Pages - Menu

07 Februari 2012

"Klotekan Lesung" pun meriahkan Cap Go Meh

Oleh Sumarwoto

Copet berkeliaran saat perayaan Cap Go Meh"Tek, tok, tek, dug, tek, tok, tek, dug", suara "lesung" (alat penumbuk padi, red.) yang ditabuh oleh enam perempuan lanjut usia itu terdengar di gerbang Gedung Tri Dharma Kelenteng Boen Tek Bio, Banyumas, Minggu malam.

Bersamaan dengan tetabuhan yang dikenal dengan sebutan "Klotekan Lesung", terdengar alunan lagu Jawa "lumbung desa pratani padha makarya, ayo dhi njupuk parinata lesung nyandhak alu, ayo yu padha maju yen wis rampung nuli adang, ayo kang dha tumandang nosoh beras nata lumpung" sembari mengiringi tiga bocah penari.


Lagu berjudul "Lumbung Desa" yang dilantunkan sang pesinden ini mengandung makna berupa ajakan untuk bekerja menumbuk padi agar menjadi beras sehingga bisa dimasak menjadi nasi.

"Klotekan Lesung" merupakan sebuah kesenian khas Banyumas yang hampir punah.

Kesenian yang biasa dimainkan oleh ibu-ibu rumah tangga ini sering tampil dalam acara-acara yang digelar di Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas, khususnya dalam perayaan Cap Go Meh.

Meskipun telah berulang kali tampil, dalam perayaan Cap Go Meh kali ini, pihak Kelenteng Boen Tek Bio sengaja menempatkan grup "Klotekan Lesung" Mugi Lestari dari Desa Papringan, Kecamatan Banyumas, tersebut di gerbang Gedung Tri Dharma sebagai penyambut tamu undangan.

Tidak hanya "Lumbung Desa" yang dinyanyikan bersama iringan "Klotekan Lesung" ini, tetapi juga lagu "Lesung Jumenglung" dan "Bendrong Kulon".

Salah seorang pengasuh Grup "Klotekan Lesung" Mugi Lestari, Darisun mengaku senang bisa tampil dalam perayaan Cap Go Meh di Kelenteng Boen Tek Bio.

"Kami telah berulang kali tampil di sini. Kami senang karena keberadaan budaya Banyumas masih dihargai, hanya saja saat ini `Klotekan Lesung` sulit untuk regenerasi," katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan generasi muda untuk bisa meneruskan kesenian tradisional ini agar tidak punah.

Penampilan "Klotekan Lesung" ini pun mendapat sambutan meriah dari para tamu undangan yang mayoritas warga keturunan China (Tionghoa).

Bahkan, tidak sedikit di antara warga Tionghoa ini yang mengabadikan penampilan kesenian tradisional tersebut dengan kamera yang mereka bawa.

"Sangat bagus. Jarang ada perayaan Cap Go Meh seperti ini, yang diisi berbagai kesenian lokal, sehingga warga Tionghoa bisa berbaur dengan masyarakat atau sebagai wujud keakraban," kata Yanuar, seorang warga Tionghoa dari Purwokerto.

Menurut dia, perayaan Cap Go Meh di Kelenteng Boen Tek Bio ini merupakan salah satu wujud pembauran warga keturunan China (Tionghoa) dengan masyarakat Banyumas sehingga diharapkan dapat dipertahankan dan menjadi contoh bagi daerah lain.

Dengan demikian, kata dia, konflik antaretnis dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan.

Sementara itu, juru bicara Kelenteng Boen Tek Bio, Sobitananda mengatakan, perayaan Cap Go Meh kali ini mengusung tema "Membudayakan Toleransi Antar-Umat Beragama Dalam Perayaan Cap Go Meh Lintas Agama".

Dalam hal ini, dia mengatakan, pihaknya mengundang tokoh-tokoh atau rohaniwan dari agama Islam, Kristen, Katholik, dan Konghucu berikut grup kesenian dari gereja maupun masjid.

"Hanya saja dalam perayaan Cap Go Meh kali ini, grup kesenian dari Masjid Andre Al Hikmah PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Banyumas tidak bisa tampil karena banyak kesibukan (bersamaan dengan perayaan Maulud Nabi Muhammad saw., red.). Mereka siap untuk tampil kembali dalam perayaan Cap Go Meh tahun depan," katanya.

Dalam perayaan Cap Go Meh tahun-tahun sebelumnya, Remaja Masjid Andre Al Hikmah selalu menggelar kolaborasi gamelan dan rebana guna mengiringi salawat yang mereka kumandangkan.

Kendati demikian, sejumlah kesenian Jawa tetap memeriahkan perayaan Cap Go Meh di Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas.


"Beberapa tarian seperti tari Merak juga tampil dalam perayaan Cap Go Meh kali ini," kata Sobitananda.
Lebih lanjut, dia mengatakan, dengan pergelaran kesenian ini, pihaknya ingin mewujudkan kelenteng sebagai rumah budaya.

Dalam hal ini, kata dia, pihaknya ingin merangkul atau mewadahi berbagai budaya yang ada di sekitar kelenteng, terutama budaya Banyumasan yang sudah langka seperti halnya "Klotekan Lesung" dari Desa Papringan.

"Kami juga ingin membudayakan toleransi umat beragama karena kelenteng adalah rumah budaya," katannya.
Terkait perayaan Cap Go Meh yang mengundang tokoh lintas agama termasuk keseniannya, dia mengatakan, kemungkinan baru Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas yang menggelarnya.

Menurut dia, hal itu diketahui saat mengikuti sebuah seminar di Universitas Tarumanegara, Jakarta, pada bulan September 2011 silam.

"Ternyata Boen Tek Bio Banyumas satu-satunya kelenteng yang bisa menampilkan pertunjukan, baik dari gereja, masjid, budaya kelenteng, budaya lokal, dalam satu panggung atau perayaan. Kita ingin Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas menjadi teladan bagi kelenteng-kelenteng lain di seluruh Indonesia untuk membudayakan toleransi antarumat beragama," katanya.

Ia mengaku sempat berbincang-bincang dengan beberapa pengurus kelenteng dari daerah lain.

Dalam perbincangan tersebut, kata dia, sejumlah pengurus kelenteng khawatir terjadi sesuatu hal jika menggelar perayaan atau pertunjukan lintas agama seperti yang diselenggarakan oleh Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas.

"Perayaan Cap Go Meh lintas agama ini merupakan tahun keempat. Kami juga bersyukur karena rohaniwan dari Islam, Kristen, Katholik, Buddha, dan beberapa pemimpin pondok pesantren berkenan hadir dalam acara ini," katanya.

Sebagai wujud kepedulian terhadap budaya bangsa, kata dia, dalam perayaan Cap Go Meh kali ini, seluruh panitia mengenaikan busana bermotif batik.

"Batik merupakan kebanggaan kita sebagai warga negara Indonesia. Bahkan, banyak turis mancanegara yang bangga menggunakan batik," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya ingin mengajak warga Tionghoa untuk ikut bangga terhadap produksi Indonesia khususnya batik.

"Indonesia merupakan negara bermartabat dan negara besar. Oleh karena itu, kita mengharapkan, kita sebagai warga negara Indonesia berjiwa besar dan tidak minder," katanya.

Menurut dia, pihaknya juga selalu berkeinginan untuk mengangkat budaya-budaya Indonesia lainnya setiap kali ada kesempatan, seperti hanya pergelaran keroncong dalam Sembahyang Tien Thi Kong beberapa waktu lalu.

"Keroncong merupakan musik klasik yang dimiliki Indonesia yang patut kita banggakan. Bahkan, dari Jepang pun memberikan penghargaan yang luar biasa terhadap musik keroncong," katanya.

Sumber: Kompas, 6 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar