Pages - Menu

26 Juli 2010

Pergolakan Kaum Nahdliyin


Judul Buku : Pergolakan di Jantung Tradisi; NU Yang Saya Amati

Penulis : As'ad Said Ali

Penerbit : LP3ES, Jakarta

Cetakan : Ketiga, Juni 2010

Tebal : 323 halaman

Dalam diskusi buku bertajuk Dari Kiai Kampung ke NU Miring di Jakarta pekan lalu, beberapa pembicara menekankan amat pentingnya Nahdlatul Ulama (NU) memperkuat basis materialnya, terutama ekonomi, agar para warga pendukung lebih mampu berperan sebagai kekuatan masyarakat sipil.

Pengamat politik Yudi Latif, misalnya, menyatakan bahwa NU harus memiliki basis material yang kuat agar bisa menegakkan hal-hal fundamental, seperti kesejahteraan dan keadilan. Dengan kuatnya institusi madani, masyarakat tidak akan terlalu bergantung pada institusi formal kenegaraan atau pemerintah.

Pandangan senada disampaikan Ahmad Tohari, sastrawan yang lahir dan besar di lingkungan NU. Dia menilai, kinerja organisasi-organisasi cikal-bakal NU, seperti Nahdlatul Tujjar, Taswirul Afkar, dan Nahdlatul Wathan, jauh lebih nyata daripada NU. ''Mending tidak usah ada NU kalau tidak nyata aksinya,'' cetus pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut.

Sebagai topik diskusi, NU tak akan kehabisan banyak tema untuk dibicarakan. Orang bisa memotret dari beragam sudut. Maklum, NU adalah organisasi Islam dengan lebih dari 40 juta anggota.

Pengaruh NU sering disebut amat besar di Indonesia. Namun, ironisnya, organisasi itu sering terkesan ''dipermainkan'' berbagai kalangan, terutama pemerintah. Ketidakberdayaannya dalam berbagai hal juga sering menjadi bahan olok-olokan, bahkan di kalangan generasi muda NU.

Apa penyebab utamanya? Salah satu jawabannya, NU lemah secara ekonomi akibat ketiadaan manajemen organisasi yang baik. Pesan itulah yang digarisbawahi As'ad Said Ali dalam bukunya setebal 323 halaman ini. ''Sudah saatnya agenda implementasi khitah NU selanjutnya adalah memajukan ekonomi warga nahdliyin. Bidang ini terlalu lama diabaikan. Padahal, inilah salah satu pilar penting Nahdlatul Ulama,'' tulis As'ad, yang juga dikenal sebagai wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut.

Pengaruh Gus Dur

As'ad, yang kini juga wakil ketua umum PB NU, mengawali paparannya dengan menunjukkan sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh yang sejak awal 80-an menyampaikan pikiran-pikiran baru yang bisa disebut sebagai ''pencerahan''. Pengaruhnya memang amat besar bagi kalangan NU. Selain Gus Dur, muncul anak-anak muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla yang pemikirannya seolah lepas dari kalangan tradisional NU, terutama kaum ulama sepuh.

As'ad menyebutkan, perubahan-perubahan besar yang telah dan sedang terjadi di lingkungan warga nahdliyin tersebut digerakkan generasi muda yang berpendidikan ganda, yakni pesantren dan pendidikan modern. Posisi kaum muda itu menjadi semacam counterpart kalangan ulama tradisional dalam mendinamisasi NU.

Mungkin ada yang heran, bagaimana As'ad bisa tampak fasih bertutur tentang ke-NU-an. Sama sekali tidak aneh. Sebab, dia berasal dari keluarga yang ''sangat NU'' dan akrab dengan dunia pesantren. Dia pernah nyantri di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, Jogjakarta, sambil kuliah di Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Politik, UGM, sebelum terjun di dunia intelijen yang ditempatkan di berbagai negara. Pengalaman internasionalnya terbentang selama 35 tahun.

Karena itu, tidak mengherankan, paparannya meyakinkan dan berbobot. Dia tangkas saat menjelaskan bagaimana tradisi fikih yang menjadi jantung pandangan dunia nahdliyin. Paradigma fikih klasik itu, menurut As'ad, secara mengagumkan bisa menjadi instrumen penting dalam menelaah problem-problem kontemporer, termasuk bentuk negara sekuler, penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila, dan seterusnya.

As'ad juga menjelaskan dengan apik bagaimana jalannya upaya ke arah reformasi pemikiran dan politik NU. Dia menerangkan benih-benih pemikiran di kalangan NU, termasuk faktor-faktor yang menjadi pemicu munculnya liberalisasi.

''Faktor sosiologisnya adalah munculnya generasi baru NU yang berpendidikan ganda, sedangkan faktor politiknya adalah otoritarianisme Orde Baru,'' tulis As'ad.

Bagian menarik lain, bagaimana dampak gerakan kalangan muda terhadap dinamika internal NU. Benturan gagasan dan langkah memang terjadi. Kalangan muda NU yang progresif mendesakkan pemikirannya di kalangan ulama tradisional. Terjadi konfrontasi. Kaum ulama tradisional menghadang atau paling tidak mengerem pemikiran kalangan muda. Puncak dari kontestasi itu adalah penyelenggaraan muktamar di Solo. Kiai Hasyim Muzadi muncul dengan menawarkan berbagai agenda yang lebih santun dan tidak kontroversial. Kiai Hasyim pun akhirnya mendapat sambutan baik. Bagian itu jelas merupakan referensi penting untuk memahami bagaimana akhir perjalanan Kiai Hasyim di organisasi hingga muktamar di Makassar belum lama ini.

Sebagai karya intelektual, buku ini memang istimewa. Sebelum wafat, Gus Dur memberikan pujian tinggi. Menurut Gus Dur, kalimat ''inside NU'' atau ''what's right with NU'' sangat tepat untuk mengapreasiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU.

Mantan presiden RI tersebut juga mengatakan, pemetaan yang brilian, cerdas, dan lugas telah dihadirkan As'ad Said Ali yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqalah (budaya), dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu iqtishadiyah (perekonomian). ''Pergumulan anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme juga terpapar dengan gamblang dalam buku ini. Dan yang terpenting, buku ini merupakan ma'alim (rambu-rambu) perjalanan NU masa depan,'' kata Gus Dur. (*)

Mohamad Salim Aljufri, Ketua PB NU, kandidat doktor Universitas Islam Makassar

Sumber Jawa Pos, 26 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar