Pages - Menu

20 Juli 2010

Perpustakaan, Simbol Kemajuan Peradaban Islam

Oleh : Rabytah




Bismillahirrahmanirrahiim…
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang…
——————————————————————————————
Berbicara tentang Perpustakaan. Tempat ini adalah tempat favorit saya setelah kamar tidur. Karena disinilah benda favorit saya tinggal, Buku. I’m so crazy about this things. Karena setelah dihitung-hitung, mayoritas pemasukan saya keluar untuk pembelian buku-buku. Namun titik gila saya pada buku belum mencapai derajat kegilaan Qais pada Layla, atau kegilaan Romeo dan Juliet yang bunuh diri mati sebelum nikah. Dasar Sinting. Seharusnya Romeo dan Juliet tau, bahwa mayat orang yang membujang itu adalah sehina-hinanya mayat [hr. Bukhari]. Karena itu,  Allah berfirman “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.” (Q.S. An Nuur : 32)

Jadi (lagi) sekedar mengingatkan kembali, topik kali ini adalah tentang Perpustakaan. (dulu) Perpustakaan adalah salah satu simbol kemajuan peradaban Islam. Gudang ilmu, tempat berkumpulnya para pembelajar dari tempat-tempat yang jauh, dan merupakan pusat penelitian. Di tempat inilah para ilmuwan-ilmuwan, sastrawan-sastrawan, mujtahid, dan mufasir-mufasir besar Islam lahir.


Menurut para ahli, perpustakaan pertama dalam peradaban Islam adalah perpustakaan pribadi Khalid ibnu Yazid bin Muawiyah (704). Ia seorang sastrawan dan kolektor buku. Perpustakaan ini lahir pada masa pemerintahan dinasti Ummayah (661-750 M) yaitu suatu dinasti Islam setelah pemerintahan khulafuraysyidin.

Ingat Cordoba, Senor? Spanyol? Kota ini dahulu adalah Kota Ilmu. Jejak kejayaan Islam tidak hanya meninggalkan arsitektur megah dan rupawan di kota ini, namun juga gudang ilmu yang tak terkira. Gedung perpustakaan mencapai 70 buah dengan jumlah pengunjungnya mencapai 400 ribu orang. Sebanyak 27 sekolah swasta berdiri pada masa itu. Anak-anak fakir miskin pun bisa belajar secara gratis di 80 sekolah yang disediakan Khalifah Al-Hakam Al-Muntasir. Cordoba juga melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam ulung sepanjang sejarah, Ibnu Rusydi (Averrous), Ibnu Hazm (seorang Mujtahid, penulis kitab al-Muhalla), al-Qurtubi (seorang Mufasir), az-Zahrawi (Pakar Kesehatan Modern), dan masih banyak lagi pakar-pakar ilmu pengetahuan yang muncul dari rahim Cordoba.

Baghdad, sebuah Kota terletak di tepi sungai Tigris, dahulu tidak jauh dari Ctesiphon, bekas ibu kota kerajaan Persia dan ibu kota kerajaan sebelumnya, Parta Arsacadid. Baghdad sendiri dibangun pada 762 M sebagai ibukota Kekhalifahan Abbasiyah. Selain dipenuhi bangunan megah, kota ini juga dilengkapi dengan gedung perpustakaan yang lengkap.

Pada periode dinasti Abbasiyah perpustakaan mengalami perkembangan yang signifikan.  Pada masa khalifah al Mansur (754-775) khalifah ke dua dari dinasti Abbasiyah mendirikan biro penerjemahan di Baghdad. Kemudian pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid lembaga ini bernama Khizanah al-Hikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada tahun 815 al Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan merubah namanya dengan bayt-al-Hikmah. Perpustakaan ini menyerupai universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.

Pada tahun 1227 M, Khalifah Mustansir Billah mendirikan sebuah perpustakaan yang luar biasa di madrasah yaitu perpustakaan al-Mustanriya. Uniknya perpustakaan ini memiliki rumah sakit di dalamnya. Oleh karena itu perpustakaan al-Mustanriya juga berfungsi sebagai madrasah dan rumah sakit. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku-buku langka, selain itu juga perpustakaan ini mendapat sumbangan dari kerajaan sejumlah 80.000 buah buku.

Perpustakaan lain yang tak kalah besarnya pada masa itu adalah perpustakaan di Madrasah Nizamiah yang didirikan pada  tahun 1065 M oleh Nizam Al Mulk (seorang perdana mentri dalam pemerintahan Saljuq). Koleksi perpustakaan ini diperoleh sebagian besar melalui sumbangan, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Al-Atsir (sejarawan) bahwa Muhib Al-Din ibn Al-Najjar Al-baghdadi mewariskan dua koleksi besar pribadinya kepada perpustakaan ini. Khalifah Al-Nashir juga menyumbangkan beribu-ribu buku dari koleksi kerajaannya kepada perpustakaan tersebut.

Pada masa itu juga di Kairo berdiri Perpustakaan Khalifah dengan jumlah buku yang tersedia sekitar 2.000.000 (dua juta) eksemplar. Selain Perpustakaan Khalifah, Kairo juga memiliki perpustakaan Darul Hikmah. Perpustakaan ini mempunyai 40 lemari. Dalam setiap lemari memuat sampai 18.000 buku. Di perpustakaan ini juga disediakan segala yang diperlukan pengunjung seperti tinta, pena, kertas dan tempat tinta.

Kemudian di Afrika Utara (Tripoli) berdiri sebuah perpustakaan yang dibangun oleh Bani Ammar. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku mencapai 1.000.000 buah, dengan 180 penyalin buku yang bertugas menyalin buku-buku disana. Perpustakaan ini berisi buku-buku yang langka dan baru dizamannya. Bani Ammar mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang untuk menjelajah negeri-negeri dan mengumpulkan buku-buku yang bermanfaat dari negeri-negeri yang jauh dan dari wilayah-wilayah asing.

Tak hanya perpustakaan, ada banyak Universitas dan lembaga pendidikan yang hadir pada masa itu, di antaranya Universitas Granada, Universitas Cordova, dan banyak lagi. Dan istimewanya zaman dahulu justru ada yang disebut dengan Penjaga-penjaga buku yang merupakan ilmuwan-ilmuwan sekaligus pustakawan-pustakawan handal.
Lunturnya urgensi keberadaan perpustakaan dimulai sejak petaka serangan Salib yang telah membuat umat Islam kehilangan perpustakaan-perpustakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, Al-Quds, Ghazzah, Asqalan, dan kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Serangan bangsa Mongol yang begitu dahsyat telah memporak porandakan kota Bagdad dengan sekalian isinya termasuk perpustakaan, mereka membakar dan membuang koleksi buku ke Sungai Tigris. Sebuah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam.

Mengapa perpustakaan-perpustakaan ini begitu berharga?  Yah kalo tidak berharga kenapa ada manusia-manusia laknat yang bela-belain menghancurkan dan menjarah buku-bukunya. Saya kutip dari buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara (masih berkaitan dengan buku dan sejarah), bahwa pada masa penjajahan dahulu, Belanda sengaja merekayasa “isi” sejarah, mencoreng bagian yang dianggap “berbahaya” untuk membuat umat Islam lupa PERAN VITAL Ulama dan Santri dalam kemerdekaan Indonesia. Singkatnya sih, kalimat Jihad dihapus dari “buku sejarah” bangsa ini. Panjangnya baca sendiri. :D
Intinya agar kita lupa pada sejarah. Padahal “pelajarilah sejarah mu untuk hari esok mu…” [al-Hasyr : 18].
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” [al-Alaq : 1]

Sumber : http://rabytah.multiply.com/journal/item/77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar