#Sajak Malam
Kumatikan lampu; gelap jadi gulita
Kututup pintu, aku menuju pilu
Kutatap cahya, jadi bongkahan putih salju;
Dan irama ditalukan dari balik pudar cahya
Terang benderang dalam kelam
Melesat jadi kilauan dalam diam
Kalbuku yang mencari
Tanda dari deru nasib yang memancangkan kengerian
Kenangan-kenangan bagai ribuan diam
Dari riuhnya suara yang tertahan
Lama sekali, lamanya waktu buat menunggu,
kenapa hanya menunggu?
Pada lengkungan serupa senja di punggungmu
Kususuri sunyimu
Yang purba dari berlalunya waktu
Dan sehelai nafas dari lelap tidurmu
Membingku menyusuri sunyi yang lain
Kutemukan impian, di sana bayangan-bayangan
Seorang perempuan dengan gaun jingga bertudung sutra putih
Berjalan dari keriaan ke keriaan
Dari jalan sunyi sembunyi sedalam sepi
Lagu-lagu yang kau cipta melandakan kegamangan;
terus mendesak menekanku
Pada rindu akan perjumpaan.
Di lautan… di lautan…
Sekali malam ini hanya debur deru memburu
Ombak berserak diantara kapal tua dan rembulan
Sepasang bintang muram
langit berlumut kehilangan
Pagi kan juga kembali menarikan hidup sehari-hari
Kita mencari jemari malam itu, jarimu dan jariku
Mau mengucup mimpi
Begandeng bertalu seiring bunyi dari setiap sepi
Heningnya keheningan
Abadi dalam kehilangan
Sebelum waktu jadi penghabisan
Baik pejamkan matamu di antara derai hujan
Kan kujumput kau dari kerinduan
Walau ribuan jalan menikung dan aku tersesat lagi
dalam keterasingan aku terbuang
Tapi ada sehelai rambutmu di sisi senyummu
Tertinggal di sini;
menjadi malam, jadi nyanyian, menjadi tari-tarian
apa ini dendang samsara? asmaradana tanpa senggama;
dari kucup bibir nasib yang menalukan masa silam
Aduh
Dingin menjalari tubuhku
Dari waktu menuju waktu
Sampai di sini;
Kedinginan kini menjelmakan jalan
Menuju terang cahya kegelapan
Kurebahkan kepalaku, di punggungmu;
Keluasan lautan abadi; selalu
Kususuri dengan sampan kecil
Dari kertas dengan barisan sajak kecil
Tentang sebuah malam yang dilanda kehilangan
Sewaktu hujan dan kita saling menemukan
sebelum akhirnya hujan menjelmakan kepiluan
Sudah sudah jangan ucapkan
bahwa kita kan juga menempuh jalan
“Sekarang kemari kukucup bibirmu;
Dan selamat jalan….”
Jakarta, 4 Maret 2012
#Sajak Kenangan Untuk Ida
Waktu itu kita remaja riang kalbu alangkahnya
Ditepi kali lembut dibelai angin
dari waktu yang tak kita kira berlalu
Kini kutatap mega malam lembut suara
Bisikan dari kelana entah rupa yang mana
Wajah wajah pesona
senyuman mengerling menimpa muara
Dari kalbunya jiwa menengadah jauh dipenghujung
Biar sudah tahu waktu kan juga berlalu
Tapi kita nyanyikan lagu lagu selalu
Idaku,
Beria kita seperti hujan
Di antara tanah liat
kita tetap mengeja diri
kepada masa kanak-kanak
Kembali ke sana; menangkap isyarat
nyatanya waktu tak lagi sama
Antara kita tinggal jiwa-jiwa
Makin nganga ditimpa hampa
Makin hampa rindu yang dahulu
Kita sekarang bukan lagi wajah-wajah perjalanan
Kita tinggal disini dalam sebuah ruang; tak lagi hayalkan kajauhan
Di luar hanya takdir, di hadapan menunggu kita menyaksikan,
Bahwa kadang kita bukan bagian;
Idaku,
Kita sekarang di sini di dekap pekat
Segelas kopi tinggal dingin
kepekatan dari memoar waktu
yang baru saja berlalu
Dan siapa itu memancangkan rembulan ?
dalam lengkung garis diantara payudara
yang melantunkan lagu keheningan
Suara suara menjadi deburan ombak
Jauh disana entah di kepingan ribuan senja
bagai pecahan-pecahan ingatan
Idaku,
Aku sekarang seonggok kemuraman
Yang bersemangat melantunkan tembang
kegairahan; dari waktu yang menunggu
seribu senja digelar menjadi pesta pora kehilangan
Idaku,
Nanti kita kan dipersatukan
Kita jadi kanak-kanak lagi
Seperti saat hidup adalah perjalanan-perjalanan
Tanpa penghujung;
jalan selalu panjang menarikan masa kini; di sini
Selalu dalam keyakinan nanti
kan ada juga jalan menjumput
Ketika malam kita habis tempuhi kenangan;
sendiri-sendiri.
II
Jadi mari nyanyikan lagu-lagu ;
dari kidungnya sunyi
sebagaimana dulu kita menari-narikan keriaan senantiasa
menari-nari tarian kita terus ditari-tarikan
Hujan petang hanya berarti ingatan;
tuang lagi anggur dari senyuman paling manis
seperti setiap kali kau kelelahan dan bertanya; apa ini hidup?
Lalu kusuguhkan padamu secawan kesegaran;
yang kucuri dari lembut bola matamu
dank au tak tahu.
Aduh rindu di malam kini
di atas tumpukan debu kenangan
Kita sekarang saksikan kepiluan-kepiluan
dari hidup yang tak lagi kanak-kanak;
tapi tariannya terpendam dalam kedalaman,
sesekali kalbu meniadakan batas,
kita lelap sekali lagi
diantara lengkung senja yang menimpa ladang ilalang;
iya kita di antara angin dan langit temaram;
rasanya mabuk tak kepalang,
setan di hadapan
malu-malu menunda mau turut menjelmakan cahya penghabisan
Idaku,
Angin dari selatan membalut kalbu kita
Menuntun kepada jalan pulang akhirnya
Selamat jalan,
jangan larut dalam pilu membiru,
senantiasa menjadi baru,
tak sirna hawa dari tubuhmu;
Senantiasa menjelma wajahmu
yang tengah lelap dalam segelas kopiku,
Idaku,
Tapi sudah penghabisan;
dingin di renggut oleh waktu
cahya gulita jadi sehelai pelangi pagi
jangan dulu cuci segelas kopiku
barangkali masih ada sisa pilu dari rindu padamu
sebagaimana memanng selalu begitu
idaku…
Jakarta, 2 Maret 2012
# Di Balik Bukit Hampa
Kalbu yang dipertaruhkan di atas perapian
Dari hidup yang ingin dibakar gairah
Nafsu yang tak pernah mencukupi
Kekosongan yang tak pernah hening
Seperti kuda binal yang dilanda bimbang
Memacu laju walau tak tahu kan dituju
Tapi selagi padang dan ilalang
Menyembunyikan lautan
Kuda akan terus melaju
Menembus segala apa
Dengan keyakinan ada samudera
Di balik bukit hampa
Keluasan-keluasan
Aku mau hidup yang menari
Terus menari….
Jakarta, 2 Maret 2012
**Sabiq Carebesth lahir pada 10 Agustus 1985. Penyair dan pencinta buku dan kesenian. Tinggal dan bekerja di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar