Cerpen Donny Anggoro
Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang suka mendongengkan cerita dan menyanyikan lagu untuknya sebelum tidur harus pergi. Lisa tak mengerti kenapa Ibunya yang cantik itu harus pergi jauh sementara Lisa belum selesai sekolahnya. Padahal Lisa ingin membahagiakan Ibunya sampai sekolahnya selesai. Lisa tak ingin lagi ribut dengan adiknya Didi yang bawel dan pelit, dan juga ia tak mau menyusahkan Ibu dengan seringnya minta uang jajan.
Tapi, hari ini Ibu berkata ia harus pergi. Pergi ke mana, Bu, tanya Lisa. Jauh, Nak. Ibu pergi untuk kamu, Nak. Semuanya untuk Rufi, kamu dan Didi, kata Ibu sambil membelai halus rambut Lisa.
Lisa tak mengerti setelah ayahnya yang pergi lebih dulu kali ini Ibunya juga harus pergi. Olala, betapa sepinya, kata Lisa. Kan, ada Nenek, Lisa, kata Ibu. Nenek dan Mbak Rufi akan menemani Lisa dan Didi setiap hari. Tenanglah, Ibu pasti akan pulang, Lisa, kata Ibu.
Ya, tapi pergi ke mana dan pulangnya kapan, Ibu tak menjawab. Bagi Lisa, Ibu tak mau menceritakan rencana kepergiannya karena Ibu ingin membuat kejutan untuknya. Kejutan berarti sesuatu yang membahagiakan dan pasti juga indah, batin Lisa.
Berkali-kali Ibunya hanya bilang ia pergi untuk Lisa, untuk Didi, untuk kami semua di sini. Ibu bilang ia pergi bukan untuk dirinya sendiri. Tapi apakah Ibu akan kembali? Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Lisa. Tentu Ibu akan kembali, Nak, jawab Ibu. Sekali lagi Ibu pergi untuk kalian, Nak, bukan untuk Ibu. Janji, ya, kata Lisa. Ibu berjanji, Lisa, bisik Ibu.
Hari ini adalah hari terakhir Ibu bersamanya. Seperti biasa malam ini Ibu mendongeng dan menyanyikan lagu untuk Lisa sebelum tidur. Suara Ibu yang nyaring dan jernih menyejukkan hati Lisa. Tak lama kemudian Lisa tertidur. Dalam mimpinya Lisa bermimpi naik kereta yang ditarik sepuluh ekor kuda bersayap putih bersama Ibu bersama Didi, Nenek dan juga Mbak Rufi ke langit penuh bintang. Di sisi mereka muncul bunga-bunga bermekaran.
Olala, betapa indahnya.
***
Sore ini Ibu sudah berkemas. Koper, tas ransel dan kerudung berwarna putih di kepala Ibu sudah siap. Didi, Lisa, Mbak Rufi dan Nenek menghantar kepergian Ibu. Lisa, Didi, jangan nakal, ya, Ibu pasti kembali, kata Ibu. Ya, Bu, jawab Lisa. Setelah Ibu naik ke atas bus, Lisa menghentikan tangisnya.
“Hati-hati, Bu! Ingat, Ibu pulang, ya!” jerit Lisa.
Dilihatnya Ibu melambaikan tangan di kaca jendela. Ya, ini hari terakhir Lisa dan Didi melihat Ibunya. Kata Mbak Rufi Ibu pergi ke Arab Saudi. Tapi bukan itu yang penting buat Lisa. Apakah Ibu akan kembali dan tidak pergi seperti ayah, tanya Lisa. Mbak Rufi tersenyum. Ibu pasti pulang, Lisa, kata Mbak Rufi. Ibu pasti pulang. Ya, Ibu pasti pulang...
2010
Dua tahun berlalu. Tak ada kabar dari Ibu. Lisa kangen sekali sama Ibu. Dituliskannya perasaan kangen Lisa kepada Ibunya dalam surat. Karena Lisa tak tahu alamat Ibu, surat-suratnya ia masukkan ke dalam botol dan ia hanyutkan ke sungai. Mungkin Ibu tak membaca suratku, tapi ia pasti tahu apa isi hatiku, batin Lisa. Hampir setiap bulan Lisa melakukan itu. Selain surat Lisa juga suka menggambar ibunya yang sedang naik kereta ke atas langit ditarik kuda bersayap putih seperti dalam mimpinya terakhir sebelum ibunya pergi. Sebenarnya Nenek dan Mbak Rufi tahu alamat Ibunya. Tapi mereka tak bisa memberitahukannya karena kata mereka tempat Ibu bekerja berpindah-pindah, dari satu majikan ke majikan lainnya.
“Tapi Ibu tak ingkar janji Lisa. Ibu tak lupa dengan kalian walau tidak bicara dengan kalian,” kata Nenek.
“Buktinya apa? Pasti Ibu pergi seperti Ayah dan tidak akan kembali lagi!” jerit Lisa.
“Lisa, Ibumu kirim uang buat kalian. Lihat, baju, boneka, tas, sepatu, dan seragam baru buat kamu kemarin siapa yang belikan? Itu semua dari Ibu, Lisa! Ibu kirim dari jauh!” jelas Nenek.
“Lisa nggak butuh uang, Lisa mau ngomong sama Ibu! Lisa ingin dengar dongeng dan lagu yang Ibu nyanyikan tiap malam!” jerit Lisa. Tangisnya meledak.
“Lisa, nggak boleh begitu. Ibu kan’ sudah janji pergi untuk kamu, untuk kalian, untuk kita. Ibu pergi untuk kita, Lisa dan ini buktinya!” jelas Mbak Rufi.
Lisa terdiam. Air matanya meleleh. Ibu, kenapa kau harus pergi jauh, batin Lisa. Mbak Rufi memeluknya.
“Ibu pasti akan kembali, Lisa. Ibu tidak lupa dengan kalian,” bisik Mbak Rufi.
Lisa pergi ke kamar. Dipandanginya di dinding lukisan Ibu karyanya yang sedang naik kereta ke langit ditarik kuda-kuda bersayap. Di mata Lisa lukisan Ibu bergerak. Langit yang penuh kerlap-kerlip bintang memancarkan sinarnya sementara sayap-sayap di kuda-kuda itu mengepak dengan indahnya. Ibunya tersenyum dan melambaikan tangan.
Oh, Ibu.
Keheningan malam mulai menyergap. Rasanya begitu lama Lisa tak lagi mendengar dongeng dan lagu untuknya.
2011
Sampai pada suatu sore yang cerah Lisa terkejut melihat kedua mata Mbak Rufi sembab di ruang tamu. Pulang dari rumah Evie, dilihatnya Mbak Rufi dan Nenek berpelukan, lalu menangis. Selain itu dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tak dikenalnya duduk di ruang tamu. Wajah-wajah mereka tampak asing di mata Lisa. Mungkin mereka dari kota.
“Ada apa, Mbak, ada apa, Nek?” tanya Lisa heran.
Keduanya tak menjawab. Mbak Rufi membelai kepala Lisa kemudian menyuruhnya ke dalam. Di kamar Lisa mendengar suara Mbak Rufi menjerit, histeris.
“Ini tidak adil! Ibu tidak bersalah! Kalau ibu memang salah kenapa dia harus dihukum begitu keji? Ini tidak adil! Tidak adil!” jerit Mbak Rufi.
“Tapi ini kabar yang kami terima, Mbak. Kami juga tak menyangka jadinya akan seperti ini. Apa daya sepertinya…”
“Sepertinya apa?? Lantas apa tanggung jawab kalian?? Apa kerja kalian, ha??”
“Kami hanya menyampaikan kabar ini kepadamu, Rufi. Ibumu …”
Oh, jadi ini tentang ibu? Ibu pulang? Hore, Ibu mau pulang! Tapi kalau Ibu mau pulang kenapa Mbak Rufi dan Nenek menangis?
“Kami bahkan tahu kabar ini setelah membaca koran asing. Tapi kami akan usut sampai tuntas kasus ini sampai mereka tahu bahwa ada yang tidak beres. Kami tahu sebenarnya ini adalah pembelaan diri Ibu kalian terhadap sikap majikannya. Kami tahu hal ini tidak sepatutnya terjadi bila vonis segera direspon advokasi pemerintah...”
“Ya, sepertinya ada yang ditutupi sehingga kasus ini baru ketahuan kemarin. Ada yang tidak mau kami tahu kabar ini….ada yang….”
Oh, ada apa dengan Ibu? Tadi orang-orang kota itu bilang “kasus”? Apakah Ibu berbuat kesalahan? Apakah Ibu mencuri? Apakah Ibu…Lalu Ibu ke mana? Kenapa Ibu tidak pulang? Lisa mengerti ini semua pasti tentang Ibu. Segera ia menghambur keluar dari bilik kamarnya yang sempit.
“Ibu pulang, ya, Nek? Ibu kapan pulang? Ibu kenapa, Mbak Rufi? Ada apa dengan Ibu, Mbak?” tanya Lisa. Ditariknya tangan Nenek, juga Mbak Rufi. Tapi di ruang tamu itu tak ada yang menjawab. Semuanya yang ada di ruang tamu hanya memandang Lisa dengan wajah muram.
Mbak Rufi lalu memeluk dan membelai kepala Lisa.
“Ibu pergi ke surga, Lisa,” bisik Mbak Rufi pelan.
Pamulang-Rawamangun, Juni 2011.
Sumber: Kompas, 9 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar