Pages - Menu

18 April 2012

Cantik Itu Getir

Cerpen Uli Elysabet Pardede

Apa salahku memiliki rupa yang cantik? Ah, ternyata cantik begitu menyiksa aku. Sejak kecil aku merasa jadi tontonan orang-orang karena aku cantik. Kata cerita mereka, aku yang dulu mirip seperti sebuah boneka barbie dengan rambut yang ikal dan sedikit berwarna coklat. Selalu menarik hati orang-orang. Setiap sore ketika Bunda selesai memandikan aku, aku akan dipakaikan baju cantik dengan motif polkadot, motif yang sangat disukai Bundaku.   Jika sudah begitu maka orang-orang akan memandang aku dengan kagum.

“Bunda, aku takut…” Kataku saat orang-orang mendekat ingin menggendongku. Kupeluk Bundaku dengan erat sampai membuat baju motif polkadotku mengeriput.


Yah, motif polkadot yang membuat kenangan tersendiri bagiku dan Bunda. Namun, itu dulu saat masa kecilku yang indah. Kini, Bunda telah tiada, meninggal karena melahirkan adik laki-laki yang lucu. Aku sedih karena aku sendiri. Aku inginkan Bunda kembali dalam pelukanku lagi. Hidup bermanja-manja tidak ada lagi, karena aku sudah menjadi anak yatim piatu.

Semakin aku dewasa, semakin aku cantik. Tapi hidup tak hanya mengenai kecantikan saja bukan? Kulayangkan surat lamaranku ke banyak kantor hanya berbekal ijazah SMA-ku. Dalam hati sebenarnya aku ingin menjadi manusia yang sangat mandiri. Aku harus tau diri bahwa aku hanyalah anak yatim piatu yang tak boleh bermalas-malasan. Dan pada akhirnya niatku untuk mandiri pun dikabulkan oleh Tuhan. Aku diterima di sebuah kantor.

Ketika aku berjalan menapaki lantai kantor itu, semua mata tertuju padaku. Ada perempuan yang memandangku sinis. Dan ada laki-laki yang memandangku penuh birahi. Sungguh, aku muak dengan pandangan mereka, pandangan yang sesungguhnya sudah aku rasakan sejak aku kecil dulu. Tapi aku tetap ramah menghadapi mereka walau hati sakit menghadapi tatapan mata mereka yang beragam.

Waktu bergulir begitu cepat hingga akhirnya aku mulai terbiasa di kantor itu. Boss-nya sangat baik padaku membuat aku betah menetap bekerja di tempat itu. Namun semua berubah ketika kudengar bisikan para karyawan perempuan mengenai aku yang sebagai satu-satunya karyawan yang hanya tamatan SMA.

“Tamatan SMA kok bisa masuk kantor ini.”

“Jual tampang kali dia…”

“Atau dia simpanan Boss…”

Sesungguhnya celotehan mereka kudengar dan hatiku serasa diiris tapi ada sesuatu yang dinamakan harga diri menahan aku untuk tidak melabrak mereka satu per satu. Yang aku tahu, aku berada di kantor itu hanyalah untuk menyambung nyawa. Bukan untuk berdebat dengan mereka. Terkadang pula kudengar celotehan mereka seperti ini.

“Hidungnya oplas khan… Keliatan kok, dasar manusia yang ga bersyukur. Tapi dia punya duit dari mana yah?”

“Jual diri dulu kali. Eh, tapi bibirnya juga kayak bukan asli deh. Jangan-jangan oplas juga. Duh, masih baru tamat SMA udah oplas, kita tunggu aja kehancuran oplasnya. Pasti dia kayak nenek sihir.” Celoteh yang lain. “Sok cantik banget.”

Aku tetap bersabar, sepertinya mereka berbisik dengan suara yang keras supaya aku mendengarnya dan menangis di hadapan mereka. Mungkin itu harapan terbesar dari mereka. Tuhan, kuatkanlah hambamu ini.
Aku jadi ingat kata-kata Bunda semasa hidupnya dulu ketika aku menangis saat orang-orang yang memuji kecantikanku dan ingin menggendong aku membuat aku ketakutan.

“Sayang… Cantik itu sesuatu yang beda, itu yang membuat mereka memujimu,” Aku jadi bingung, dulu saat aku masih kecil dipuji-puji karena kecantikan. Kenapa saat aku sudah besar dihina-hina karena kecantikan? Jika Bunda masih hidup apakah Bunda akan berkata seperti ini? “Cantik itu sesuatu yang beda, itu yang membuat mereka membencimu.”

Karena aku cantik, aku jadi tak punya teman. Kalaupun ada mereka hanyalah laki-laki yang ada di kantor mengajak aku makan siang dan membayarnya. Oke, terima kasih banyak untuk penawaran itu, tapi kumohon jangan pandangi aku dengan nafsu.

Semua semakin runyam dan aku benci kata-kata “cantik”. Dan beberapa waktu kemudian aku dihadapkan kenyataan saat istri Boss-ku menampar aku karena aku dituduh berselingkuh dengan beliau. Lain lagi dengan seorang karyawan perempuan yang selalu merusak hasil kerjaku yang tergeletak di atas meja  jika aku sedang tidak ada di meja kerja. Karyawan perempuan itu melakukannya karena dia cemburu, aku sedang dekat dengan karyawan laki-laki yang ditaksirnya.

Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Aku tak tahan kalau cantik tetapi hanya untuk dicemburui. Aku jadi rindu masa kecilku di mana aku selalu dipuji-puji. Tapi kini…?

Sepulang kerja kumasuki kamarku yang berukuran 3x4 meter, kamar yang kecil dan sesak. Yang di dalamnya hanya ada kasur kecil yang tergeletak begitu saja di atas ubin. Kemudian sebuah lemari tua dan meja rias. Aku tepat duduk di bangku menghadap cermin yang sudah buram di atas meja rias. Aku menatap diriku dengan sangat menjijikkan.

Kalau memang kelebihanku hanya untuk dicemburui. Untuk apa? Kubuka laci meja rias yang menghasilkan bunyi yang mengerikan menandakan laci itu sudah sangat tua dan selayaknya diganti. Kuacak-acak isi laci yang tak beraturan itu kemudian kucampakkan barang yang sebenarnya tidak kucari, dan akhirnya kutemukan yang kucari yaitu sebuah gunting.

Entah apa yang kulakukan yang pasti beberapa menit kemudian gunting itu sudah dilumuri darah.

Esoknya, aku pergi ke kantor dan seisi kantor terkejut melihat aku. Yah, jelas sekali… Wajahku sobek di bagian pipi. Aku tidak menggoreskan semua karena jujur saja rasanya terlalu menyakitkan.

Yang jelas setelah kejadian itu dipecat dengan cara halus akhirnya kuterima. Namun mungkin karena iba akhirnya mereka mengizinkan aku bekerja sebagai cleaning service.

Cantik itu getir. Untuk apa cantik jika hanya untuk dicemburui bahkan dicelakai. Aku hanya berharap jika suatu saat nanti aku memiliki anak tidak ada yang berwajah cantik. Karena cantik itu getir, dan membuat hidup dilecehkan.

Kulanjutkan kembali kegiatanku menyapu lantai kantor tanpa ada lagi yang memperhatikan aku dengan kagum atau mungkin cemburu. Karena aku, bukan aku yang dulu. Yang cantik tapi penuh luka…
Pematangsiantar, 17 April 2012

Penulis: Uli Elysabet Pardede.
Kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1991. Sekarang berdomisili di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Sedang menyelesaikan studi di Amik Tunas Bangsa Pematangsiantar, Sumatera Utara. Suka menulis fiksi mengenai perempuan. Biasa menulis di www.kompasiana.com/ulipardede atau www.truepardede.blogspot.com .

Sumber: Kompas, 17 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar