*Oleh Romi Febriyanto Saputro
Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal kurang lebih seribu empat ratus empat puluh satu tahun yang lalu. Kelahirannya merupakan awal tegaknya peradaban yang mulia, tidak hanya berdimensi dunia namun juga akhirat.
Michael H Hart dalam bukunya, 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah , menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia nomor satu di dunia. Menurut Hart, jatuhnya pilihan kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi Hart berpegang pada keyakinannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.
Salah satu ciri peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW adalah peradaban yang cinta membaca. Para sahabat Rosulullah Saw adalah orang-orang yang terkenal memiliki minat baca yang cukup tinggi. Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al Ghazali mencatat beberapa hadits dan riwayat mengenai pembacaan Al Quran sampai khatam. Digambarkannya, bagaimana para sahabat dengan keimanan dan keikhlasan yang tinggi, berlomba-lomba membaca Al Quran sampai khatam, ada yang khatam dalam sehari semalam saja, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam.
Di dalam hadits yang shahih, Rasulullah menyuruh Abdullah bin ‘Umar, supaya mengkhatamkan Al Quran sekali dalam seminggu. Begitulah para sahabat seperti Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan ‘Ubaiyy bin Ka’ab, telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan Al Quran pada tiap-tiap hari Jumat. Disamping itu, ada juga di antara sahabat yang membaca Al Quran sampai khatam dalam sebulan, untuk memperdalam penyelidikannya mengenai maksud yang terkandung di dalamnya.
Mengapa para sahabat Rasulullah Saw memiliki minat baca yang cukup tinggi dalam membaca Al Quran ?. Pertama, karena bagi seorang mukmin membaca Al Quran telah menjadi ibadah kecintaannya. Pada waktu membaca Al Quran, ia sudah merasa seolah-olah jiwanya menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, menerima hikmat suci, memohon limpah karunia serta rahmat dan pertolonganNya. Dengan minat baca yang cukup tinggi itulah, maka tidaklah mengherankan jika generasi pertama Islam adalah merupakan generasi emas yang akan terus dikenang dalam lintasan sejarah peradaban manusia.
Kedua, membaca Al Quran akan mendapatkan balasan pahala (kebaikan) dari Allah. Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al Quran), maka ia mendapat satu kebaikan. Setiap kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan : “ Alif laam miim satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”. (HR. At Turmudzy)
Ketiga, untuk meraih derajad dan kemuliaan yang tinggi di sisi Allah SWT. Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajad beberapa kaum dengan Al Kitab (Al Quran) ini, dan ia akan mereendahkan derajad kaum yang lain dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, sebagai motivator dalam kegiatan belajar dan mengajar. Rasulullah Saw bersabda : “Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al Quran. Belajar Al Quran hakekatnya adalah mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah, baik yang terdapat dalam Al Quran sendiri (ayat-ayat qauliyyah) maupun tanda-tanda kekuasaan Allah yang berada di alam semesta (ayat-ayat kauniyyah) yang dikenal dengan ilmu alam ataupun hukum alam yang dilandasi dengan teori-teori tertentu.
Minat baca yang tinggi dalam membaca Al Quran ini seolah menjadi inspirasi bagi umat Islam dikemudian hari untuk membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam Al Quran. Dalam Al Quran banyak sekali ayat yang mengisyaratkan teori tentang ilmu pengetahuan, misalnya “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-manzilah (tempat-tepat bagi perjalanannya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaranNya kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al Quran Surat Yasin (36) ayat 38-40)
Langkah awal untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan ini diawali dengan kegiatan penerjemahan buku-buku dari bahasa asing. Usaha penerjemahan ini dimulai sejak masa Bani Umayah (661 – 750 M) dan makin ditingkatkan pada masa Bani Abbasiyah (794 – 1258 M) dengan dukungan yang cukup besar dari khalifah. Abu Ja’far Al Mansur (754 – 775 M) telah mendatangkan ahli-ahli penerjemah yang menerjemahkan buku-buku kedokteran, Ilmu Falak dan Ilmu Pemerintahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia dan India.
Belum sampai satu abad berdirinya pemerintahan Abbasiyah, ulama-ulama Islam telah memiliki ilmu tersebut dan lahirlah ahli-ahli al hikmah dan falsafah yang tidak kalah dengan para filosof Yunani. Misalnya Al Hasan bin Musa yang termasyur dalam Ilmu Pasti dan Muhammad bin Musa Al Khawarizmi penemu ilmu Aljabar.
Sesudah gerakan penerjemahan dan penelitian ini barulah datang masa penyempurnaan, penyusunan dan penemuan sendiri. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam hal ini misalnya Abu Nashs Muhammad bin Tharkhan Al Farabi atau Alphanabius (wafat 961 M) pencipta alat musik yang dinamai Al Qanun, yang kemudian ditiru oleh orang barat dengan nama piano dan Abu Ali Al Husein bin Sina atau Aviciena (980-1037 M )
Para ulama dan cendekiawan pada masa keemasan Islam telah mengarang ratusan buku dalam bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan oleh orang barat ke dalam bahasa mereka. Orang barat pada masa itu yang masih terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan, terpaksa mempelajari bahasa Arab supaya dapat menerjemahkan bermacam-macam buku yang dikarang oleh para ulama Islam.
Setelah merasa cukup, barulah mereka kembali ke negerinya masing-masing untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapatnya. Jasa ulama Islam ini diakui oleh dunia barat sendiri. Menurut mereka Islam adalah jembatan kemajuan yang menghubungkan antara kemajuan Eropa di masa lalu dengan kemajuan Eropa di masa sekarang.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah para ilmuwan Islam pada masa itu adalah orang-orang yang memiliki minat baca yang cukup tinggi terhadap Al Quran. Jadi semangat mereka untuk melakukan riset ilmiah lebih didorong oleh spirit tauhid yang sangat tinggi daripada sekedar mencari popularitas dan materi duniawi belaka.
Ibnu Sina pakar kedokteran muslim dikenal memiliki minat baca yang tinggi sehingga pada usia sepuluh tahun dapat menguasai Al Quran dan huruf klasik Arab klasik. Ketika berusia tujuh belas tahun, beliau mulai tertarik ke bidang obat-obatan dan berhasil menyembukan sakit yang diderita Raja Bukhara, Nuh Ibn Mansur setelah beberapa dokter terkenal gagal mengobatinya. Ibn Sina akhirnya meraih gelar dokter pada usia delapan belas tahun.
Pada masa keemasan Islam seorang ilmuwan Islam adalah juga seorang ulama. Dengan kata lain, ulama yang memiliki kelebihan di bidang ilmu alam/sosial tertentu. Hal ini sesuai dengan terminologi dalam Al Quran yang mengartikan ulama dengan orang yang berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum yang semua itu hakekatnya adalah ilmu Allah. Berbeda dengan terminologi sekarang yang membedakan orang yang ahli agama dengan sebutan ulama dan orang yang ahli ilmu selain agama dengan sebutan ilmuwan.
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP ialah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar