Judul buku : Pendekar Sendang Drajat “Misteri Pengebom Candi Gajah Mada”
Penulis : Viddy A.D. Daery
Penerbit : Metamind (Tiga Serangkai Grup), Juli 2011
Hal : 150-an halaman
Peresensi : Titik Alva-Alvi Choiriyah
Sudah hampir lima tahun ini, penerbitan novel-novel bergenre sejarah tampaknya sedang menjadi tren . Jika menilik rak-rak di toko buku, banyak novel-novel sejarah, mayoritas berlatar Jawa di masa silam.
Sastrawan Viddy A.D. Daery menerbitkan novel serial Pendekar Sendang Drajat “Memburu Negara Kertagama” dan lanjutannya “Misteri Pengebom Candi Gajah Mada”. Setelah meneliti sejarah Sendang Duwur dan Lamongan, penulis yang sekaligus keturunan Sunan Sendang Duwur itu, kemudian merekonstruksikannya ke dalam novel. Tentu bukan hal mudah merekonstruksi sejarah dan memberi interpretasi baru ke dalam bentuk karya sastra.
Novel yang berkisah seputar Kerajaan Majapahit abad 16 dibuka dengan deskripsi tokoh Pendekar Sendang Drajat alias Raden Ahmad yang bertugas menjaga keamanan Kasunanan Drajat dan Sendang Duwur. Dia hendak menyunting Dewi dan mengajaknya berjalan di sekitar Pelabuhan Kemantren. Dalam tamasya itu, mereka memergoki perkelahian dua pihak yang terjadi dalam wilayah pengawasannya.
Salah satu pihak yang berkelahi ternyata rombongan pendekar dari Melayu; Tumenggung Ismail bersama empat anak buahnya. Para pendekar pengembara dari Johor itu berkelana ke tanah Jawa hendak menyepi dari kekacauaan politik di tempatnya. Selain itu, mereka hendak berziarah ke Candi Gajah Mada. Menurut mereka, dalam peti di Candi Gajah Mada ada buku kuno berjudul Desa Warnana atau Negara Kertagama yang banyak diburu banyak pendekar Nusantara, seperti dari Pasai, Banjar, Bugis, dan sekitarnya.
Pangeran Sendang Drajat merasa malu karena sedikit sekali yang dia ketahui tentang Kerajaan Majapahit yang telah runtuh. Dia hanya tahu dua nama besar dari Majapahit, Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
Beberapa hari setelah pernikahannya dengan Dewi, Pangeran Sendang Drajat langsung mengemban tugas. Dia hendak mengantar para tamu dari negeri jiran ke tempat yang dituju. Perjalanan mereka tak mulus. Banyak kendala dalam perjalanan, misalnya dihadang para begundal yang hendak merampas harta mereka, bertemu Ratu Buaya Jamang. Dari ratu buaya ini, para pendekar mendapat informasi tentang Kesultanan Demak yang telah berkali-kali membantu Kesultanan Johor berperang melawan Portugis.
Candi Gajah Mada berdekatan dengan makam ibunda Gajah Mada, tepatnya di atas bukit di Desa Modo. Untuk ke sana harus menempuh perjalanan sungai dan darat.
Langit Kresna Hariadi, penulis novel sejarah, dalam endosemen buku ini, mengatakan, bahwa lewat novel ini pembaca bisa belajar sejarah tanpa berniat belajar sejarah.
Novel ini menjadi pintu masuk untuk mengetahui sejarah Lamongan di masa silam yang terletak di sebelah utara Majapahit, dan dahulu bernama Pamotan Tuban. Sebelum memasuki cerita silat dan petualangan Raden Ahmad, pembaca buku ini juga bisa melihat sejarah singkat Kabupaten Lamongan, Kerajaan Majapahit, dan silsilah pemimpin-pemimpin kala itu.
Dengan bahasa yang komunikatif, buku ini bisa dibaca semua kalangan, terutama pelajar dan anak muda zaman sekarang yang mungkin telah abai pada sejarah bangsanya di masa silam. Novel ini menjadi jembatan untuk mengetahui sejarah tanpa harus mengerutkan dahi. Selain itu ada unsur wisata dan budaya. Jika pembaca merasa jalan cerita novel ini terkesan berbau film atau seperti sinetron-sinetron di televisi, barangkali sesuai dengan pengalaman penulis dalam menggarap skenario sinetron.
Judul “Misteri Pengebom Candi Gajah Mada” menjadi sangat menarik,karena Pendekar Sendang Drajat mengalami peristiwa luar biasa di Desa Centhini,wilayah Laren, Lamongan.
Kalau kita membaca sastra kuno yang sangat terkenal,yaitu “Serat Centhini”, maka asosiasi pembaca buku kuno itu hanyalah kepada aroma seksnya. Maka Viddy tampaknya ingin memberi gambaran latar desa Centhini, desa asal dari Nyai Centhini yang ditulis dalam sastra kuno “Serat Centhini” itu, bahwa asal muasal leluhur Nyai Centhini sesungguhnya adalah profil seorang “feminis masa lalu” dalam bentuk wanita-wanita perkasa yang berdikari karena takdir hidup ditinggal mati suaminya.
Selanjutnya, rombongan PSD mendarat di pelabuhan Babat alias Bubat,dan melanjutkan petualangan mencari kitab Desawarnana ke Desa Modo,Lamongan. Disinilah aroma Majapahit masa lalu banyak bertebaran. Termasuk misteri dongeng lokal Modo bahwa “Gajah Mada adalah kelahiran Modo,Lamongan”.
Membaca sendiri novelnya tentu akan merupakan pilihan paling baik daripada menunggu sinopsis dari resensi yang dibatasi halaman dan karakter !!!! Setuju bukan ????
*) Titik Alva-Alvi Choiriyah adalah novelis Islami, banyak membaca buku religius dan kebudayaan.
Sumber: Kompas, 15 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar