Pages - Menu

10 Januari 2012

Hati-hati, Masih Ada Oknum Dokter Nakal

Genjot penghasilan dengan menipu pasien

Pasien Indonesia harus semakin pintar. Sebab, oknum dokter nakal masih bergentayangan di republik ini. Jangan dikira deretan resep yang diberikan oleh dokter benar-benar dibutuhkan untuk kesembuhan. Sebaliknya, itu hanya akal-akalan dokter untuk mengeruk penghasilan tinggi.

Perilaku nakal dokter ini disampaikan oleh guru besar Fakltas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Hasbullah Thabrany dalam diskusi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Jakarta, Senin (9/1).


Pria yang akrab disapa Jack Bhull itu menuturkan, perilaku nakal dokter ini diantaranya disebabkan oleh kesenjangan tarif dan penghasilan dokter. "Peluang dokter untuk melakukan moral hazard bahkan fraud (penipuan) sangat besar," tandas Hasbullah.

Dia menandaskan, persoalan kesenjangan tariff dan penghasilan dokter menjadi salah satu pemicu perilaku dokter tadi. Hasbullah mencontohkan, dia pernah berdiskusi dengan salah satu mantan direktur rumah sakit pemerintah.

Dalam diskusi ini, mantan direktur gelisah ketika harus membayar gaji dokter yang variasinya sangat tinggi. Yaitu mulai dari kisaran Rp 4 juta per bulan, hingga Rp 400 juta per bulan. Hasbullah bahkan mengatakan, ada dokter-dokter di RS pemerintah yang memperolah penghasilan take home pay miliaran rupiah.

Pria yang juga masuk dalam tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) itu lantas menerangkan berbagai modus para dokter nakal itu mengakali pasien. Menulis resep cukup banyak diantara salah satu modus kotor tadi.

"Sebenarnya cukup satu obat saja. Bahkan tidak pakai obat pun bisa sembuh," tandas Hasbullah.

Cara menulis resep yang banyak, digunakan dokter untuk memperoleh komisi dari perusahaan farmasi penyuplai obat-obatan. Tindakan tidak terpuji oknum dokter untuk menebalkan dompetnya lainnya adalah menganjurkan pasien rawat inap.

Dari modus ini, oknum dokter tadi bisa memperoleh komisi dari rumah sakit karena kamar rawat inapnya disewa pasien. "Kolusi dokter dan RS ini merugikan pasien. Karena pasien menanggung biaya tinggi," kata dia.

Modus dokter yang lebih ekstrim lagi adalah, menginstruksikan pasien untuk melakukan pembedahan. Padahal, penyakit yang dialami si pasien tidak terlalu kritis. Biasanya, instruksi pembedahan ini untuk penyakit-penyakit yang sangat menakutkan. Seperti kista dan sejenisnya.

Dari perilaku menyimpang ini, Hasbullah meminta pemerintah menegakkan standarisasi tarif dan audit medis. Standarisasi tarif diantaranya diterapkan pemerintah untuk batas atas penyakit tertentu.

Selama ini, dia menganalisa beberapa rumah sakit swasta bahkan pemerintah ugal-ugalan dalam menentukan tarif. "Ada teman saya yang dirawat di RS pemerintah tagihannya mencapai Rp 220 juta," ucap Hasbullah.

Di bagian lain, Ketua Umum PB IDI Priyo Sidipratmono mengatakan tudingan ada oknum dokter sampai nekat menipu pasien itu masih asumsi. "Harus dibuktikan dulu," tandasnya.

Untuk pembuktian ini, Priyo mendukung pemerintah mulai menerapkan audit medis. Dia berharap, sejalan dengan disahkannya UU Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS), pemerintah juga menjalankan audit medis.

Bagi Priyo, pelaksanaan audit medis ini sangat perlu ketika keberadaan UU BPJS gencar mengkampanyekan universal coverage (cakupan menyeluruh) jaminan sosial. Jika audit medis tidak dilakukan, Priyo khawatir uang negara yang dialokasikan untuk menjamin kesehatan masyarakat menguap ke kantong dokter nakal tadi.

Priyo juga menegaskan, akan siap menindak dokter-dokter nakal itu. Tapi, dalam kurun 2011 Priyo menegaskan belum ada kasus dokter yang terbukti menipu pasiennya.

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan (Menkes) Ali Ghufron Mukti tidak memungkiri ada oknum dokter nakal tadi. "Tapi dokter yang benar-benar baik dan memiliki hati nurani luhur lebih banyak jumlahnya," ucap Ghufron.

Dia menandaskan, persoalan finansial memang menjadi salah satu faktor yang menjadi motivasi para oknum dokter nakal itu. Tetapi, Ghufron mengatakan ada penyebab yang lebih besar dari persoalan dokter-dokter nakal itu. Yaitu, masalah moral dan etika.

Menurut mantan dekan termuda FK UGM itu mengatakan, krisis moral dan etika telah membuat beberapa oknum dokter nekat menipu pasien untuk meraup keuntungan pribadi. Kondisi krisi moral dan etika ini, kata Ghufron, diperparah dengan sistem kapitalisasi dunia medis.

Dia mengatakan, masih banyak sistem penggajian dokter yang merujuk pada seberapa besar dokter ini menghabiskan obat atau memasarkan kamar rawat inap.  Ghufron menjelaskan, Kemenkes saat ini sedang menggodok sistem baru penggajian dokter dan standarisasi tarif layanan medis.

Upaya ini menurutnya bisa menekan arus kapitalisme kesehatan. Dia berharap, sistem ini rampung akhir bulan ini atau paling mentok pekan pertama Februari depan. Proses yang sedang berjalan masih mempelajari penelitian sistem penggajian dokter di Indonesia. (wan)

Sumber: JPNN, 10 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar