Cerita pendek Rayni N. Massardi
Semua orang mengelilingi kuburan yang tampak tidak menyeramkan lagi karena ditaburi bunga-bunga dan bunga terus menerus.
Beberapa kerabat sudah banyak yang pergi melewati celah, menapaki jalan pekuburan satu demi satu, mencari pintu keluar, bergegas ke luar menuju arah kehidupan nyata.
Ada yang begegas pulang ke rumah. Ada yang sekadar mampir di sebuah café untuk minum kopi, usai membasuh seluruh wajah di kamar kecil. Atau masuk ke restoran untuk makan sekenyang-kenyangnya setelah mencuci tangan berkali-kali karena debu dan terik matahari. Atau hanya ingin minum air putih dengan es batu yang banyak sambil duduk menghela napas. Menenangkan pikiran.
Menghadiri penguburan seorang teman, saudara, atau sahabat memang sangat menyita energi. Begitu banyak kenangan dan tekanan ketika kita harus mengantar dan berdiri di sisi liang lahat menyaksikan jasad terbujur disiram timbunan tanah yang menutupinya sedikit demi sedikit.
Mendengar rintihan, tangisan, raungan keluarga kerabat, membuat seluruh badan menjadi diri sendiri. Kita tidak tahu lagi apa tujuan hidup ini. 24 jam giat bekerja. Bertahun-tahun. Mulai dari pagi hari. Sangat pagi. Bahkan belum tampak matahari. Manusia pun sudah gradak-gruduk nonstop sampai jelang ketemu pagi hari lagi.
Ada dan tanpa kasih sayang. Ada dan tanpa beriba hati. Senang dan benci kepada orang lain. Berbagi dan tidak bebagi dengan orang lain. Kadang kita tertawa gembira atau berteriak lantang menuntut ketidakadilan dunia! Mengerikan hidup ini. Mengerikan juga mati itu.
Seorang gadis cantik bernama Lidia tampak berdiri menjauhi lubang kubur. Ia sendirian terhenyak penuh rasa duka jiwa raga!
“Kamu di mana…? Aku rindu…,” lirih rintih di dalam hati.
Ia menatap dengan matanya yang sayu, berusaha memandang dari kejauhan ke arah gundukan tanah mungil yang terhalang tumpukan karangan bunga.
Suatu saat di sebuah Kota Kecil. Lidia berjalan bergandengan tangan dengan Karudin di sepanjang trotoar. Pasangan yang punya hobi jalan-jalan sore di seputar alun-alun Kota Kecil kala senggang. Terutama malam Minggu, malam libur. Banyak orang sekitar sudah mengenali mereka. Pasangan yang paling rajin bergandengan tangan mondar mandir sepanjang jalan.
Bahkan tingkah laku pasangan tersebut menjadi pemandangan seru dan dijadikan objek permainan tersendiri bagi penduduk setempat. Ulah pasangan itu sering dijadikan tebak-tebakan oleh orang-orang yang kongkow di pinggir jalan. Minum kopi di warung ‘Selamat Malam,’ yang menjadi langganan para sopir truk, juga pasukan sopir ojeg.
“Nah… kan lihat tuh. Sebentar lagi lewat sini. Benerrr. Masih bergandengan tangan toh! Serasa dunia miliknya sendiri…!”
“Ayo taruhan sampai mana itu tangan nempel kayak lem? Aku tebak dulu ya? Paling sampai deket pangkalan ojeg sudah dilepas. Ayo, sini lima ribu kasih aku…!” orang-orang mulai ramai bertaruh.
“Enggaklah… Sono. Sampai sono, deket Bu Minem, baru deh dilepas tangannya…!”
“Ya… enggak bisa! Kan orang lagi kasmaran pegangan terus pasti sampai pulang sampa mati…! Ha ha ha…!” banyak orang bercanda asal menebak.
“Aku yakin sebentar saja sudah lepas! Kan keringatan! Ih… mau ngapain pegang-pegang begitu…!” ada juga yang protes.
“Nah... nah kan lepas, yo sumuk…! Sudah aku bilang, wong lengket semua itu tangan…!”
“Ih sampeyan sirik aja… Mana istrimu? Udah balik belum ke rumah? Nah! Lihat! Wah, yang laki mau garuk-garuk badannya doang kok ! Lepas sebentar iya boleh toh…! Ugghhh ! Sampeyan emang dasar kurang gaul! Jemput istrimu sana jangan dibiarkan lama-lama di kampungnya. Disamber orang baru tahu rasa..!” mereka masing-masing saling beradu pendapat.
Sementara pasangan itu terus berjalan seakan melayang menikmati malam semakin kelam.
Tujuan mereka untuk kesekian kali ingin makan bebek goreng. Tempatnya lesehan di sudut jalan sebelah toko besi.
“Kita makan bebek goreng lagi yang sambelnya muantap…!” kata Karudin girang sambil memainkan jari jemari pasangannya.
Lidia hanya menganggukkan kepala.
Suasana lesehan sama saja seperti tempat makan lainnya. Tetapi bebek goreng Mang Dun memang sangat terkenal. Kadang malam libur paling padat, sulit mendapatkan tempat. Bisa-bisa pada antri kayak menunggu karcis depan loket.
Kondisi yang mejadi riuh cenderung berdesakan, membuat penikmat bebek sering merasa terganggu. Karena banyak orang yang tidak sabar, malahan berdiri-diri begitu saja di belakang orang-orang yang sedang asyik lesehan dan makan.
Hawa sekitar menjadi panas. Yang menunggu giliran hanya melongo, memandang begitu saja ke arah hidangan yang tergelar di tikar. Tentu saja suasana begitu membuat yang sedang makan tidak enak.
Risih lagi!
Tetapi memang di situ seninya makan di warung lesehan Mang Dun! Siapa cepat dia dapat! Berkeringat berpeluh bersimbah rasa lembab di seluruh badan sampai wajah! Wah, momen itu yang dikangeni setiap orang. Bisa cerita ke tetangga, atau teman betapa penuh perjuangan untuk bisa berhasil makan bebek goreng Mang Dun . Tentunya dengan tambahan bumbu kalimat kata yang penuh kehebohan agak berlebihan!
(Aneh…?).
Karudin masih berpegang tangan (males deh, ya…) mendekati kerumunan orang yang sedang makan.
“Misi... permisi…! Bisa tolong digeser…! Maaf… Iya… Ke sana sedikit masih cukup kok…,” desak Karudin seenaknya.
“Sayang… ayo…! Duduk aja. Enggak apa kok masih lega…!” bujuk Karidun.
Lidia setengah malas setengah enggak enak hati menjatuhkan badannya duduk di samping pacarnya. Ia tidak berani mengangkat kepala. Hanya menunduk menatap meja di hadapannya yang terlapis vinil bermotif bunga.
“Mas… Mas…!” tedengar suara Lidia yang halus nyaris tak terdengar sambil tangannya menarik-narik ujung kemeja Karudin.
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar