Pages - Menu

20 Juli 2010

Jika Pribumi (Dipaksa) Merayakan Kemerdekaan Penjajahnya


Oleh: Zen RS

Brosur Seandainya ditulis dengan bahasa halus dengan struktur kalimat yang sempurna betul. Brosur itu sendiri pada dasarnya sebuah sindiran yang tajam yang mana sindiran itu di separuh bagian di antaranya digelontorkan dengan sebuah pengandaian yang, selain cerdas, juga halus.

Di awal-awal, pembaca akan sukar menebak mau ke mana arah tulisan Soewardi. Tetapi menginjak pada paragraf keempat, arah yang ingin disasar itu pelan-pelan mulai menyingsing. Dia menulis: “…Sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintai tanahairnya, saya pun mencintai tanah airsendiri…. Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memeringati hari nasional yang demikian penting artinya.”



Memasuki seperempat halaman brosurnya, Soewardi makin tegas menunjukkan sikap. Ketegasan itu dimulai dengan sebuah parafrase yang begitu sopan dan tertata: “Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita-dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda-mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorak dalam perayaan hari kemerdekaan kita.”

Masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi mengajak orang Belanda untuk berpikir: Tidakkah mengajak rakyat Hindia-Belanda yang terjajah untuk merayakan kemerdekaan tuannya akan membawa rakyat Hindia-Belanda membayangkan saat-saat menggembirakan hati rakyat Belanda sewaktu bebas dari kangkangan Napoleon? Sejak itulah nada tulisan Soewardi makin galak, kendati ia masih terus mengandaikan diri sebagai orang Belanda. Ia misalnya sudah menulis bahwa Belanda dengan demikian sudah menghina pribumi dengan mengajaknya merayakan kemerdekaan penjajahnya, dan itu diperparah dengan mengajak mereka memberikan sumbangan uang sukarela untuk biaya perayaan itu.

Selanjutnya, masih dengan pengadaian sebagai orang Belanda, Soewardi membayangkan dirinya akan melakukan protes terhadap gagasan perayaan kemerdekaan di negeri jajahan. Ia mengandaikan dirinya akan menulis di surat-surat kabar bahwa betapa berbahanya mengadakan pesta kemerdekaan di negeri jajahan. Dalam analisinya, hal itu selain akan melukai rakyat Hindia-Belanda, pesta perayaan itu akan membikin rakyat Hindia-Belanda, dalam kata-kata Soewardi sendiri, “berbuat yang tidak-tidak”.

Pada seperempat bagian akhir tulisannya, persisnya 9 paragraf menjelang tulisannya berakhir, Soewardi menulis sebuah kalimat dengan nada seperti seorang ksatria, barangkali seperti Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy, yang baru saja membuka topengnya dan berujar: “Syukur alhamadulillah, saya bukan seorang Belanda.”

Persis setelah kalimat yang membelokkan tulisan Soewardi ke arah yang lebih tegas itu, Soewardi lantas menulis: “Sekarang sebaiknya kita kesampingkan saja segala ironi.”
“Ironi” di situ, seperti sepengakuannya sendiri, digunakan memang untuk menohok, menghajar sistem kolonial dan subsistemnya yakni berupa himbauan agar rakyat Hindia-Belanda ikut dalam pesta perayaan kemerdekaan penjajahnya sekaligus secara sukarela mengumbangkan uang.

Setelah kalimat itu, nada tulisan Soewardi kian jelas. Ada dua pokok yang disampaikan Soewardi secara tegas dan lugas di akhir tulisannya yang paling legendaris ini. Pertama, penolakan tegas dan tanpa kompromi akan ide perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda. Kedua, tuntutan agar segera dibentuk sebuah badan perwakilan rakyat, semacam parlemen barangkali.

Tapal Batas Lahirnya Nasionalisme
Masa menjelang penerbitan brosur Seandainya Saya Orang Belanda, memang merupakan tahun tak ramah bagi setiap aktivisme politik para pemimpin pergerakan, terutama dikarenakan terbitnya Peraturan Pemerintah Artikel 111 yang mengekang semua aktivitas yang berbau politik.

Suhu politik kian panas setelah Juli 1913 tersiar kabar tentang keinginan masyarakat Belanda yang tinggal dan menetap di Hindia-Belanda untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari bangsa Prancis yang semasa dipimpin Napoleon Bonaparte berhasil menduduki Belanda. Yang paling kontroversial adalah permintaan agar penduduk di Hindia secara sukarela menyumbang uang untuk membiayai perayaan kemerdekaan Belanda, persis pada saat mereka, rakyat Hindia-Belanda, masih sedang getir-getirnya dijajah.
Untuk kepentingan menentang usulan tersebut dibentuklah panitia kecil yang dipimpin Dr. Tjipto sebagai Ketua dan RM Soewardi sebagai sekretaris. Panitia itu diberi nama Komite Boemipoetra oentoek Peringatan 100 Tahoen Kemerdekaan Negeri Belanda.

Seandainya yang terbit perdana pada 19 Juli 1913 dalam bahasa Belanda adalah salah satu hasil karya Komite ini. Pemerintah yang memang sudah memendam jengkel pada Komite “liar” ini makin masygul ketika brosur itu akhirnya diterbitkan dalam bahasa Melayu. Kehebohan kian menghembalang karena terjemahan itu memungkinkan makin banyak orang yang bisa membaca dan memahaminya secara saksama.
Pada 20 Juli 1913, pemerintah mengumukan pelarangan brosur itu. Aparat kejaksaan menyitanya dari pelbagai toko buku dan kantor-kantor suratkabar. Sedang percetakannya, de Eerste Bandoengsche Publicatiemaatschappij, digerebek, namun di sana hanya ditemukan sejumlah kecil eksemplar brosur karena sudah tersebar nyaris di kota-kota penting di seantero Jawa. Soewardi sendiri, plus Tjipto, Douwes Dekker (yang bertanggung jawab atas pemuatan di de Express yang dipimpinnya) dan Abdoel Moeis (yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu) ditangkap dan diiinterogasi.

Brosur itu kemudian dicatat Schavitri Scherer sebagai esei paling berkesan, tajam, dan provokatif yang pernah diusun sampai pada waktu penerbitannya. Pandangan-pandangan yang diungkapkannya mendahului setiap gagasan yang dikemukakan cendekiawan-cendekaiwan Jawa lain yang paling sadar politik sekali pun.
Lewat brosur Soewardi-lah pemerintah kolonial disadarkan bahwa perlawanan sudah menemukan bentuknya yang baru dan tegas. Hanya sejak brosur Soewardi terbit sajalah pemerintah benar-benar secara sungguh-sungguh menganggap kritik-kritik sebagai sebuah ancaman berat terhadap kemantapan pemerintah kolonial. Sebelumnya, paling banter gagasan-gagasan galak itu hanya beredar di kalangan terbatas saja.

Dalam sebuah wawancara, Takashi Shiraishi bahkan menyebut tahun terbitnya Seandainya sebagai titik mula nasionalisme, karena Seandainya jauh lebih tegas dalam sikap dan pendirian ketimbang, misalnya, aktivitas penyadaran yang dilakukan Kartini atau berdirinya Boedi Oetomo yang masih bergerak dalam ruang lingkup yang masih bisa dimengerti dan diterima oleh orang-orang Belanda dan pemerintahan kolonial.

Bagi Soewardi sendiri, yang kelak pada usia 40-an mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, brosurnya itu merupakan puncak dari sikap radikal yang dinyatakan secara tegas dan terang-terangan. Namun Soewardi kemudian memilih lapangan kebudayaan ketimbang aktivitas politik. Dan di lapangan itulah Soewardi mulai menoleh warisan Jawa-nya, dan meninggalkan garis radikal sewaktu ia muda.
* Sejarawan partikelir dan kontributor utama web Indonesia Buku
Sumber www.indonesiabuku.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar