Judul Buku : Tragedi Politik Hukum HAM
Penulis : Dr. Suparman Marzuki
Pengantar : Moch. Mahfoed MD
Penerbit : PUSHAM UII, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), Maret 2011
Tebal : 498 halaman
Harga : Rp 55.000,-
Peresensi : Humaidiy AS *)
Di akui ataupun tidak, penegakkan hukum HAM di Indonesia hingga saat ini belum mampu menyentuh aspek realitas-praksis. Bagimana tidak, jika harus jujur penegakkan HAM di Indonesia bisa dikatakan masih semu dan tak lebih hanya sekedar jargon belaka, karena sudah terbukti banyak kasus tentang HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. sebut saja misalnya kasus Semanggi, Sampit, Aceh (DOM), pelangaran HAM di Timor-Timur, aktivis Munir, hingga kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu.
Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut jelas telah mengoyak martabat bangsa ini. Ini membuktikan, reformasi di bidang hukum, khususnya penegakkan hukum HAM, gagal dicapai. Clean and good governance yang seharusnya dibangun pemerintah saat ini setelah otoritarianisme Orde Baru tinggal menjadi kenangan.
Padahal, sejak wal dibangunnnya negeri ini, salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia yang digagas para pendiri bangsa Indonesia (founding father) adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah salah satu barometernya adalah terciptanya law environcement (penegakkan supremasi hukum) yang kuat dan tidak memihak.
Buku yang berjudul “Tragedi Politik Hukum HAM”, yang ditulis oleh Suparman Marzuki ini berusaha menguak berbagai tragedi pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia, sejak era Presiden Soekarno (Orde Lama), Orde Lama, hingga politik hukum HAM di era Reformasi. Selain itu, penulis juga berusaha mengurai usaha apa saja yang dapat dilakukan untuk memberangus maraknya tragedi pelanggaran HAM sekaligus tawaran solusi alternatif demi eksistensi dan masa depan tegaknya supremasi hukum di Indonesia.
Menurut Penulis, di masa Orde Lama, pada periode 1945 hingga 1950-an kekuasaan Soekarno berada dalam jalur kekuasaan yang demokratis dan menghormati HAM.
Setelah sepuluh tahun pertama kekuasaan Presiden Soekarno, perkembangan politik pada tahun-tahun berikutnya, terutama setelah dekrit Presiden 4 Juli 1959 yang menandai demokrasi terpimpinnya Soekarno, mengalami degradasi politik yang luar biasa. Derita rakyat tidak hanya pada aspek ketidakmerataan ekonomi, tetapi juga pengekangan pada kebebasan hak sipil dan hak politik. Sekitar tujuh tahun – antara tahun 1959-1966, sistem politik dan bangunan negara hukum Indonesia disalahgunakan untuk kepentingan penguasa (hlm. 192). Alih-alih hendak menegakkan demokrasi, Demokrasi-Terpimpinnya Presiden Soekarno justru mengebiri demokrasi. Sifat anti kritik Soekarno diwujudkan dalam bentuk tindakan subversif, baik penahanan, pemenjaraan bahkan pembredelan. Penahanan tanpa proses hukum terhadap pimpinan media cetak semisal Mukhtar Lubis adalah fakta nyata sikap anti kritik seorang Soekarno.
Pada era Orde Baru, keadaan HAM di Indonesia jauh lebih buruk di banding era Soekarno. Dengan corak otoriter dan militeristik yang kental demi mempertahankan kekuasaannya, Soeharto menerapkan tiga kebijakan sekaligus. Pertama, mengekang hak berserikat, berekspersi dan berpendapat. Kedua, melakukan eliminasi dan kebijakan redaksionis konsep HAM sesuai selera pemerintahannya, dengan cara melakukan hegeminisasi dan dominasi faham melalui pendidikan formal dan informal dan ketiga, melakukan pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa tanpa alasan hukum. Untuk melanggengkan proyek kekuasaannya, dengan dalil stabilitas politik sebagai syarat pencapaian pertumbuhan ekonomi, Presiden Soeharto tidak segan mengontrol secara ketat media mass, kampus, mahasiswa, LSM, DPR, bahkan lembaga yudisial (hlm. 196).
Dengan kekuatan militernya, Suparman menilai setidaknya ada tiga bentuk pelanggaran HAM secara nyata yang dilakukan aparat negara. Pertama, pembunuhan di luara hukum sebagai pelanggaran atas kewajiban mengormati hak untuk hidup. Tragedi semisal pemunuhan sejumlah besar orang yang dituduh terlibat PKI pada tahun-tahun awal Orde Baru, peristiwa petrus (penembakan misterius) pada 1980-an, peristiwa Talangsari, pembunuhan sepanjang operasi militer (DOM) di Aceh dan Papua sejak awal tahun 1990-an hingga pembunuhan dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi pada pertengahan akhir tahun 1990-an menunjukkan kebengisan luar biasa terhadap HAM. Kedua, penghilangan secara paksa (enforced disappearence) atau penculikan atas sejumlah aktivitas mahasiswa demokrasi. Ketiga, penyiksaan dan penganiayaan.
Di pihak lain, Goenawan Muhammad dan Ayib Rosyidi mengatakan bahwa karya-karya seni dan sastra sesudah era 1966 kian jauh dari suasana protes dan anti kritik, baik sosial dan politik. ungkapkan tokoh budayawan itu menunjukkan bahwa Soeharto sangat piawai dalam melakukan serangkaian program depolitisasi di segala bidang, sekali pun memakai koersi (kekerasan). Singkat kata, dalam sistem pemerintahan soeharto yang otoriter, negara telah mengakumulasi kekuasaan secara terus menerus sehingga terjadi kesewenang-wenangan, tidak tegaknya hukum dan pelanggaran terhadap HAM secara massif.
Babak Baru Penegakkan HAM Berhentinya Soeharto pada sebagai Presiden pada 21 Mei 1998, secara formal menandai kejatuhan rezim Orde Baru sekaligus terbukanya harapan hukum dan politik demokratis di Indonesia. Dari sudut pandang konstitusionalisme, reformasi yang kita bangun pada 1998 dapat dilihat sebagai upaya untuk menata tiga hal yang terkait konstitusionalisme, yaitu perlindungan HAM, demokrasi dan penegakkan hukum menurut Mahfoed MD dalam pengantar buku ini. Lebih jauh menurut pak Mahfoed, dari berbagai studi akademik menyebutkan demokrasi Indonesia tidak tumbuh dikarenakan para penguasa selalu membangun otoritariansime dengan memanipulasi tafsir terhadap UUD 1945 (hlm. xi).
Akibatnya, pembuatan hukum yang menyangkut kekuasaan selalu menuruti kehendak penguasa. Hadirnya reformasi tidak hanya diharapkan dapat memutus rantai politik yang otoriter, tetapi juga mampu menghadirkan penegakkan HAM yang nyata. Berbagai kasus penyelesaian kasus HAM di masa lalu maupun tragedi pelanggaran HAM di era reformasi (Kasus Munir dan Timor-Timur) harus segera diselesaikan. Jika tidak, selain meresahkan masyarakat, kasus-kasus tersebut tentu akan semakin menghambat jalannya demokrasi yang telah kita ciptakan.
Buku ini secara gamblang mengisahkan bagaimana politik penegakkan HAM di masa lalu tidak berjalan progressif. Politik dijalankan dengan semangat oportunistik dan berwatak pragmatis. Melihat isinya, pembahasan dalam halaman demi halaman buku ini memberikan deskripsi dan analisis yang mendalam tentang fakta pelanggaran HAM di Indonesia, mulai dari era Orde Baru yang berwatak otoriter hingga era reformasi. Kelebihan buku terletak dari kemampuan meracik data dan fakta tragedi pelanggaran HAM dengan analisis yang sedemikian tajam dan aktual.
Melalui buku ini, penulis menegaskan bahwa penegakkan HAM telah menancapkan episode masa depan politik yang lebih demokratis, menghormati hak mayoritas dan melindungi minoritas dari segala tirani (hlm. 442).
Meski demikian bukan berarti buku ini tanpa kelemahan. Buku ini terkesan rumit bagi masyarakat awam karena banyak menggunakan bahasa ilmiah dan sangat teoritik layaknya sebuah disertasi. Akan tetapi, kerumitan buku ini tidak mengurangi kualitas pembahasan yang sarat dengan data dan fakta.Tujuan buku ini bukan dimaksudkan membuka luka lama atau mengungkit-ungkit peristiwa tragis di masa lalu. Kehadiran buku ini menjaga ingatan kolektif agar konflik-konflik politik di masa silam tak terulang dan memberikan pemahaman sekaligus pelajaran berharga, agar di masa depan bangsa ini tak lagi dirundung tragedi serupa.
Ingatan dan pemahaman itu menjadi modal merumuskan cara menghadapi dan menangani konflik politik yang lebih demokratis di masa mendatang. Walhasil,dedikasi buku ini bukan hanya diperuntukkan untuk para aktivis HAM yang selama ini mengalami kebuntuan perjuangan, tetapi juga menjadi cermin reflektif bagi bagi bangsa Indonesia kenapa keadilan senantiasa ditunda. Kehadiran buku ini di tengah-tengah pembaca, dirawat oleh semangat perjuangan seorang aktivis dan akademisi. Melihat keseluruhan isinya, sumbangan pemikiran dan kontribusi positif penulis yang tertuang dalam buku ini layak untuk diapresiasi.
Buku ini tidak hanya berguna bagi aparatur penegak hukum, aktivis HAM, akadmeisi, praktisi hukum dan penentu kebijakan legislasi nasional, tetapi juga perlu dijadikan pegangan “wajib” bagi masyarakat luas dalam membuka mata, pikiran serta kesadaran tentang jalannya proses penegakkan hukum di negara yang kita cintai ini sembari berdoa semoga tragedi tidak pernah lagi terjadi di bumi pertiwi. Selamat membaca! *) Peresensi adalah Peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar