanya Sri. Entah di mana ia sekarang.
Lima belas tahun tak ada
kabar. Aku sendiri telah beranak tiga. Yang terakhir, perempuan, dan
sengaja kuberi nama Sri. Hanya Sri. Nama yang sama bukan? Namun aku tak
ingin menceritakan tentang sejarah kepadanya. Tidak.
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar