- Oleh: Mardiyanto
Padahal, selama ini rata-rata setiap sekolah mengeluarkan dana BOS untuk belanja pegawai (menggaji GTT/Guru Honorer) mencapai 30%. Kebijakan baru ini membuat repot kepala sekolah dan membuat resah GTT maupun guru honorer.
Kebijakan baru ini menjadi bukti bahwa pemerintah belum sepenuhnya memahami kemajemukan sekolah-sekolah di Tanah Air. Aturan baru ini boleh jadi dapat berjalan lancar di kota-kota dengan jumlah guru berstatus PNS melimpah, di mana gaji mereka dibayar oleh pemerintah.
Namun, kondisi ini berbeda dengan di daerah-daerah, apalagi di pelosok atau terpencil, di mana di dalam satu sekolah bisa berisi lima hingga 10 GTT/guru honorer.
Keberadaan GTT/guru honorer di daerah dan melimpahnya guru PNS di kota-kota besar memang ironis dan semakin menandaskan bahwa persebaran guru-guru PNS memang tidak merata. Di satu tempat berlebih, sementara di tempat lain kekurang. Kekurangan inilah yang kemudian diisi GTT maupun guru honorer yang diangkat pemerintah daerah maupun kepala sekolah. Tujuannya agar roda kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan optimal.
Keberadaan GTT/guru honorer tidak boleh dipandang sebelah mata, karena mereka juga mengerjakan tugas-tugas guru secara profesional. Meskipun banyak aturan yang melilit mereka, misalnya keharusan setiap guru bersertifikasi pendidik untuk mengajar 24 jam, jam mengajar GTT/guru honorer harus berkurang. Berkurangnya jam mengajar ini sangat berpengaruh pada gaji yang mereka terima, karena gaji yang diterima dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar per pekan.
Keberadaan BOS bagi sekolah dan GTT adalah nyawa hidup yang membuat mereka dapat bertahan. Kebijakan semestinya diambil dengan penuh kebijaksanaan, dengan segala macam pertimbangan. Jika bisa direvisi, kita berharap semoga direvisi. Jika tidak, sekolah harus bersiap-siap mencari jalan keluar dan GTT/guru honorer harus siap mengencangkan ikat pinggang. (37)
— Mardiyanto, guru SMP Negeri 2 Sukoharjo, Wonosobo.
Sumber: Suara Merdeka 28 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar