Pages - Menu

01 Mei 2012

Sejarah Perjuangan Rakyat

Judul               : Rakyat dan Senjata
Penulis            : Imam Soedjono
Penerbit         : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan          : I, Desember 2011      
Tebal              : 352 Halaman
Peresensi       : Romel Masykuri*


Proses kemerdekaan sebuah bangsa tidak lepas dari peran rakyat sebagai basis kekuatan besar. Tanpa adanya rakyat, kemerdekaan itu hanya akan menjadi utopis belaka. Kenapa? Karena hanya rakyat yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi sehingga rela mengorbankan seluruh jiwa dan raga demi kehormatan dan kedaulatan bangsanya. Rakyat disini bukanlah segelintir orang maupun kelompok, melainkan seluruh warga yang mempunyai kepentingan bersama dan berada dalam satu nasib: penindasan atas penjajah.

Dalam kondisi apapun, rakyat akan selalu berada di garda depan untuk membela kepentingan bangsanya. Apalagi, ketika bangsanya dijajah oleh pihak asing, rakyat akan memberontak dan melawan dengan segala cara. Tanpa tendensi, rakyat berjuang mati-matian. Tanpa pamrih, rakyat berkorban. Semuanya dilakukan demi mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Soedjono dalam buku Rakyat dan Senjata. Bahwa pengalaman rakyat di negara-negara Selatan ketika dijajah oleh pihak asing dan mengalami penindasan berabad-abad, hanya mungkin dihentikan dengan perlawanan rakyat dengan mengangkat senjata. Meski dengan senjata seadanya mereka mampu mengusir penjajah yang mempunyai senjata lebih hebat dan canggih.

Dalam pandangan Marxis, rakyat dan senjata merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah peperangan, apalagi peperangan mewujudkan kemerdekaan. Antara manusia dan senjata saling berhubungan, dan manusialah yang menentukannya. Pandangan Marxis ini sudah dibuktikan dalam perang rakyat skala besar maupun kecil.

Seperti yang dikisahkan dalam buku ini, rakyat-rakyat berbagai negeri Asia dan Amerika Latin dalam waktu lama telah menerapkan pandangan Marxis tersebut. Dalam waktu yang sangat panjang mereka melakukan perjuangan melawan kaum imprealis yang telah menjajah negeri mereka.

Perlawanan Rakyat Tiongkok dan Filipina

Tiongkok merupakan salah satu negara Asia yang dicatatat sejarah sangat revolusioner dalam melawan kaum penjajah. Sebelum pembebasan rakyat, Tiongkok mengalami penindasan, penghisapan dan penghinaan oleh kaum imprealis asing, tuan tanah, kaum borjuis komparador dan kekuatan gelap lainya dalam waktu yang lama. Dalam kondisi itu, tak ada kata menyerah dalam benak rakyat revolusioner, yang ada hanyalah kata melawan dan melawan.

Inilah serentetan persitiwa sejarah perjuangan rakyat Tiongkok yang kemudian menjadi saksi kemerdekaan negaranya. Pertama, perang candu I (1839-1842). Inggris berusaha membuka pasar Tiongkok untuk membuka perdangan candu yang diproduksi Inggris di India. Usaha ini kemudian mendapatkan perlawanan dari rakyat Tiongkok dan terjadilan perang. Usaha rakyat Tiongkok tidak membuahkan hasil, melainkan perjanjian yang kemudian timbul memungkinkan Inggris memasukkan candu secara besar-besaran ke Tiongkok. Kedua, Perjanjian-perjanjian yang tak seimbang (1842-1843). Setelah Hongkong menjadi jajahan Inggris, lima buah pelabuhan Tiongkok terbuka untuk perdagangan asing dan konsesi daerah diberikan kepada kekuasaan asing.

Ketiga, revolusi Taiping (1850-1864). Pemberontakan Taiping semula muncul di Tiongkok Selatan, di provinsi Kwangtung dan Kwangsi yang dipimpin oleh Huang Hsin Cun, seorang petani miskin dari Kwangtung. Anggota utama pasukan Taiping adalah kaum tani, para pelaut yang kegiatannya di pelayaran selalu dirugikan oleh pengangkutan asing pantai. Hal yang paling manarik, Kerajan Taiping menberikan hak kesamaderajatan kepada kaum perempuan untuk menjadi pimpinan perang. Revolusi Taiping tidak berjalan lama setelah dihancurkan oleh keekuatan Sino Manchu dibawah kekuasan Jendral Tseng Kuo Fan yang dibantu oleh pasukan reguler Inggris dan pasukan upahan Eropa dan Amerika.

Berlanjut pada perang candu II (1856-1864). Perang ini dilancarkan oleh Inggris dan Prancis dan kemudian ditutup dengan perjanjian Tientsin (1858) dan Peking (1860). Dalam waktu ratusan tahun kerapkali muncul pemberontakan-pemberontakan seperti yang disebut diatas, sampai pada akhirnya lahir kepemimpinan Mao Tse-tung yang membawa obor besar bagi perjuangan revolusi kemerdekaan dengan long March yang mengepung seluruh pusat-pusat penjajah hingga akhirnya Tiongkok bebas dari segala macam reaksioner dalam dan luar negeri. Dan pada 1 Oktober 1949 Mao Zedong berdiri di loteng Tien An Men (Peking) di depan ratusan ribu rakyat Tiongkok untuk menyatakan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. ( Hal. 138)
Di negara lain, Filipina sangat tragis perjuangannya sebab harus berperang dengan penjajah di pulau-pulau. Bagaimana tidak, Filiipna merupakan negeri kepulauan yang terdiri dari 7.000 pulau dengan luas 300.000 km2. Negeri ini beriklim tropis dengan hujan yang sangat deras dan pulau-pulaunya diselimuti oleh hutan tropis yang sangat rapat dan lebat. Pulau utama adalah Luzon di utara dan Mindanao di selatan.

Awal penjajahan di Filipina terhitung sejak kedatangan kerajaan Spanyol untuk mencari rempah-rempah, emas dan juga untuk perluasan kerajaan pada abad XVI. Tahun 1580, Spanyol berhasil memaksakan kekuasaan kolonialnya dan memaksakan sistem feodal di daerah-daerah luas dengan memaksan rakyat Filipina menanam gula, kopra, tembakau, dan serat. Hasil dari tani tersebut dipaksa untuk dijual dengan harga yang sangat murah. Semasa penjajahan Spanyol, dari tahun 1565 sampai 1884, di Filipina terjadi labih dari 200 buah revolusi dan pemberontakan rakyat yang meletus secara sporadis dan diikuti oleh anak-anak dibawah umur 19 tahun. Kerja paksa merupakan salah satu sebab timbulnya pemberontakan. (Hal. 207)
Dalam kondisi berkecamuknya pemberontakan rakyat Filipina terhadap Spanyol, Amerika datang untuk mengambil alih kekusasaan atas Filipina dengan berpura-pura menjadi sekutu bagi Filipina dan menyatakan perang terhadap Spanyol pada tanggal 25 April 1898. Saat itu, rakyat pejuang Filipina beranggapan Amerika akan menjadi dewa penyalamat bagi kedaulatan negerinya. Tapi sayang, dugaan pejuang rakyat Filipina meleset dan menghantarkan Amerika menguasai Filipina atas perjanjian pengalisahan kekuasaan setelah Spanyol kalah atas Amerika.

Ratusan tahun, penjajahan demi penjahan berlangsung, namun pejuang rakyat Filipina tak pernah berhenti untuk melawan, hingga pada akhirnya perjuangan itu melahirkan kemerdekaaan total dan pada 4 Juni 1946, Filipina menjadi negara merdeka secara de facto.

Pada intinya, dari berbagai perjuangan rakyat yang dikisahkan dengan fakta sejarah dalam buku ini, kita bisa belajar banyak hal, khsususnya tentang perjuangan rakyat dengan senjata yang mereka yakini dapat mewujudkan kemerdekaan. Sekali lagi, perjuangan rakyat dan senjata menjadi syarat utama mewujudkan kemerdekaan. Sehingga, berdosalah para pemimpin bangsa ini ketika negara sudah merdeka hanya dijadikan alat pemuas kepentingan segelinitir elit dan kelompok, hingga mengabaikan kepentingan rakyat.

*)Romel Masykuri, Peneliti Muda Renaisant Institute (RI) Yogyakarta

Sumber: Kompas, 30 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar