Cerpen Susan Gui
Hari ini, seharusnya aku duduk bersama mereka dibangku sekolah yang dicat coklat. Seharusnya, aku memakai seragam yang ibu beli di pasar Senen tahun lalu. Seharusnya aku memakai tas baru, membawa buku yang sudah rapih disampul dan membawa peralatan sekolah yang serba baru. Ya, hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Seharusnya aku memakai seragam merah putih, pasti terlihat gagah sekali.
Tapi, kini aku berdiri diantara tumpukan sampah, menatap cakrawala yang memburat semu di antara awan-awan yang menggumpal. Aku seorang anak laki-laki yang menatap awan dengan mimpi.
Semalam, ibu menangis dihadapanku. Beliau mengatakan hal yang selama ini aku takuti, “Aku tidak mungkin sekolah.” Kata-kata itu seketika membuat gumpalan awan makin lekat hitam.
Biaya masuk sekolah sangat mahal untuk keluarga kami, sudah cukup lama ibu menabung dicelengan yang terbuat dari tanah liat berbentuk ayam. Tapi, tetap saja uang itu tidak cukup. Ibu tidak sanggup lagi membayar uang sekolah apalagi memikirkan uang jajan agar aku tampak sama dan wajar seperti siswa/siswi yang lain.
Ibu selalu bilang sekolah itu mahal; berharga. Karena itu, Ibu memintaku untuk berhenti sekolah dan mulai mendaftar di sekolah untuk anak pemulung atau SUAP. Aku hanya merasai pilihan itu adalah yang terbaik. Aku masih menggenggam mimpiku sebaik-baiknya dan mempercayainya dengan segala daya upaya yang kumiliki.
Kini, Aku berdiri diatas tumpukan sampah. Berdiri seperti seorang raja yang ingin menaklukan dunia, aku menantang matahari untuk membakar tubuhku hingga kesum-sum; biarlah. Yang kumiliki hanya segaris keyakinan untuk tetap mempercayai impianku.
Aku merentangkan tanganku, membentuk garis horisontal. Aku adalah raja atas duniaku sendiri. Aku berdiri di antara kerajaan yang bergelimangan kekayaan batin, yang tidak dimiliki kebanyakan orang.
“Aku adalah raja!!!!!” jeritku.
Aku merasakan dadaku naik turun, emosiku terpacu. Aku mencium bau sampah, merasakan menulusup di antara rongga paru-paru; menikmatinya seolah-olah surga yang dijanjikan itu memiliki aroma serupa aroma sampah yang membusuk walau aku yakin surga pasti lebih wangi. Yah, aku tetap sadar aku hanya bocah lelaki di antara keangkuhan ibukota yang impit-mengimpit, aku di antara setitik debu di antara ribuan, aku hanya seorang anak laki-laki yang telanjang dada memunggut sampah.
Aku memandang tumpukan sampah seperti katifah menutup tanah. Dikejahuan, Aku juga menatap anak-anak berseragam merah putih berjalan gagah menuju sekolah. Ini adalah tempatku berdiri, tempat yang menurut sebahagian orang kotor dan menjijikan, tempat dimana sampah-sampah dari segala penjuru berkumpul.
Gundukan sampah tinggi menjulang, menelan kami yang mengais hidup diantaranya. Kami, aku, mereka, terlihat kerdil diatas kedegilan manusia urban.
Adikku yang berumur 3 tahun berdiri sedari tadi disampingku, kini dia mulai gusar.
“Abang” panggil Rai sambil menarik-narik celanaku. Aku menurunkan tanganku yang sedari tadi membentang lalu menatap kedua bola mata Rai. Rai tampak tersenyum.
“Ehmm, kau menganggu waktuku Rai! Tidak tau kalau abangmu ini sedang mimpi jadi raja, dari sebuah istana” tukasku cepat.
“Raja abang?”
“Raja sampah” batinku. Aku terkekeh pelan lalu jongkok dihadapannya, “Kau, Ahmad Rai yang tampan seperti pangeran William, tidak usah kau pikir soal raja yang barusan kuucap. Khayalan tengah hari bolong itu, tapi kalau sudah besar jadilah anak yang shaleh, jangan jadi pemabuk, penjudi, tukang boong, atau penipu macam para pemimpin sekarang ini” ujarku sambil membelai lembut rambut Rai yang kuning terbakar sinar matahari.
“Iya abang” jawab Rai pelan namun suaranya jelas dan tegas.
“Jangan takut bermimpi, anak-anak macam kita yang berdiri diatas tumpukan sampah pun berhak untuk mendapatkan pendidikan serta kehidupan yang layak. Kan seperti yang dibilang dalam UUD 45. Nah pendidikan itu untuk mencapai impian kita jadi pemimpin atau raja!”
Rai garuk-garuk kepala, sepertinya dia tidak mengerti apa yang kubicarakan. Aku mengerti ketidakmengertiannya dan segera menjelaskan, “Dalam UUD tahun 45, disebutkan kalau semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan, kau juga pantas dapat pendidikan, kau juga berhak dapat kesempatan keluar negeri seperti para orang-orang kaya itu”
Rai masih mengaruk kepalanya, aku memeluk tubuh mungilnya. Dari kejauhan kudengar sayup-sayup suara deru mesin truk-truk sampah mendekat, aku melepaskan pelukanku. Sejenak kuusap wajah Rai yang terkena debu, “Ayo, kita berlari, menjemput rezeki” ujarku tergugu. Rai hanya tersenyum manis dan segera naik punggungku.
Tangan kananku memegang tubuh Rai agar tidak jatuh dan tangan kiriku mengambil ganju serta keranjang. Aku turun dari tumpukan sampah yang sudah kuacak habis, aku bersiap menyerbu rezekiku. Berlomba dengan puluhan manusia lainnya, berjejal diantara tumpukan sampah yang baru ditumpahkan truk sampah.
Aku bersiap meraih apapun rezeki halal yang Tuhan tiitipkan, aku tidak perlu takut akan belatung yang menari lincah diantara sampah yang berbau busuk sekalipun. Kehormatan yang kumiliki hingga kini adalah aku berani menantang kehidupan untuk menjadi seorang. Pemimpin hanya impian yang klise dan sarat makna, tidak selalu soal kekuasaan, tidak selalu soal kekayaan.
Aku juga bersiap untuk duduk disekolah suatu hari nanti. Pun, hal itu adalah hal yang tidak mungkin, aku percaya, akan mendapati ilmu dengan cara yang baik. Ruang-ruang sekolahan memang ruang untuk belajar.
Tapi bagiku, alam, lingkungan, manusia-manusia, keluarga dan Tuhan adalah guru-guru terbaik untukku. Aku mempercayai mereka.
Dari sampah yang bergelimpangan dikampung kami, dari kekumuhan yang merangkul kami dikesehariannya, kami hanya segerombol anak-anak yang berani bermimpi untuk menjadi apapun. Aku pun bermimpi, jadi pemimpin, itu saja, tidak perlu ditanya kenapa. Kelak aku akan jadi pemimpin, kelak aku akan bikin undang-undang sendiri; undang-undang sampah. Sekali lagi jangan tanya kenapa.**
Jakarta 12 Juli 2011
Sumber:Kompas, 15 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar