Cerpen Odi Shalahuddin
Bendera merah putih terbuat dari plastik, ukuran kecil, telah terangkai dan sudah terpasang di pian, mengelilingi seluruh sel-sel berbentuk letter U. Di depan, gedung aula juga sudah berpacak, penuh aroma merah-putih. Bangunan di depannya lagi, ah, tak bisa dilihat. Itu gedung utama para sipir dan kepala. Tak mungkin bisa terlihat. Tapi yakin, pasti lebih meriah lagi, sebab akan terlihat dari para pengendara yang melintasinya. Jalan propinsi.
Ya, Hari Kemerdekaan telah tiba. Besok pasti ada upacara. Ada pengumuman nama-nama yang mendapatkan remisi. Ah, betapa bisa dirasa kawan-kawan yang melonjak gembira, masa hukuman dapat berkurang.
Tapi... Pada malam yang telah sepi. Sinar rembulan tersamar jatuh di tanah lapang. Dari kejauhan, terlihat sipir tengah asyik menonton televisi. Ya, seorang anak lelaki di balik jeruji, tangannya menggenggam dua besi yang menggigil kedinginan. Delapan temannya, sudah terbuai oleh mimpi. Beralas seadanya. Saling menindih kaki mengundang kehangatan.
Ia memandang ke depan. Memandang langit yang kelam. Memandang jeruji dari tiap sel yang bisa dilihatnya dari tempat ia berdiri. Tentu semuanya telah tertidur, atau berpura-pura tidur. Berdiri di balik jeruji memandang keluar, pastilah bukan kegiatan yang menyenangkan lagi. Biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang baru menjadi penghuni. Ketika mencoba beradaptasi pada ruang kecil, dan bermimpi dapat melihat dunia luas kembali.
Ia telah bertahun. Setidaknya, berdasarkan ingatan, telah tiga tahun mendekam di sini. Sejak usia 12 tahun. Jadi sekarang usianya 15 tahun. Berarti tiga tahun lagi, ia baru bisa keluar dari sini.
Pikirannya melayang-layang. Mencoba berpijak pada peristiwa yang menghantarkannya ke sini. Ia ingat Lik Bono bersama tiga orang kawannya, mengajak ke suatu tempat. Sebuah rumah. Ia diminta menunggu di luar, mengawasi sekiranya ada orang lewat. Tugasnyalah untuk memberi kode. Tapi dasar, di pinggiran parit, ia merebah. Malah tertidur.
“Rampok! Rampok! Rampok!” disertai suara kentongan telah membuatnya tergeragap. Ketika bangkit, sebuah tinju telah melayang ke pipinya yang membuat ia terjerambab.
“Jangan, jangan, kasihan anak kecil. Cari pelakunya yang lain,” suara seseorang yang tampak berwibawa lantaran didengar. Seseorang menarik tangannya, mencengkram bahunya, dan memapah, serta melindungi dari amarah orang-orang yang entah sudah banyak sekali dan berusaha melontarkan pukulan ataupun tendangan ke tubuhnya.
”Kecil-kecil sudah ngerampok! Kalau gede jadi penjahat besar kali,”
”Dasar bajingan kecil!”
Berbagai umpatan berlompatan. Diamankan di sebuah rumah sampai sebuah mobil patroli tiba dan membawanya pergi. Sebuah tendangan mendarat di ulu hatinya membuatnya terjatuh. Ia diam saja. Menahan rasa sakit.
”Saya cuma tahunya Lik Bono. Itupun saya kenalnya di perempatan jalan Pak. Dia biasa datang, minta uang kepada anak-anak. Tiga lainnya, tidak saya kenal, Pak,” katanya ketika ditanya oleh polisi yang memeriksanya.
”Saya tidak punya rumah, Pak. Orangtua juga tidak tahu. Sungguh, Pak!” katanya terbata.
Tapi ia merasa saja, jawaban-jawabannya tidak pernah dianggap benar. Bentakan-bentakan yang membuat jantung berdetak lebih cepat. Pukulan-pukulan yang sesekali mendarat di sekujur tubuhnya. Belum lagi orang-orang yang lewat, entah polisi atau bukan, berjaket hitam, tanpa bertanya sudah melayangkan bogem mentah ataupun tendangan ke tubuhnya, lalu berlalu.
Ia dimasukkan ke sebuah sel. Sudah ada beberapa orang di sana. Mata mereka memandang seperti pedang, menusuk. Ketika petugas menghilang dari pandang. Ia tetap di depan jeruji besi. Memandang tembok di hadapannya, dengan pikiran melayang. Melayang-layang, ketika tubuhnya terjamah, dan untuk kesekian kali dialami, duburnya yang panas! Ia tidak bisa berteriak mengingat sebuah tangan kokoh menutup mulutnya. Tapi ia ingat, masih bisa menangis.
Ah, menangis. Mengeluarkan air mata. Sudah berapa lamakah tak mampu tertumpah lagi? Ya, air mata, tak berguna. Tidak bisa menyelesaikan masalah. Tetap saja ia harus melalui jalan yang sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya. Tapi setidaknya, ia tahu. Tiga tahun lagi ia masih akan berada di sini. Kepastian yang tidak ia miliki ketika berada di luar.
Ia tak tahu, siapa orangtuanya. Sungguh. Ia tidak tahu. Tapi ia tahu, pasti ada ibu yang melahirkannya. Tak mungkin hadir tiba-tiba di muka bumi ini, bukan? Masa kecilnya banyak tak diingat. Kecuali sebuah panti asuhan, ia jalani kehidupan hingga umur sebelas tahun. Sempat bersekolah sampai kelas lima. Tapi, peristiwa yang tidak mungkin dilupakan olehnya, yang membawa dendam pada hidupnya, ketika seorang dewasa, menyodominya di suatu malam. Kesakitan tiada tara. Panas. Berdarah. Hingga berjalan-pun susah.
Ia tidak berani bercerita pada siapapun. Ancaman telah dijatuhkan. Ia hanya menahan sakit. Berusaha berjalan tegak bila pengurus Panti dilihatnya. Suatu malam. Dengan sebilah pisau, ia hujamkan berkali-kali ke tubuh orang yang telah menyodominya. Pintu-pintu yang telah ia siapkan terbuka, segera berlari. Entah apa yang terjadi dengan orang itu. Tapi ia merasakan kepuasan. Kepuasan bisa membalas.
Ia berlari, berlari sejauh mungkin. Di sebuah lampu merah, ia naik kendaraan terbuka. Berganti lagi, terus berganti. Hingga tiba di kota lain. Malam pertama di kota ini, ia lalui di sebuah taman kota. Pengulangan kembali terjadi, ketika sekelompok orang, datang menyergap. Menyodominya pula. Sakit. Sakit. Sakit.
Tapi ia tidak mendendam. Dalam kesakitan, sosok-sosok itu menawarkan minuman dan makanan. Terasa lapar dan dahaga teramat sangat. Tanpa peduli, segera ia habiskan. Beberapa orang tertawa melihat kelakuannya.
”Orang baru ya? Darimana? Mau kemana?”
”Kita sekarang sudah berkawan. Besok bisa cari makan di perempatan. Jangan takut, tidak akan ada yang mengganggu. Tapi kalau ada orang bernama Lik Bono, jangan macam-macam. Ia minta uang, kasih saja tanpa alasan.” seseorang mengatakan.
Begitulah, ia kini tinggal di taman, di balik rimbun pepohonan. Mencari uang dengan bertepuk-tepuk tangan sambil menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah selesai di perempatan. Dari situ ia bisa akan. Dari situ ia memiliki teman.
Seperti dibilang, Lik Bono memang sering ke perempatan. Mendatangi anak-anak, seringkali posisinya sudah sempoyongan. Ia hanya tersenyum, “Hai, adik-adik... Mana nih jatah Lik Bono,” tanpa menunggu dua kali, anak-anak berebutan untuk menyerahkan uang kepadanya.
Seringkali terpikir di kepalanya. Mengapa orang-orang takut dengan Lik Bono? Wajahnya tidak menyeramkan. Masih muda, ganteng lagi. Tapi, ah, entahlah.
Hingga suatu hari, Lik Bono memanggilnya. Mengajaknya. “Nanti kamu bisa kaya. Bisa dapat uang banyak. Nanti malam kamu di jemput di sini, ya. Jangan kemana-mana,”
Ia hanya mengangguk.
Sebulan kira-kira, ia berada di kantor polisi. Selanjutnya ia pindah ke rumah tahanan. Selanjutnya, ia harus mengikuti persidangan-persidangan.
”Memutuskan sebagai anak negara,” tok..tok..tok. suara palu diketuk. Beberapa hari kemudian ia dipindah ke sebuah bangunan di kota lain. Walaupun bangunan belanda yang sudah kuno, tapi ia merasa lebih tidak menyeramkan dibandingkan sebelumnya. Ia menjumpai, rata-rata anak sebayanya yang berada di sana.
Sebuah bintang jatuh dari langit. Dari balik jeruji ia mencoba untuk tersenyum. Kata teman-teman, kalau melihat bintang jatuh, ucapkanlah permintaan. Konon bisa dikabulkan. Tapi ia tidak meminta apa-apa. Sebab di hatinya berharap ia bisa merdeka. Keluar dari jeruji ini. Keluar dari bangunan ini. Bukankah tidak mungkin minta merdeka, sebab ia tahu itu akan terjadi tiga tahun lagi. Saat berumur 18 tahun.
Langit makin menggelap. Sebuah pukulan di jeruji besi mengagetkannya.
”Hayo, sudah tengah malam, tidur,”
Yogyakarta, 18 Agustus 2011
Sumber: Kompas, 25 Agustus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar