Yang disebut bangsa ilmiah itu tidak selalu berarti bangsa modern, walau sikap ilmiah memang bisa membuat bangsa menjadi modern. Tetapi modernisasi yang membuahkan kerusakan, itu sama sekali jauh dari watak ilmiah. Karena ilmiah itu menyangkut seluruh pencapaian. Ia menyangkut tidak cuma kecerdasan tetapi juga kebijaksanaan. Pintar tanpa menjadi bijaksana, hanya akan menghasilkan ilmiah teknologi tetapi tidak ilmiah moral. Menjadi sangat teknologi tetapi sangat tidak bermoral, membuat teknologi cuma akan menjadi bahaya. Sesuatu yang dihasilkan tetapi cuma untuk mendatangkan bahaya, pasti lebih tidak dihasilkan. Jadi puncak sikap ilmiah itu sesungguhnya adalah kemenangan ilmu dan moral.
Modernitas ekonomi, misalnya, jika hasilnya cuma untuk membobol bank, melegalisasi korupsi dan mengesahkan penyelewenagan, akan menghasilkan akibat yang kerusakannya jauh lebih mencekam katimbang kebodohan zaman pra-ilmiah. Kejahatan hasil gabungan seluluh pencopet di dunia, jauh lebih ringan dibanding dengan kejahatan seorang hacker tukang bobol akun korporasi lintas negara.
Jadi sikap ilimiah itu adalah pencapaian yang jauh lebih luhur dari sekedar pencapaian teknologi. Karenanya, di hari-hari ini, saya terdorong menerjemahkan sikap ilmiah itu ke dalam soal apa saja tak peduli remeh dan sederhana sepanjang ia pro-keluhuran. Sopir truk yang mengganjal rodanya dengan batu lalu meninggalkan begitu saja jelas jauh dari sikap ilmiah. Tetapi seorang yang tergerak menyingkirkannya, adalah manusia ilmiah. Karena di balik tindakan penyingkiran itu ada rentetan imajinasi yang tidak sederhana.
Semula ia barangkali cuma membayangkan kejengkelannya kepada sopir yang ceroboh dan tega. Bayangan itu lalu meningkat lagi ke rasa ngeri seandainya sebuah sepeda motor harus tergelicnir karenanya. Akan makin makin ngeri jika sepeda motor ini akan terlontar ke sebuah mobill, mobilnya kaget dan banting stir, lalu harus bertabrakan dengan mobil yang di depan, lalu yang di depan akan ditrabtak yang di belakang, lalu yang di belakang akan ditabrak oleh yang di belakangnya lagi. Terus apa jadinya jika di dalam tabrakan beruntun itu terdapat sanak-saudara, teman dekat atau setidaknya tetangga.
Jadi dari sebuah keputusuan kecil, sekadar menyingkirkan batu ganjal roda truk itu saja tersedia rangkaian imajinasi ilmiah yang panjang. Tetapi imajinasi yang bermuara pada peristiwa moral itulah puncak dari rasa ilmiah. Dari mana imajinasi itu berasal? Dari kepercayaan orang itu kepada tatanan dan keteraturan. Karena kenyataan ilmiah memang dijaga cuma untuk memelihara keteraturan. Hukum fisika dan kimia diselenggarakan cuma agar jika cairan ini dicampur ini akan menjadi ini yang baru. Karena gravitasi planet dibuat tertentu maka peredaran planet memiliki gerak tertentu. Karena di sini bersikap tertentu itulah kenapa yang di sana jadi bisa bersikap tertentu. Jika harga tidak dipatok tertentu, dunia perniagaaan tidak lagi bisa berlaku. Agar seluruh soal menjadi terukur dan tertentu itulah muara budaya ilmiah. Maka seluruh soal yang mengganggu keteraturan, yang mengaburkan keterukuran, adalah musuh dari sikap ilmiah.
Indonesia sanggup menjadi bangsa ilmiah dengan mudah karena pada awalnya cukup mengerjakan soal-soal yang sederhana. Jangan membuang sampah ke sungai atau got depan rumah. Jangan jajan tidak bayar dan jangan ngemplang kalau berhutang. Jangan pula sembrono menggarap tanah karena ternyata tanah juga bisa lelah. Adalah aneh, ketika makin modern dunia pertanian, malah makin keliru mengolah tanah. Bagaimana mungkin makin maju pengetahuan malah makin mundur secara kelakuan. Ini jelas bertentangan dengan semangat ilmiah. Menjadi pintar malah menjadi sial pasti tidak ilmiah. (Prie GS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar