Pages - Menu

01 Mei 2012

Munajat Kaum Bola

Cerpen Ahmad Zaini

Karpet merah mencolok mata terbentang di sebuah balai agung. Kontras warnanya memedihkan tatapan sampai terasa pedih. Air mata duka mengucur deras lalu mengalir memenuhi serat-serat karpet yang tergelar. Air mata kepedihan. Air mata kekecewaan. Air mata kedukaan atas bola-bola yang menggelinding tak tentu arah.

Langit redup masih bergelayut memayungi balai agung. Hamparan awan melindungi para lelaki, wanita, remaja dan anak-anak yang datang ke tempat pertemuan agung. Riuh rendah tangisnya menahan beban. Sedu sedan atas perjalanan bola tanah air yang tak kunjung menemukan lapangan hijau tempatnya bersemayam.


Haji Maimun berdiri di depan balai agung. Ia memberikan aba-aba kepada para kaum bola. Mereka yang datang atas undangan hati nurani, dipersilakan memasuki balai yang menganga sejak tadi. Lelaki setangah baya berjubah putih dengan jambang panjang besuara. Dentuman suaranya bak ledakan petasan di langit yang memayungi stadion saat bola dimainkan. Gendang telinga para kaum bola bergetar. Mereka pun mengikuti aba-aba yang dikumandangkan Haji Maimun yang berada di depan balai.

Kaum bola merayap. Mereka berjajar laksana semut yang antre memasuki lubang. Satu persatu para kaum bola duduk bersila dengan sebuah bola di pangkuannya. Mereka berdiam diri sambil menunggu aba-aba yang akan disampaikan oleh Haji Maimun.

Ratusan mulut berkomat-kamit dalam formasi lingkaran. Hembusan udara suara mereka mengepul memenuhi ruang balai pertemuan agung. Mereka mengungkapkan segala sesal dan keprihatinan tentang bola-bola di tanah air. Jiwa-jiwa bola seluruh nusantara menggema di balai dengan erangan pedih yang menyayat jiwa penggemarnya hingga mereka menggelepar, menggeliat karena hantaman jiwa bola yang masih merana.
“Tenangkan jiwa kalian! Tenangkan jiwa kalian!” seru Haji Maimun dengan suara berwibawa.

Jiwa para kaum bola bergemuruh. Hati mereka bergolak. Jiwa mereka terkena imbas peperangan yang mahadasyat yang terjadi di jagad bola. Mereka bisa menerawang jiwa-jiwa kotor para pengendali bola di negeri ini. Hati para kaum bola dapat menembus aneka macam keinginan di balik semarak bola di nusantara. Jiwa bola pengendali bola ternodai percikan-percikan nafsu untuk menguasai bola demi kepentingan pribadi dan golongan. Mereka mengabaikan kesucian hati dan jiwa para kaum bola di negeri gemah ripak loh jinawi ini.

“Persetan dengan kalian!” umpat salah satu kaum bola yang masih duduk melingkar dengan mulut yang berkomat-kamit tentang kekecewaan dan kekesalan kepada bola di negeri percikan surga ini.

“Tumpahkan semua rasa kesal! Tumpahkan rasa kecewa! Tumpahkan rasa ketidakpuasan kalian di balai ini! Tumpahkan!” kata Haji Maimun memandu jiwa-jiwa bola yang bergentayangan di balai agung.

Suara kaum bola menyatu. Suaranya bergemuruh di balai yang penuh onak dan murka. Rintih pedih dan kecewa menyatu hingga merontokkan bunga-bunga yang mekar di halaman balai pertemuan agung. Dinding-dinding balai juga bergetar menahan gemuruh suara kaum bola. Lampu hias yang menggantung di langit-langit balai bergoyang tak betah menahan suara-suara amarah para kaum bola.

“Cukup! Cukup!” pinta Haji Maimun.

Para kaum bola meredakan emosinya. Perlahan suara tinggi mereka menurun. Sesaat kemudian suasana balai pertemuan agung menjadi senyap. Sepi seperti balai yang tak berpenghuni.

Para kaum bola yang terdiri dari semua lapisan masyarakat dan dari jenjang usia yang berbeda tertunduk. Mereka bertafakkur mencari jalan penerang yang dapat menjadi solusi dari permasalahan yang membelenggu bola-bola di pangkuan mereka. Namun upaya mereka gagal setelah bola yang berada di pangkuannya bergetar. Bola-bola itu menggelinding sendiri. Bola-bola meronta lalu lepas dari pangkuannya. Mereka berbenturan, bertumbukan, bertebaran hingga memenuhi balai pertemuan agung.

Berbagai ukuran bola dengan aneka warna seperti merasakan kepedihan hati para juragannya. Hati para kaum bola teriris-iris oleh kekisruhan yang terjadi selama ini. Dua penggede dengan dana gede berseberangan. Mereka berebut ingin menguasai jagad bola negeri maritim. Mereka beradu kekuatan.

Mereka beradu dukungan. Mereka beradu kekayaan. Ujung-ujungnya mereka malah memorakporandakan bola-bola di balai hingga terpental ke dataran yang lebih rendah. Sungguh sesuatu yang lebih hina dan hal yang hina.

“Para kaum bola, bersihkan hati kalian dengan meminta ampun kepada Tuhan!” suara Haji Maimun memandu para kaum bola.

“Getarkan hati kalian dengan keinginan-keinginan yang selama ini bersembunyi di lubuk hati kalian yang paling dalam!” imbuhnya.

Para kaum bola membeningkan hati agar mendapatkan petunjuk dari Tuhan. Mereka memusatkan mata hatinya untuk mengais bola-bola yang berserak. Para kaum bola ingin menghimpun bola-bola yang hingga saat ini bergelindingan ke sana kemari sampai menjadi bola yang utuh.

“Bagaimana caranya?” getar hati salah satu kaum bola.

“Tetap optimis!” imbau Haji Maimun mendengar getar hati salah satu kaum bola.

Bola-bola kecil terus menggelinding menyusuri jalan masing-masing. Mereka melewati gang-gang kecil yang sulit dilewati. Sesekali kulit bundar membentur-benturkan kepalanya ke dinding stadion agar bisa masuk. Namun, kekokohan dinding stadion membuat mereka terpental dan kembali menjauh dari kemegahan stadion.
Sementara itu para kaum bola masih bermunajat memohon kepada Tuhan agar cepat mendapatkan petunjuk untuk mengumpulkan bola-bola tersebut. Mereka terus berkomat-kamit membaca doa agar perseteruan para penggede bola segera berakhir. Para kaum bola yang masih bermunajat di balai pertemuan agung mengharap agar mereka yang mengendalikan bola di seluruh nusantara bersatu. Dengan begitu, niscaya kekuatan akan semakin bertambah sehingga bisa mengendalikan bola-bola liar di negeri para wali ini.

Haji Maimun mengusap jenggot yang bergelayut di janggutnya. Peluh lelah merembet di beberapa helai jenggot diusapnya dengan tangan kekar. Ia mendesah sambil memikirkan cara yang tepat untuk menyatukan kekuatan bola yang terberai hingga saat ini. Ia tak habis pikir mengapa kedua kekuatan yang membuat bola-bola di tanah air menggelinding sendiri sulit untuk disatukan? Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka tidak mungkin bola negeri ini bisa bersaing dengan kekuatan negara-negara lain.

Degub jantung para kaum bola berkembang kempis. Kondisi mereka melemah. Haji Maimun akhirnya mengistirahatkan mereka. Para kaum bola berdiri kemudian keluar dari balai agung. Mereka menghirup udara di luar balai agung untuk memulihkan tenaga serta menyegarkan pikiran yang terkuras sejak tiga jam yang lalu. Air minum yang telah tersedia dalam sekejap lenyap. Demikian juga dengan makanan ringan yang dihidangkan dalam talam.

Mereka duduk-duduk di luar balai agung sambil melihat bunga taman yang berantakan karena dihantam bola-bola liar yang sampai kini belum mampu mereka himpun. Mereka menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya terhadap peristiwa yang terjadi. Bola yang semestinya jinak dan bisa mereka taklukkan ternyata menjadi seliar itu.

Hampir setengah jam mereka bersitirahat. Rasa kantuk dan lelah telah terkurangi. Tenaga kini telah pulih. Demikian juga halnya dengan pikiran mereka yang terasa lebih segar. Haji Maimun berdiri di ambang pintu balai agung dengan wajah yang penuh optimis. Wajahnya tuanya tak menampakkan kelelahan. Rautnya bersinar di bawah guyuran cahaya lampu yang tergantung di teras balai agung.
“Saudara-Saudara, mari kita masuk ke balai agung lagi!” ajak Haji Maimun.

Mereka segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan berurutan masuk ke dalam balai agung yang berkarpet menyala merah. Hembusan dingin angin malam mulai  merasuk ke dalam balai agung. Tulang-tulang mereka terasa ngilu tertusuk lembut belai angin yang tiada henti. Kondisi mereka semacam itu segera sirna oleh kekuatan dan kemauan mereka dalam upaya menyatukan lagi bola-bola yang berserak.

Dengan formasi melingkar mereka memejamkan mata dengan arahan Haji Maimun. Mereka berzikir, memohon kepada Tuhan dengan melafalkan kalimat-kalimat suciNya. Para kaum bola menyatukan niat dan keinginan untuk disampaikan kepada Tuhan, yakni satukan lagi bola-bola liar di negeri ini agar menjadi utuh dan digdaya lagi seperti puluhan tahun silam.

Kalimat-kalimat suci menggema dari dalam balai agung. Suaranya menggoyangkan daun-daun bunga yang berantakan di depan balai agung. Perlahan gumpalan mendung yang menggantung di langit kelam tercabik-cabik oleh kalimat suci. Mendung pun sirna terseret angin ke belahan langit yang lain. Mahasuci Tuhan! Langit kini tampah cerah sekali. Biru warnanya dibingkai gelayut putih laksana kapas. Kerlipan jutaan bintang menghias malam yang tinggal seperempat lagi.

“Tuhan telah mengabulkan permohonan kita,” ucap optimis lelaki setengah baya yang masih duduk dengan mata terpejam di dalam hati.

Suara gemuruh datang dari luar balai. Suara itu semakin lama semakin keras terdengar. Bunga-bunga di taman yang berantakan berdiri tegak dan menata dirinya seperti semula. Bunga itu seperti memberikan penghormatan kepada sesuatu yang akan tiba di balai agung. Para kaum bola berusaha sepenuh hati untuk memusatkan perhatiannya kepada Sang Maha Pencipta. Mereka berupaya menjaga konsentrasinya agar tidak terpengaruh dengan suara gemuruh yang terjadi di luar.

Maha Suci Tuhan! Suara gemuruh itu ternyata suara ratusan bola yang menggelinding sendiri melintasi senyap malam menuju balai pertemuan agung. Bola-bola itu masuk satu persatu kemudian berhenti di tengah lingkaran para kaum bola yang masih lelap dalam doa. Bola-bola itu sejenak diam. Ia pasrah pada kehendak Tuhan yang telah mengabulkan doa para kaum bola. Bola-bola itu meleleh. Luluh menjadi satu bola yang utuh. Kulitnya mengkilap menerpa wajah-wajah para kaum bola yang masih bermunajat.

Para kaum bola masih berkomat-kamit. Mereka berkomunikasi dengan Tuhan tentang bola. Mereka mengadukan semua permasalahan bola yang terjadi di negeri ini. Mulai dari dualisme kepemimpinan, kesimpangsiuran status induk sepak bola, dua liga yang sama-sama mengatasnamakan PSSI, jadwal liga, kepemimpinan wasit yang sering tidak adil, pemain-pemain yang sering adu jotos, sampai suporter yang selalu membuat onar di dalam stadion.

Ketika para kaum bola mengadukan permasalahan tersebut, tiba-tiba bola besar yang duduk anggun di tengah-tengah para kaum bola bergerak. Lantai balai pertemuan agung terasa terguncang. Atapnya rontok. Pepohanan yang tumbuh di sekeliling balai meluruhkan daun-daunnya. Bola besar itu seperti terkejut dan tidak terima kalau keburukannya diadukan kepada Sang Mahakuasa.

“Tenanglah, Bola! Ini demi kebaikanmu dan kebaikan semuanya!” ucap Haji Maimun. Bola besar itu menurut. Sesaat kemudian ia tenang kembali.

Para kaum bola melakukan munajat bola ini memang murni untuk menjaga harga diri bangsa. Mereka sangat prihatin pada kondisi persepakbolaan negeri ini. Mereka ingin mengembalikan harkat dan martabat negeri yang mereka cintai ini dalam bidang sepak bola. Mereka ingin melihat tim nasional berlaga dalam even piala dunia. Mereka ingin timnas juara dunia seperti negara-negara lain di benua Eropa dan Amerika Selatan.

Mereka ingin para pemain timnas membawa pulang tropi tersebut untuk  memuaskan para penghuni negeri ini. Hanya itu niat mereka melakukan munajat bola. Mereka tidak mempunyai keinginan sebagai penguasa seperti yang diperebutkan oleh begundal-begundal yang merusak reputasi sepak bola nasional sekarang ini.

Angin bertiup kencang. Udara terasa dingin. Malam sepertinya akan pamit pada fajar yang sudah mengintip di ujung cemara. Para kaum bola yang dipimpin Haji Maimun segera mengakhiri munajatnya. Mereka melakukan ritual penutup dengan melafalkan doa sapu jagat. Bersamaan dengan doa tersebut, ayam jantan para penduduk berkokok memecah keheningan ujung malam. Langit yang semula gelap kini memancarkan cahaya jingga.

Para kaum bola  mengarak bola besar berkeliling nusantara. Mereka memberi tahu kepada semua orang yang dijumpai bahwa bola-bola nusantara telah menyatu menjadi bola raksasa. Bola yang anggun, kokoh, wibawa. Bola murni tanpa ada kepentingan pribadi di dalamnya. Bola ini akan terus begerak ke kawasan Asia Tenggara, Asia hingga dunia. Ia akan melindas bola-bola yang ada di beberapa benua. Bola raksasa ini akan kembali ke nusantara dengan mengangkat tropi piala dunia. (*)

Lamongan, April 2012

Sumber: Kompas, 30 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar