Pages - Menu

06 Februari 2012

E r o t e s i s

Cerpen Muhammad Nurcholis

Jalanan berdebu, matahari bersinar terik, asap kendaraan mengepul di sana-sini dari knalpot kendaraan bobrok. Di atas soundsystem yang disusun di mobil pick-up, seseorang bertubuh kerempeng berteriak-teriak, meradang, mereguk-redam, meneriakkan kepada orang yang nuraninya masih peduli. Sesekali teriakan semboyan membahana dari tenggorokannya yang kering, yang sehari-hari mungkin hanya terisi nasi berlauk ikan teri dan segelas air putih dari warung Tegal. Teriakan semboyan membuat teman-temannya bergoyang.

Mereka menggumam-nggumamkan syair perjuangan sambil berpegangan tangan, menggerakkan badan ke kanan-kiri secara berirama. Sesekali, anak muda yang terlalu bersemangat mendorong teman yang ada di depannya, yang secara otomatis, mendorong satu teman di depannya lagi. Seperti domino, yang terdepanlah yang harus berhadapan dengan orang-orang berpakaian coklat-coklat yang membawa perisai dan bersenjatakan pentungan, seperti di film-film India.


***
Matahari semakin terik, jalanan memantulkan sinar mentari yang terang, membentuk fatamorgana oasis di aspal yang kering. Tidak ada kendaraan yang lewat, jalanan diblokir. Slayer putih sudah dipasangkan menutup separuh muka mereka. Yang lebih panjang lagi, berwarna merah, diikatkan di kepala sebagai bandana, seperti di film-film Jepang. Si kerempeng melompat turun dari singgasananya. Disambut pekikan “Hidup rakyat Indonesia”!

Si kerempeng kini berembug bersama beberapa teman-temannya. Mereka berkumpul.
 “Kita harus bisa masuk ke gedung ini”
 “Tidak bisa, pintu gerbang dijaga ketat”
 “Kita ada berapa?”
 “Paling tidak, sekitar 150 orang saja”
 “Kita ada berapa??”
 “Sekitar 158 orang mungkin tepatnya..”
 “Kita ada berapa!!”
 “…..”
Senyap. Teman-temannya sudah memberikan jawaban dengan sangat tepat, namun pemuda tadi masih saja menanyakannya.

“Bersama kita seluruh rakyat Indonesia yang telah terenggut kemerdekaannya! Bersama kita orang-orang yang teraniaya dan tidak berani bersuara! Kita bukan seperti mereka yang tidak bisa seperti kita dan lebih memilih mengintip dari sudut jendela! Berapa kita? Ribuan!! Beribu-ribu rakyat yang tidak menerima keadilan!! Berapa kita?? Jutaan!!! Berjuta rakyat yang menjadi budak di negeri sendiri dan termarjinalkan!! Rakyatkah yang harus menanggung akibat dari semua korupsi dan manipulasi di negeri ini??!! Mari bersama, kita bisa!!”

 “Berapa kita?”

 “Ribuan!!”
 “Bukan. Berapa kita??!!”
 “Jutaan!!”
 “Mari kita bergerak!! Hidup rakyat Indonesia!!”
“Hidup rakyat Indonesia!!!!”
Teriakan pun membahana. Teriknya mentari, pekatnya asap polusi, gedung-gedung angkuh yang memantulkan sinar mentari tidak menyurutkan langkah mereka. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.

***
Di sudut gedung seseorang berkacamata hitam tengah berbicara dengan seseorang yang berseragam cokelat-cokelat.

 “Mereka sudah kelewatan”
 “Cih, mahasiswa yang kurang kerjaan. Mau makan apa mereka nantinya”
 “Itu sudah kelewatan. Mereka bergerak menerobos pasukan pembatas”
 “Coba saja, kalau mereka mau pulang dengan cacat”

 “Sudah, hentikan, jangan biarkan sejengkal-pun mereka masuk. Jika berani, habisi”
 “Pasti, tuan. Silahkan kembali saja ke dalam, membahas kebijakan bersama teman-teman anda”
Blip! Walkie-talkie diambil dari ikat pinggang.

 “Sersan Joko, over”
 “Sersan Joko Siap!”
 “Bereskan mereka. Melawan, habisi”
 “Siap. Laksanakan!”

***
Sang Pemuda kerempeng berjalan di depan disertai jutaan pengikut di belakangnya, bak penggembala domba yang sedang menuntun gembalanya agar tidak tersesat. Para dombapun mengikuti dengan mantap. Dengan mata nyalang yang terisi ideologi perjuangan. Walaupun mereka sendiri merasa seperti domba, dalam hati mereka berkata: “Kami bukanlah domba-domba yang tersesat."

Sang pemuda kerempeng kini menjelma menjadi juru penyelamat. Seluruh beban bangsa seolah tertumpah ke pundaknya. Tapi, mengapa dia? Bukankah masih banyak pemuda yang lebih tangguh? Dengan dada bidang dan lengan baja? Penampilan rapi dan prestasi akademik yang luar biasa? Para domba rupanya mafhum, karena memang mereka telah diajarkan: Pemimpin tidak dilahirkan tetapi dididik. Agaknya ini menyalahi mitos the Birthright dalam teori Kepemimpinan yang menyatakan kebalikannya. Apakah domba-domba ini sudah sesat?

Jarak kedua golongan yang berbeda keyakinan tinggal sepanjang galah. Satu kelompok berpakaian kasual, berjas biru, berbandana dan bertopeng slayer mengepal-ngepalkan tinju ke atas berpekik: ”Revolusi!! Revolusi!! Revolusi!!”. Menuju kelompok lainnya yang berpakaian cokelat-cokelat, berperisai, bersenjatakan pentungan, bertopi yang sedang  merapatkan barisan mereka, memasang kuda-kuda dengan membentuk pagar manusia sambil menunggu perintah dari seseorang yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka.

Keduanya, sama-sama memperjuangkan kebenaran yang masing-masing mereka yakini. Mengapa kebenaran tidak bisa sinergi?

Jarak sudah terlampau dekat. Si kerempeng menghentikan langkahnya. Berteriak,
“Izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”
Suasana membisu, kelompok seragam cokelat-cokelat semakin mempererat barisan.

“Bapak-bapak yang budiman, izinkan saya bertemu dengan anggota dewan di dalam! Kami ingin membuat beberapa kesepakatan!”
Masih saja diam.

Melihat ini, pemuda-pemuda yang tidak sabaran mendorong teman yang ada di depannya. Seperti domino, yang depan akhirnya mendorong pemuda kerempeng ke arah bapak-bapak yang budiman. Karena kerempeng, dihempaskan tubuhnya kembali oleh perisai-perisai transparan. Domba-domba marah. Juru selamat mereka telah didzalimi. Serentak dari belakang mendorong sesama temannya ke depan. Kericuhan tumpah. Saling dorong terjadi. Domba-domba geram, diambilnya apa saja yang ada disekitar situ. Kerikil tajam maupun tumpul, bangku-bangku taman, botol, kalau perlu sepatu mereka sendiri, mereka lemparkan ke kelompok bapak-bapak yang sudah tidak budiman. Si kerempeng terjepit diantaranya.

“Hentikan saudara-saudara! Jangan bertindak anarkis!” “Hentikan!!”
Suara si kerempeng tenggelam di tengah riuhnya domba-domba yang murka. Memang, kalau marah, tidak ada lagi yang bisa didengar.

“Pukul mundur!”
Dari belakang pagar perisai terdengar suara lantang. Mungkin ini yang disebut sebagai komando, karena setelahnya bapak-bapak budiman mengangkat pentungannya. Menyabetkan secara membabi-buta ke orang-orang di depannya.

“Plak!” “Plok!”

“Bletak!”
Bapak-bapak yang sudah jadi biadab tambah maju. Kelompok domba-domba tercerai berai. Ketakutan kena sabet pentungan hitam. Mereka berlarian ketakutan, meninggalkan tubuh-tubuh yang berguguran kesakitan.

Lalu, dimana tokoh kita tadi? Pemuda kerempeng yang berperan sebagai juruselamat.
Dia terkapar, dengan jidat yang bersimbah darah. Amis. Telentang, mata terpejam, merintih. Syukurlah, dia masih bernafas.

***
Sebuah mobil sedan mewah meluncur menembus jalanan Ibukota. Ketika menemui kemacetan, mobil dibelokkan melewati samping kendaraan yang sedang mengantri. Tanpa ragu, mobil terus melaju.
Di persimpangan depan, sebuah mobil berwarna putih bergaris-garis biru terparkir. Mobil sedan terpaksa berhenti. Seorang bapak-bapak berpakaian cokelat-cokelat menghampiri. Berhenti, mengetuk kaca mobil, kemudian memberi hormat.

Kaca mobil dibuka.

“Selamat pagi, Pak. Bapak telah melanggar lalu lintas melewati bahu jalan”
“Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru mengantar bos saya yang hendak pergi ke gedung dewan.” Sopir berkata dengan terbata-bata.

Kaca mobil belakang terbuka. Seorang pria necis berkata.

“Ada apa ini, Pak?” “Apakah Bapak tidak melihat plat mobil saya?”

“Saya sudah melihatnya, Pak. Memang plat khusus. Tapi bapak tetap melanggar aturan lalu lintas karena jalanan sedang ramai begini” jawab petugas berseragam cokelat yang memakai rompi biru-putih.

“Sudah, Din. Kasih saja” pria tadi menyuruh sopirnya.

Dikeluarkannya selembar uang berwarna merah.

“Maaf, Pak. Kami tidak bisa berlama-lama. Ini sebagai kompensasi dari kami” seraya menyuguhkan uang tadi.

“Saya sudah lama menjadi pengayom masyarakat, Pak. Berbagai kesatuan telah saya masuki. Saya bekerja hanya untuk bangsa”

“Pak, saya mengerti. Saya juga sedang bekerja untuk bangsa dan negara. Saya berbuat begini, karena sedang terburu-buru. Sudahlah, terima ini. Ini ikhlas pemberian dari saya.”

Pria necis menyodorkan tiga lembaran uang berwarna merah. Kali ini bapak berseragam cokelat-cokelat terdiam. Mengingat dapurnya yang harus mengepul. Menerima pemberian sesekali tak apalah. Toh, ini pemberian ikhlas, pikirnya. Dia mengambil uang itu, dengan memandang pria necis tadi. Matanya tertuju pada luka di dahi pria di depannya. Ingatannya terkuak. Ia mematut-matut orang yang ada di depannya dengan orang-orang yang pernah ditemuinya. Orang-orang yang telah ditemuinya dalam berbagai kesatuan yang ia ikuti. Sepertinya memang tidak asing.

“Baiklah,Pak. Lain kali mohon jangan diulangi. Terima kasih atas kebaikan Bapak.”
“Maaf, pernahkah kita bertemu?”

Pria necis berpikir. Memang sepertinya iya. Suatu waktu di masa lalunya. Tentang itu perjuangan di suatu masa. Namun hidupnya telah berganti halauan saat ia harus dihadapkan kepada realita. Hidup ini adalah fase yang relatif. Perjuangan sebenarnya adalah ikut di dalam pemerintahan negara ini. Bermain di dalamnya, menjadi pelaku, bukan pengamat saja yang beraninya sembunyi di balik jendela. Kita bisa menjadi apa saja, sesuai dengan keinginan kita, pikirnya.

Kaca mobil ditutup. Mobil dibelokkan mengambil tempat antara dua mobil yang berjarak. Melewati mobil patroli, kemudian berbelok lagi melewati bahu jalan menembus kemacetan Ibukota.

Inilah sebab mengapa jalur jalan utama ibukota macet. Di depan gedung anggota dewan berkumpul ribuan orang. Orang-orang membawa umbul-umbul, membawa spanduk yang dibentangkan sepanjang pagar, salah satunya bertuliskan: “HARUSKAH RAKYAT YANG MENANGGUNG AKIBAT DARI KORUPSI DAN MANIPULASI DI NEGERI INI?”

Di atas mobil bak terbuka, di atas soundsystem yang dihidupkan oleh tenaga diesel, seorang pemuda tengah berapi-api melakukan orasi. Di bawahnya ribuan orang – mahasiswa mungkin – mengepal-kepalkan tinjunya. Sesekali mereka memekik: “Hidup rakyat Indonesia!! Hidup rakyat Indonesia!!”

Mereka bersemangat, tambah bergelora gemuruh perjuangan di dada mereka. Seolah-olah, hidup adalah perjuangan di saat muda saja. Inilah tonggak sejarah bagi hidup mereka, mungkin begitu pikir mereka.

Pria necis tadi membuka pintu mobil. Gedung sudah dikepung, mustahil ia masuk ke dalam. Pasti teman-temannya pun banyak yang terlambat. Kata-kata perjuangan tiba-tiba terngiang-ngiang di telinganya. Bagaikan kaset usang yang kembali diputar di tape recorder rongsokan. “Haruskah Rakyat Yang Menanggung Akibat Dari Korupsi Dan Manipulasi Di Negeri Ini?”

Kalibata, Januari 2011
Catatan:

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Contoh: Haruskah Rakyat Yang Menanggung Akibat Dari Korupsi Dan Manipulasi Di Negeri Ini? (Diksi dan Bahasa. Gorys Keraf)

Mitos the Birthright berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik).
----
Muhammad Nurcholis dilahirkan di Cilacap 22 Juni 1986. Sedang belajar dan berkegiatan sastra. Beberapa tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan online. Saat ini tinggal di Kalibata. Beberapa tulisannya dapat ditemui di: www.kolasecerita.wordpress.com atau twitter @n_choliz

Sumber: Kompas, 4 februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar