Lee Kuan Yew -dalam pidatonya di depan Konferensi Bisnis Filipina pada 1992- mengatakan bahwa untuk menciptakan negara maju, yang dibutuhkan adalah kedisiplinan, bukan demokrasi. Pernyataan itu berangkat dari pengalaman dia sebagai perdana menteri Singapura yang dianggap berhasil membawa negara tersebut dari negara berkembang menjadi negara maju. Padahal, Lee adalah seorang otoriter. Dalam salah satu ungkapannya, dia mengatakan lebih suka ditakuti daripada disayangi rakyat. Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang menganut demokrasi?
Pernyataan Lee itu bukan suatu yang provokatif untuk mengajak bangsa ini meninggalkan demokrasi. Ia dimaksudkan sebagai refleksi bersama bahwa demokrasi tidak cukup untuk menciptakan kemakmuran bangsa ini, tanpa disertai dengan kedisiplinan dan komitmen bersama mewujudkan bangsa yang makmur dan bermartabat. Untuk apa berdemokrasi jika rakyat tetap sengsara? Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara hanya untuk memberikan keistimewaan kepada segelintir elite? Hukum tidak lagi melindungi semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan serupa akan muncul dengan sendirinya tatkala membaca buku Negara Mafia karya Laode Ida ini. Kata mafia berasal dari nama sebuah konfederasi orang-orang di Sisilia (Italia) pada abad pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum. Konfederasi itu kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisasi. Istilah mafia, bagi Indonesia, bukan sesuatu yang hiperbolis. Laode melekatkan kata itu, mungkin, karena melihat realitasnya memang demikian, banyak praktik mafia di semua lini kehidupan.
Misalnya, terungkapnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus Tambunan. Juga, beberapa kasus penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sejumlah pemimpin negeri ini. Itu menjadi indikator bahwa Indonesia masih cukup ''berprestasi'' dalam praktik-praktik mafia itu walaupun kita kerap kali membahasakannya dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Begitu juga dengan persoalan keadilan. Di negeri ini, keadilan hanya ada pada kaum berduit. Pandangan skeptis semacam itu bukan tidak berdasar. Beberapa waktu lalu rakyat dibuat gerah ketika mengetahui Artalyta Suryani, si ratu suap, dengan nyamannya bersantai ria dalam Rutan Pondok Bambu dengan dilengkapi fasilitas layaknya rumah realestat. Hukum apakah yang diterapkan pada seorang tahanan seperti itu? Di manakah konsep keadilan itu bertengger? Wajah keadilan Indonesia benar-benar menyesakkan dada rakyat kecil.
Bayangkan saja, para janda pahlawan terancam hukuman dua tahun penjara karena didakwa menyerobot lahan milik negara. Nasib miris juga menimpa seorang nenek bernama Minah yang dituntut hukuman satu bulan lima belas hari gara-gara mencuri tiga biji buah kakao. Dan, tidak kalah mengerikan, seseorang diancam hukuman lima tahun penjara karena kasus pencurian satu buah semangka. Kasus-kasus itu kontradiktif dengan perlakuan yang diterima para elite dan orang-orang kaya yang melakukan penyelewengan dan merugikan negara tetapi tetap saja hukum tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan demikian, fakta sudah cukup berbicara bahwa hukum di Indonesia bisa dibeli. Siapa pun penjahatnya, asal kaya raya dan mau menyuplai ''gizi kepada aparat penegak hukum, dia akan diistimewakan. Bahkan bila perlu, orang tidak berdosa akan diseret menjadi kambing hitam demi menjadi tumbal para bramacorah tidak tahu malu itu. Berangkat dari realitas itulah, Laode kemudian berupaya memberikan dan atau menawarkan ide solutif bagi persoalan-persoalan akut negara ini.
Sebab, fenomena demikian juga pernah terjadi di Uni Soviet. Jadi, barangkali kita perlu melihat kembali kajian Mancur Olson dalam bukunya yang berjudul Power and Prosperity. Di situ dia membahas munculnya premanisme pasca gerakan Perestroika (reformasi) di Uni Soviet. Di balik jargon demokrasi dan pasar bebas, pasca pecahnya Soviet, di Rusia muncul kelompok roving bandits yang menguasai politik. Kelompok tersebut merupakan perpaduan antara pengusaha hitam dan politisi busuk. Selain menguasai daerah, mereka menguasai parlemen. Situasi Indonesia pascareformasi memiliki sinergitas dengan situasi Rusia pascareformasi itu. Buku tersebut menjelaskan sebagian situasi tersebut.
Buku Negara Mafia dijadikan instrumen urgen oleh Laode dalam mengeksplorasi ide-idenya dengan mendasarkan pada pengalaman dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah yang banyak bergelut dengan dunia glamor para penjahat negara. Salah satu ide cerdasnya yang dilontarkan dalam buku ini adalah tawarannya dalam upaya pemberantasan korupsi di negara mafia seperti Indonesia. Menurut Laode, pemberantasan praktik KKN harus dibarengi dengan perangkat hukum yang tegas. Dia mencontohkan Tiongkok yang memberlakukan hukuman mati untuk setiap orang yang terbukti melakukan korupsi di semua lembaga, baik pemerintahan maupun swasta. (*)
---
Judul Buku: Negara Mafia
Penulis: Laode Ida
Penerbit: Galang Press, Jogjakarta
Cetakan: April 2010
Tebal: 277 halaman
---
Moh. Asy'ari Muthhar, Aktif di Fananie Center Jakarta
Sumber : Jawa Pos, 18 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar