#Untuk Lelakiku,
Aku seperti memimpikanmu di setiap malam yang sepi. Aku seperti mengenalmu ribuan tahun lalu, bahkan sebelum takdir mengeluarkanku dari ruang rahim. Kupercayai takdir sibuk mempertemukan kita, sekali tuang anggur dalam cawan. Limbur menempati takdirnya sendiri, dan begitulah kamu.
Aku seperti pernah sibuk menjahit bajumu, ketika gesek daun menjadi irama syahdu. Kupercayai, cangkir kopimu selalu menanti kala pacul menimpa teras rumah.
Aku ribuan tahun menantimu di ujung gelisah, apa kau akan menggenapi takdirmu atasku? Aku menunggu selalu, ketika malam yang sepi ada deru angin memburu bambu dan aku selalu rindu pada wangi tubuhmu.
Aroma raga pejal yang kokoh memelukku, aku sesekali merayu. Lalu kelindan raga yang bukan hanya soal ketubuhan, tapi rindu ribuan tahun yang ingin dituntaskan di antara derat ranjang bambu.
Aku merindukanmu, selalu soal takdir yang ingin digenapi, karena memang begitu. Penuhi takdirmu, menyongsong garis takdir di tengah ragumu sendiri. berlarilah, bernafaslah, mendekatlah pada takdirmu; aku.
16 Oktober 2011
#Untuk Perempuanku,
Ada surga di sana lebih bewarna? Ketika pagi mengunting sebagian pita warna kuning, aku mengantar kau menjemput hidup abadi Seperti mimpi, maka tamparlah setitik kesadaranku betapa aku mencintaimu melebihi nafas yang mampu kehembus
Oh perempuanku, sudah kugenapi atasmu nasib cinta yang beromansa dalam derit hati yang menggelayut manja
Oh perempuanku, adakah cinta sedemikian sepi kini? Ketika peti ditutup dan kau berlalu sendiri, Ada aku di tepi peti, merintih sepi, Aku sendiri, menyulam sepi perih di hati
20 Oktober 2011
#Luka
Kembang yang kutanam di tebing dadamu menjelma masa silam yang tak mewaktu untuk diziarahi,
Belukar kegamangan mengulitakan semak keabsurdan sepanjang sunyi malam antara kita, Kita masih turun dari sunyi menyusuri kali yang mengalirkan nasibmu dan nasibku Hidup yang tak bisa ditawar-tawar menggegaskan pacu hati kita, sebelum cinta menjadi tua dan tau mengerti kenapa kembang mekar di dadamu hari itu
Kini kita duduk di sini, saling menanti, tak bisa sembuyi dari luka yang menepi
23 Oktober 2011
*Tulisan untuk terkasih Helena Fennycia, betapa cinta sedemikian berwarna ketika datang pada jiwa yang tepat. Damai selalu di surga, Kami menyayangi kau selalu.
Susan Gui, Jakarta, 11 September 1984.
Sumber: Kompas, 25 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar