Pages - Menu

16 April 2011

Piano dalam Pikiran

Prie GS.
Di waktu kecil saya memiliki banyak minat yang tidak nyambung dengan keadaan. Pada saat semua anak-anak bergembira memiliki kambing utnuk digembalakan dengan kebanggaan, saya malah bermimpi memiliki mesin ketik. Membaca cerita, membayangkan menjadi penulis cerita, dan mengetik cerita adalah kemabokan luar biasa. Tapi tak terkira susah untuk menyalurkan  hasrat ini. Karena jangankan untuk memilki mesin ketik, untuk meminjam saja sudah  merupakan kesulitan luar biasa karena seluruh mesin ketik yang ada selalu berada  jauh di luar jangkauan saya.

Hobi yang lain lagi adalah bermusik.  Bermain gitar adalah mimpi besar, apalagi  sampai memiliki gitar. Satu-satunya alat musik yang bisa saya miliki waktu itu adalah mulut saya sendiri. Seluruh musik saya mainkan dengan satu-satunya alat yang tidak harus membeli ini. Gitar hanya millik segelintir anak-anak kota dan cuma layak dimainkan anak-anak kota. Menyadari keterbatasan ini saya seperti merasa sebagai anak yang sedang salah hobi.


Eloknya kesalahan ini  malah saya perbesar sendiri. Jika gitar saja sudah tak terjangkau, saya malah bermimpi memiliki piano. Benar-benar cuma bermimpi karena menurut keyakinan saya saat itu, piano hanya bisa saya impikan tetapi tidak benar-benar layak  saya miliki. Rasa tidak layak memilki piano ini pada awalnya sebatas persoalan ekonomi, tetapi makin lama ia berkembang menjadi  persoalan psikologi. Karena di benak saya, piano adalah barang mahal, yang cuma cocok diletakkan di rumah mahal, dan dimainkan olah orang-orang mahal.

Rasa bukan  sebagai orang mahal inilah yang celakanya menetap bahkan hingga saat ini, saat saya menulis kolom ini,  tepatnya ketika saya benar-benar harus memiliki piano saya sendiri. Saya nyaris tak percaya bahwa mestinya, jika cuma membeli piano sebagai barang, saya mestinya sudah  kuat secara ekonomi. Tetapi kenapa soal itu tidak juga terjadi, ternyata lebih karena penjara pesikologi. Bahwa secara perasaan, rasa sebagai orang yang tidak layak itu mengendap permarnen tanpa saya sadari. Ini sungguh  serupa instink gajah yang patuh cuma dengan seutas tali. Lemah sekali tali itu secara barang, tetapi kuat sekali secara kejiwaaan. Gerakan seluruh gajah itu hanya akan melingkar sebatas panjang tali. Semua ini karena kondisi dalam pikirannya sendiri. Saya pun lama terkondisi oleh pikiran seperti ini.

Ketika tali pikiran ini saya sadari, saya segera melepasnya dan bertekat membeli piano secepatnya. Mimpi lama ini mestinya tak pernah  saya lupa cuma karena saya tidak berani. Apakah piano benar-benar mahal? Tidak. Karena yang saya beli bukan grand piano dengan tuts gading gajah yang dibeli John Lennon itu. Yang  saya beli cukup piano tua dari  seorang teman yang memang sudah  lama ingin menjual barang ini. Harganya benar-benar spektakuler karena murah sekali. Tak peduli seberapa pun sempit dan  ruwet keadaan rumah  saya, boleh-boleh saja saya menaruh piano di dalamnya. Saya tidak sedang melanggar hukum dan tidak pula harus takut pada komentar tetangga kanan-kiri. Soal ukuran pantas dan tidak pantas ternyata bisa  saya tetapkan sendiri. Piano yang selama ini hanya tertahan  dalam pikiran benar-benar saya hadirkan sebagai kenyataan.



Sumber: Suara Merdeka, 15 April 2011
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar