Oleh Mohammad Baghendra Lodra
Papan nama karatan bertuliskan "Museum Arsip Nasional Republik Indonesia" itu menunjuk gedung tua. Semua masih terawat baik di gedung itu.
Namanya memang museum arsip, tapi jangan harap Anda bisa menemukan arsip-arsip kuno nan bersejarah di dalamnya.
Di papan nama itu masih tertulis Museum Arsip Nasional Republik Indonesia, tapi ternyata sejak 1992, gedung tua di Jl. Gajah Mada No. 111 itu sudah berganti nama menjadi Museum Gedung Arsip Nasional.
Fungsinya ikut berubah, menjadi gedung warisan budaya serba guna.
Keaslian arsitektur gedung ini terjaga baik. Tampilannya unik dan berbeda dari rangkaian gedung-gedung modern yang ada di kanan-kirinya.
Arsitekturnya kuno, khas gedung era kolonial Belanda dulu, tepatnya warisan abad ke-18.
Dari barisan bangunan era kolonial yang pernah ada di rangkaian jalan tua Jakarta yang di utaranya berhenti di kota tua di Jakarta Barat, Museum Gedung Arsip Nasional adalah satu-satunya yang kukuh bertahan dari usikan zaman.
Dibuat pada 1760, awalnya diperuntukan sebagai rumah peristirahatan bagi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Reyner De Klerk.
Letaknya yang tepat di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, membuat museum ini acap dimanfaatkan orang-orang sekitar untuk sekadar mencari angin segar.
Tak ada pungutan sepeser pun untuk memasukinya
Sore harinya, para orang tua membawa anak-anak mereka untuk bermain-main di halaman museum.
"Setiap sore saya ke sini. Halamannya luas, adem lagi, jadi enak buat tempat main anak”, ujar Jaka, seorang pengunjung yang tengah mengajak main anaknya.
Pagi harinya, orang-orang memanfaatkan gedung berhalaman luas ini sebagai situs berolahraga ringan, senam, atau sekadar lari berkeliling halaman museum.
Sungguh, warga sekitar, memetik manfaat besar dari museum ini. Senin sampai Minggu, segala orang boleh menyambangi museum ini.
Ini memang sudah menjadi ruang terbuka yang lama dimimpikan warga Jakarta. Ini bagai oase penghilang dahaga warga Jakarta yang setiap waktu kehilangan lahan terbuka hijau.
Memang, kompleks ini tak hanya mempunyai halaman luas dan gedung antik mempesona, tapi juga hamparan bunga dan hijaunya tetumbuhan.
Selain warga lokal yang kebanyakan para pelajar, museum ini juga kerap dikunjungi turis mancanegara, dari Asia sampai Eropa.
Orang-orang asing ini kerap mengagumi arsitektur kuno dan keasrian museum.
Meski sudah tak lagi memumpun arsip bersejarah, museum ini masih menyimpan beberapa barang antik peninggalan Belanda. Meja makan, tempat tidur, meriam, sampai lonceng. Semua ada di sana.
Di lantai dua, di satu ruangan khusus, tersimpan beberapa peta pulau di Indonesia yang kebanyakan dibuat pada abad 17.
Ada juga foto-foto kegiatan para tentara Belanda era kolonial. Tak hanya itu, kelengkapan prajurit Belanda seperti pedang, senapan, dan tongkat komando, juga ada di sana. Semuanya menjabat erat lengan sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun karena sudah dilabeli fungsi "serba guna", aneka fungsi digelar di museum ini, termasuk untuk acara-acara kenegaraan.
Saat Pangeran Charles pada 2008 dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengunjungi Indonesia, masing-masing pada 2008 dan 2009, museum ini sempat berubah menjadi tempat jamuan makan malam tamu kenegaraan.
Warga Jakarta juga kerap menggunakannya sebagai tempat pesta. Lebih sering, ya sebagai tempat resepsi pernikahan.
Untuk pesta bagi para pengantin, Rp10 juta sampai Rp25 juta adalah dana yang biasanya dikeluarkan setiap pasangan nikah untuk menyewa bagian dari kompleks gedung ini.
“Banyak warga Jakarta yang senang akan suasana dan arsitektur kunonya untuk dijadikan tempat menikah”, ujar H. Ariani, Manajer Marketing Museum Gedung Arsip Nasional.
Ini mungkin sebuah cara unik, tapi efektif, dalam memelihara warisan sejarah dan tetap jelasnya jejak-jejak identitas bangsa.
Lain dari itu, kombinasi antara kestrategisan lokasi dan rasa memiliki dari warga sekitar yang tinggi, membuat gedung tua ini terus hidup dan bermanfaat.
Mungkin semua museum dan graha-graha kuno pencipta jejak bangsa, bahkan candi dan stupa, perlu berkaca dari bagaimana Museum Gedung Arsip Nasional memelihara dirinya.
Sumber: Kompas, 18 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar