Pages - Menu

07 September 2011

K l i n i k

Cerpen: M. Nurcholis

Klinik itu tersuruk di antara dua bangunan yang begitu megah menghimpitnya, seperti plastik bekas yang dijejalkan diantara rongga kosong barang elektronik yang baru saja kita beli. Jika engkau memasukinya, akan kau temui ruangan berukuran 4x4 meter.

Di ujung ruangan itu, terdapat partisi yang dibikin keliling, mirip kubikal, dengan meja lajur yang berguna sebagai meja pendaftaran. Di meja itu, berjejalan karton-karton coklat lusuh yang hanya ditahan oleh pembatas seng baja. Karton-karton itu adalah kartu kontrol yang berguna untuk mencatat kunjungan pasien. Karton-karton itu begitu lusuh, mungkin karena sering diambil, lalu terkena keringat petugas yang kerap keluar di ruangan tanpa AC ini—yang bahkan kipas angin pun tidak ada.


Pemilik kartu-kartu itu, pikir saya, pasti orang yang kerap berobat di sini atau orang yang sudah lampau terdaftar di klinik ini. Betapa hebatnya ia sakit selama itu tapi tak kunjung menemui ajal.

Di sebelah kanan ruang tunggu itu, terdapat dua ruangan seperti kamar. Yang pertama bertuliskan “Administrasi”. Di situ terdapat dua petugas perempuan paruh baya yang terlihat sama kusamnya dengan cat warna gading lapuk dinding ruangan itu. Ataukah jangan-jangan, mereka bertugas di sini semenjak klinik ini berdiri? Kamar berikutnya bertuliskan “Ruang Pemeriksaan”.

Ruangan ini pasti tempat petugas kesehatan yang akan memeriksa saya. Entah itu dokter, atau seorang mantri. Saya harap adalah seorang dokter. Mantri hanyalah perawat. Meski ia telah beberapa kali mengikuti pelatihan kesehatan, menurut hemat saya bukanlah orang yang tepat untuk mendiagnosis suatu penyakit. Barangkali itu hanya pendapat saya saja, masalah cocok-cocokkan diperiksa, tiap orang pasti berbeda-beda.

Saya masih menunggu di kursi lajur yang menempel ke tembok. Di ruang pemeriksaan masih ada pasien, seorang anak balita dengan ibunya, saya lihat tadi sewaktu mendaftar. Dari dalam ruangan, sayup-sayup terdengar percakapan mereka.

“Anak saya diare..” lalu kalimat berikutnya menghilang.. “….jangan diberi minum susu.” Sepenggal kalimat, yang  saya kira adalah dokter itu, terdengar. “Saya beri dia tajin..” “Ibu.. Mules..” suara anak kecil menyeletuk. “…daun jambu biji sama garam.” “Pokoknya jangan! Itu bikin… keluar cacing.”

Dari situ saya simpulkan anak tadi sedang menderita diare, penyakit yang disebabkan oleh bakteri di makanan yang tidak higienis. Penyakit yang.. yah sudah lumrah di daerah seberang. Daerah tempat pemulung tinggal dengan rumah-rumah kardus dan sampah-sampah yang berserakan itu. Ironisnya, tempat itu hanya beberapa meter dari perumahan.

Pintu pun dibuka, seorang ibu yang memakai baju daster berwarna putih kopi (warna putih yang sudah kandas oleh noda) menggandeng seorang balita perempuan berwajah kuyu. Sisa-sisa ingus terlihat di pinggir-pinggir hidungnya, mungkin itu sebab anak-anak kecil di negeri ini disebut dengan anak ingusan. Ingus itu tentu karena virus influenza. Namun entah, anak yang ingusan sepertinya menjadi hal yang lumrah.

Ingus adalah cairan bening yang keluar dari hidung anak kecil, dan itu tidak membahayakan, mungkin begitu mereka pikir. Berbeda dengan saya yang justru karena ingus itulah saya datang ke klinik ini.

Ibu beranak tadi menuju ke loket Administrasi. Dari dompet kain yang lusuh, ibu itu mengeluaran tiga lembar uang sepuluh ribuan yang lusuh pula. Lalu petugas yang lagi-lagi berwajah lusuh, menyerahkan seplastik obat berjenis empat. Masing-masing jenis obat dikemas dalam plastik kecil dengan kertas bertuliskan: 3 X SEHARI, DIMINUM SETELAH MAKAN. ***

Salah satu petugas di ruang administrasi membukakan pintu untuk saya. Rupanya, antara dua ruangan itu terdapat pintu tembus. Saya masuk. Lalu dipersilahkan duduk oleh seorang—anggaplah dokter. Dokter perempuan di hadapan saya berkacamata, dengan alis yang begitu jelas terlihat bikinan pensil alis. Rambutnya sebahu, beberapa kerutan sudah terlihat di dahinya. Namun gerak-geriknya masih sigap, terlihat dari suaranya yang cekatan menanyai saya. “Ada keluhan apa, Pak Nur?” Ia menanyai saya sambil melihat data saya di karton coklat lusuh itu. “Saya batuk dan pilek, sudah satu minggu, padahal seringnya cuma tiga atau empat hari.” “Ada keluhan lain?” “Tiga hari ini buang air besar saya mencret. Saya sudah minum obat. Aktiflu dan Stopcret.” “Baik. Mencret itu sering atau sesekali?” “Maksudnya, Bu?” “Mencret bapak itu, terjadi terus-menerus, atau cuma beberapa kali dengan jeda waktu?” “Oh, beberapa kali saja.” “Bapak punya alergi obat?” “Tidak, Bu” “Bapak sudah menikah?” Oh, pertanyaan apa yang dia tanyakan? Sungguh menyebalkan.

“Belum.”

Dokter itu tersenyum. Genit. Saya hanya nyengir kuda membalasnya. Dokter itu mencatat diagnosa pada kartu kontrol saya. “Bapak ini jangan minum susu, makanan pedas, buah-buahan, roti, makanan bersantan. Istirahat yang cukup, Bapak. Jangan terlalu banyak beraktivitas. Nah sekarang tolong buka jaket bapak.”

Saya membuka jaket kerja de Pucci saya, dokter tadi dengan stetoskopnya mulai mendengarkan detak jantung saya. Sedang saya mendengar detik jarum jam di dinding. “Baik, saya buatkan resep obat, nanti tolong diminum setelah makan. Semoga lekas sembuh, ya, Pak..” “Terima kasih, bu..”

Saya keluar dari ruang pemeriksaan. Oh, betapa mudahnya kerja dokter itu. Mendengar keluhan, mendengar degup jantung, menulis resep dan menyerahkannya ke petugas obat—dan sesekali tersenyum genit.

Tidak lama kemudian, saya dipanggil oleh petugas loket administrasi. Sama seperti anak kecil tadi, saya diberi empat jenis obat, lengkap dengan kertas kecil bertuliskan: 3XSEHARI, DIMINUM SETELAH MAKAN. “Silahkan obatnya, Pak. Biayanya enam puluh lima ribu.” “Oh, iya.”

Saya mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu, menyerahkannya dengan sedikit tanda tanya. Bukankah ibu beranak tadi hanya membayar tiga puluh ribu? Mengapa saya enam puluh lima ribu? Apakah karena pakaian saya lebih bagus dan bersepatu kulit? Ah, toh saya akan tetap membayarnya. Barangkali memang iya bila ibu yang terlihat lusuh tadi mendapatkan keringanan.

Kesehatan memanglah hal yang mahal di negeri ini—selain pendidikan. Dokter-dokter di rumah sakit dibayar dengan biaya yang tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kartu Jaminan Kesehatan Miskin hanyalah pepesan kosong belaka. Mereka yang dirawat di Rumah Sakit dan menggunakan kartu tersebut, seringnya mendapat perawatan dengan kelas yang bawah. Di satu ruangan yang berisi banyak orang dan perawat serta dokter yang baru saja magang.

Nabila, putri Pak Kardi, satpam kantorku misalnya, harus kehilangan penglihatan mata sebelah kirinya akibat penanganan yang tidak benar dari suatu rumah sakit. Kendati demikian, ia tetap dikenakan biaya pengobatan. Masalah mata Nabila yang rabun? Tidak ada yang mau bertanggung jawab.

Maka, klinik-klinik umum seperti ini adalah harapan bagi rakyat yang kurang mampu. Menjadi tumpuan—paling tidak sugesti—supaya mereka kembali sehat dengan meminum obat ber-resep. *** Setelah menerima kembalian, Saya mengucapkan terima kasih kepada petugas Administrasi. Saya lantas keluar, meninggalkan ruangan yang penuh dengan kemuraman itu. Di luar, di bawah atap klinik yang terlihat rapuh, terpampang papan bertuliskan “Klinik Harapan, Balai Pengobatan Khusus Orang Miskin”. Dan papan itu telah berdiri sejak—entah. Pengadegan, 14 Juli 2011.

M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. No HP: 085880944812.

Sumber: Kompas, 29 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar