- Hartono Harimurti
Dalam upaya mempersempit gerakan terorisme, maka digodoklah Rancangan Undang-Undang (RUU) intelijen, yang diharapkan akan memperkuat kewenangan intelijen sebagai salah satu unsur mencegah aksi para teroris. Tapi di awal proses penggodokan RUU ini telah muncul pro-kontra, terutama dari elemen civil society seperti LSM, akademisi dan tokoh masyarakat. Mereka silih berganti menyuarakan kegelisahan atas poin-poin kewenangan yang akan diberikan kepada jajaran intelijen karena berpotensi melanggar privasi serta hak azasi manusia (HAM).
Seperti diketahui dalam RUU Intelijen diwacanakan, Badan Intelijen Negara (BIN) diperkenankan menyadap telepon, termasuk akun jejaring sosial seperti Facebook dan Tweeter, tanpa harus ada izin dari pengadilan. Kepala BIN Sutanto beralasan penyadapan seperti itu sudah diberlangsungkan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan juga Kanada yang terkenal demokratis. Karenanya demi kepentingan negara yang lebih besar ia minta agar RUU tersebut dapat disyahkan.
Latar belakang sejarah tentang kerja intelijen kita memang suram dari perspektif HAM. Sejak tahun 70-an masyarakat menilai intelijen sebagai penebar ancaman, penebar ketakutan, penggebuk lawan-lawan pemerintah dengan kerjanya yang rapi, sekaligus kejam atas nama stabilitas nasional.
”Hati-hati, nanti kamu diciduk” adalah kata-kata ”sakti” yang membuat siapa pun berpikir seribu kali untuk bersikap kritis atau coba merongrong penguasa. Bila represi seperti ini bakal dimunculkan lagi sebagai upaya meredam terorisme dan menjaga stabilitas nasional, maka rakyat akan diposisikan sebagai pihak yang paling lengkap penderitaannya. Pertama, mereka merasakan ancaman dari para teroris, dan kedua, mendapatkan ekses teror dari sebuah operasi intelijen.
”Bila dalam operasi intelijen terjadi pelanggaran hak azasi manusia, jelas itu teror bagi rakyat dan kemanusiaan,” kata Koordinator Kontras, Haris Azhar, mengritisi RUU intelijen.
Kita juga perlu menggarisbawahi berbagai kemungkinan terjadinya abuse of power dalam kaitannya dengan operasi intelijen, baik dalam rangka menjaga kepentingan makro yakni stabilitas keamanan, atau dalam rangka kepentingan mikro; semata-mata mempertahankan kekuasaan. Bila yang terjadi demi mempertahankan kekuasaan, maka akan terjadi penyalahgunaan intelijen untuk meredam gerakan kritis atau gerakan pro demokrasi yang muncul sebagai reaksi atas pemimpin yang korup atau melanggar konstitusi. Dalam arti, power yang dimiliki intelijen, hanya untuk mengabdi pada kepentingan penguasa saja.
Mencegah adalah lebih baik daripada mengobati. Pepatah ini layak diterapkan sebelum diberlakukannya UU intelijen. Yang perlu ditekankan pertama-tama, tentu adanya fungsi pengawasan yang memadai, sehingga aparat intelijen tidak akan melakukan sesuatu di luar kewenangannya, apalagi menyalahgunakan.
Mekanisme Koreksi
Yang mengkhawatirkan, dalam draft RUU intelijen BIN diberikan kewenangan untuk menyadap, namun dengan pertanggungjawaban yang minim. Pasal 14 ayat 1, misalnya, menyebutkan bahwa ”Dalam melaksanakan tugas BIN memiliki wewenang melakukan intersepsi komunikasi dan atau dokumen elektronik serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional.”
Pasal 14 ayat 2 dan 3 menegaskan lagi bahwa penyadapan dilindungi negara. Mereka menolak adanya pengaturan mekanisme penyadapan melalui izin pengadilan.
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti melihat ini mengindikasihan bahwa RUU ini berpotensi tidak menghormati nilai-nilai hak azasi manusia, privasi warga negara, menjunjung tinggi supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih. Ditambah lagi belum diaturnya mekanisme koreksi dan hanya diawasi oleh DPR.
Padahal mekanisme koreksi dan adanya putusan pengadilan untuk bisa dilakukan penyadapan adalah hal mendasar demi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pada saat melakukan tugas intelijen. Jangan sampai operasi intelijen digunakan demi kepentingan like or dislike penguasa.
Menurut Poengky, lembaga intelijen sudah seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan yeng berkedudukan di bawah departemen selaku institusi pembuat kebijakan. ”Kami keberatan bila keberadaan lembaga intelijen negara berada langsung di bawah Presiden. Posisi yang demikian itu akan rentan di politisasi,” ujarnya.
Berkaca pada berbagai hal diatas, maka layak jika ada yang curiga, jangan-jangan alasan perlunya kewenangan lebih bagi intelijen dalam rangka perang melawan terorisme hanyalah ’pintu masuk’ bagi lahirnya aturan untuk melawan potensi kebangkitan gerakan rakyat menentang pemerintahan yang korup, pemerintahan yang menyalahgunakan kekuasaan, pemerintahan yang tak sesuai amanat konstitusi.
RUU intelijen yang dibahas secara demokratis melalui wakil-wakil rakyat di DPR, seakan hanya merupakan legitimasi yang diperlukan, supaya terkesan sah dan demokratis. Padahal menghasilkan produk yang berpotensi menimbulkan ”teror” baru yang mencederai demokrasi, HAM, privasi rakyat, serta penyalahgunaan wewenang oleh aparat.(83)
Sumber: Suara Merdeka 27 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar