Pages - Menu

16 Agustus 2011

H i j a u

Cerpen Jia Effendie

Banyak cerita yang diawali di kedai kopi. Cerita yang ini pun begitu. Kisah ini dimulai dengan seorang gadis yang tengah duduk di salah satu sofa kedai kopi ternama, menyesap Greentea Frapuccino. Pilihan yang sangat tidak kopi. Minuman berwarna hijau, dilesap oleh seorang gadis mungil berpakaian serba hijau. Di atas meja, di sebelah minuman yang embunnya menetes-netes di pinggiran gelas, terbuka sebuah buku. Tangan kirinya yang lentik memberati lembaran kiri buku tersebut agar tetap pada halaman yang tengah dibacanya. Jika kau melihat lebih dekat, kau akan melihat tak hanya deretan teks, tetapi juga sebuah ilustrasi peri kecil yang diwarnai dengan cat air dalam gradasi hijau.

Kau tentu berpikir gadis itu sangat menyukai warna hijau? Pakaian hijau, minuman hijau, dan membaca buku berilustrasi hijau. Tidak, ini hanya kebetulan saja. Terkadang kebetulan terjadi secara bersamaan. Bukankah ini hanya alam yang berkonspirasi? Konspirasi. Betapa berat kata-kata itu. Padahal, ini hanyalah sebuah cerita romantis yang tidak melibatkan konspirasi politik. Hanya cinta.


Baiklah, sudah mulai penasaran? Atau malah bosan? Kau dipersilakan untuk mundur kapan pun, Tuan dan Nona. Aku tak ingin membuang-buang waktumu yang berharga itu untuk membaca kisah seorang gadis hijau yang sedang menyesap minuman teh hijau. Telepon genggamnya berbunyi. Dia mengangkatnya segera, memulai sapaan standar itu.

“Halo?” “Ya, udah nunggu. Cepetan, leprechaun milkshakenya udah hampir abis nih. Aku diliatin orang-orang dari tadi.” “Haha, maksudnya greentea frappuccino.” “Oke, kutunggu. Love you.”

Apakah kau menguping cukup dekat? Aku baru saja menyamar jadi sedotannya agar bisa memperhatikan gadis ini lebih saksama. Oh tidak, bibirnya mulai menuju ke arahku, mengatupkannya di ujungku dan mulai menyedot minuman hijaunya dari tabungku.

Lelaki yang dipanggilnya sayang itu akhirnya datang juga. Minuman hijau pucat itu telah tandas. Mereka saling mencium pipi, lalu memanggil pelayan. Espresso, ujar si lelaki. Aku mau biskuit cokelat, kata si gadis hijau. Mereka mulai bertatap-tatapan hingga aku jengah harus mengintip pemandangan seperti itu. Keduanya mengobrol, berbagi cerita yang tercecer setelah tujuh hari absen bertemu, berbagi kisah yang tak sempat mereka utarakan melalui telepon ataupun fasilitas BlackBerry Messenger. Telepon si lelaki bergetar. Dia sejenak ragu. “Siapa, Yang?” Gadis hijau bertanya. “Bukan siapa-siapa,” jawabnya. Dengan gusar dijejalkannya kembali BlackBerry itu ke dalam kantong celananya. Namun telepon itu kembali menyalak-nyalak galak. Berteriak-teriak meminta perhatian. Lelaki itu semakin gusar. Dia mohon diri.

Bolehkah aku ikut keluar dan menguping pembicaraannya? Ah, sungguh kurang kerjaan aku ini. Tidak boleh? Baiklah, aku akan duduk di dalam, menemani gadis hijau dan menyamar menjadi serbet. Lelaki itu tak lama berada di luar, dia segera kembali dengan wajah kusut. “Aku harus pergi.” “Kamu kan baru datang!” “Ada teman kecelakaan.” “Astaga. Siapa? Gimana keadaannya? Parahkah? Aku ikut, ya!” “Ga usah.” “Aku bawa mobil. Biar cepet sampai.” “Ga apa-apa. Aku sendiri aja.” “Aku maksa. Udah, kamu yang nyetir.” Dengan enggan lelaki itu menerima kunci mobil dari si gadis hijau, sementara pacarnya sigap memanggil pelayan dan membayar tagihan. “Siapa sih yang kecelakaan?” tanya si gadis hijau ketika mereka berdua mulai melaju.

“Teman.” Lelaki itu menjawab gelisah. “Iya tahu teman kamu, tadi kan kamu udah bilang. Tapi siapa?” Lelaki itu meminggirkan mobil di tempat sepi, mendesah berat. “Anggra, sebenarnya tak ada yang kecelakaan.” “Lalu?” Lelaki itu kembali menarik napas susah payah dan dengan berat mengembuskannya kembali. Kepalannya memukul-mukul keningnya sendiri. “Aku…” Jeda itu agak terlalu lama. Anggra menanti tak sabar, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. “Aku, tadi aku datang untuk putus denganmu. Seharusnya aku pergi sendirian sekarang. Aku akan menemui Freya. Dia sudah menungguku.”

Anggra membayangkan kaca depan mobilnya dihantam oleh tinju raksasa dan membuat wajah manisnya yang tirus penyok terkena tonjokan itu dan pecahan-pecahan kaca kecil. Namun dia bergeming. Wajahnya tidak berubah. “Maksud kamu? Freya?” “Ya, Freya. Maafkan aku. Aku harus mengantarnya ke dokter.” “Dokter?” “Freya hamil.” “Maksud kamu? Kenapa harus kamu yang mengantarnya ke dokter?” “Karena aku ayahnya.”

Kali ini Anggra membayangkan tangan tak kasat mata menjawil kerah kemeja Fahmi dan melemparkannya keluar dari mobilnya, lalu dia jatuh di tengah jalan dalam keadaan berserakan. Aku masih menonton, menjelma mainan anjing yang mengangguk-angguk di dashboard mobil.

“Bukannya kamu udah janji? Kita udah janji. Kita mau menikah akhir tahun ini. Kamu lupa?” Anggra dengan napas memburu. Marah. “Aku, minta maaf.” “Telan lagi maafmu! Kuharap kata itu menggerogoti dari dalam, gentayangan menghantuimu sampai kamu tak bisa hidup tenang. Keluar! Keluar dari mobilku!” Laki-laki yang dicintai si gadis hijau keluar seperti penjudi yang kalah taruhan. Dengan kepala tertekuk dan tangan melunglai. Anggra mengambil alih kursi pengemudi dan mulai menangis. ***

Dahulu, dua belas tahun lalu, rumah mereka adalah rumah paling ideal yang pernah ditinggali keluarga mana pun. Keluarga paling bahagia yang pernah ada. Setidaknya, bahagia itu menurut pendapat mereka, terutama putri satu-satunya, Anggraeni, yang mudah dibuat senang dengan permen kapas warna-warni dari pasar malam. Kemudian, Ibu membakar rumah mereka.

Anggraeni tidak tahu apa yang terjadi, yang dia tahu hanyalah bahwa rumah mereka terbakar, dan ayahnya meninggal. Dan tentu saja, dia juga tidak tahu kalau ibunyalah yang membakar rumah, karena dialah yang dipeluk ibunya saat wanita berusia akhir dua puluhan itu menangis tersedu-sedu sambil berteriak menyayat-nyayat hati memanggil-manggil nama suaminya. Semua orang bersimpati pada keluarga ini. Pada istri yang ditinggalkan suaminya, dan seorang anak perempuan yang tak lagi punya ayah.

Kehidupan bahagia mereka langsung berubah. Ibu tak lagi jadi wanita baik hati yang menyiapkan sarapan bergizi setiap pagi, dengan segelas susu hangat agar putrinya tumbuh tinggi dan cerdas. Bukan lagi wanita yang mencium tangan suaminya tatkala sang suami.

Semua itu karena beberapa lembar rambut cokelat di pakaian Ayah. Rambut Ibu hitam legam, tak pernah diwarnai cokelat. Lagi pula, rambut Ibu tidak sepanjang itu. Jadi Ibu memilih untuk membakar rumah, dan Ayah.

Kemudian mereka pindah ke rumah kontrakan. Di rumah lebih kecil dengan dua kamar yang disekat tripleks itu, Anggra sering mendengar lenguhan-lenguhan berbeda setiap malamnya. Dia yakin ibunya mulai gila. Karena tak seorang pun masuk rumah. Tak ada satu lelaki pun masuk rumah. Tetapi suara lenguh-desah itu adalah campuran suara Ibu dan suara laki-laki. Anggra tidak mengerti.

Fahmi tahu siapa laki-laki yang sering berkunjung ke kamar Ibu. Dia melihatnya menyelinap dari celah pintu, atau muncul dari langit-langit ruang tamu, menjalar lewat lubang kunci. Terkadang ia berupa udara hijau, namun seringkali ia menjelma buto ijo, apalagi ketika malam purnama, begitu kata Fahmi.

Ketika dia menceritakan itu padaku, aku tak percaya. Mungkin karena aku tak melihatnya. Kata Fahmi, makhluk itu mengikuti ketika kami pindah ke rumah baru yang kubeli dari hasil jerih payahku. Ia menetap di kamar Ibu. Ibu tidak mengatakan apa pun ketika aku bertanya. Dia hanya membisu, seolah-olah membenarkan perkataan Fahmi. *** “Anggra,” Suara ketukan memanggil-manggilku seperti bor yang membolongi kepalaku. “Bangun.” Bisik itu semakin dekat. Seperti datang dari kejauhan kemudian mendekat. “Geser, biar aku yang nyetir,” ujarnya. Aku mengangkat kepalaku dari setir, dan suara nyaring yang menyilet-nyilet telingaku itu berhenti. “Mana Freya?” tanyaku. “Freya siapa?” “Freya! Perempuan yang kauhamili itu! Kamu sudah janji! Kamu akan menikah denganku!” “Anggra, sayang, kita sudah menikah. Tak ada Freya. Tak pernah ada Freya. Ayo kita pulang. Kamu pindah, ya, duduknya.”

Aku membiarkannya mengambil alih setir dan duduk di kursi penumpang. Hingga kulihat sekelebat bayangan. Rambut-rambut panjang berwarna cokelat di kemeja Fahmi, pertengkaran kami, api yang berhasil dipadamkan, bau obat-obatan, dan senyum perempuan itu. Aku merebut setir, dan menghantamkan mobil pada apa pun yang padat di hadapanku.

Jia Effendie lahir di Garut tanggal 21 Juni. Menulis sejak SMP. Karya cerpen dan puisinya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional di Indonesia. Aktif dalam komunitas menulis The Hermes. Sejauh ini telah menerbitkan 2 kumpulan cerpen pribadi, dan 3 kumpulan cerpen serta 1 antologi puisi bersama penulis lain. Blog: http://jiaeffendie.wordpress.com

Sumber: Kompas, 15 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar