Pages - Menu

06 Oktober 2014

Perpusda Sragen, Sumber Referensi dan Inspirasiku



Membaca adalah salah satu hobi saya. Sejak di bangku SD, saya sudah membiasakan diri untuk rajin membaca, terutama buku-buku pelajaran.  Saat itu saya sadar bahwa saya tidak pintar. Dibanding teman-teman lain, saya termasuk ketinggalan. Sebagian besar teman-teman saya sudah ‘mencicipi’ belajar membaca dan menulis di bangku TK. Saya hanya merasakan menjadi murid TK selama seminggu. Ketika orang tua memutuskan untuk memindahkan saya dari TK ke SD, otomatis perbekalan akademik sayapun kurang. Seminggu di TK hanya diisi dengan kegiatan bermain dan bernyanyi. Saya merasa sedih dan malu karena baru mengenal alfabetis di kelas satu SD. Tapi saya tidak bisa menuntut orang tua saya yang buta huruf untuk memintarkan saya sejak dini. Saya bersyukur, mereka tetap menyekolahkan saya. Saya hanya perlu berusaha sedikit lebih keras untuk mengejar ketertinggalan itu. Belajar tekun dan rajin membaca menjadi solusinya. Meskipun tidak pernah mendapat peringkat pertama, saya berhasil lulus dengan NEM tertinggi.
Kegemaran membaca saya berlanjut ke SMP. Di SD, bacaan saya terbatas pada buku pelajaran, dongeng dan majalah anak-anak. Saat SMP, bacaan saya bertambah, mulai dari komik, majalah remaja, tabloid, cerpen dan buku nonfiksi. Ketika menginjak SMA, variasi bacaan semakin bertambah lagi, seperti novel, buku terjemahan sampai majalah politik. Dan sampai sekarangpun, membaca tetap menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan saya.
Salah satu tempat yang sering saya kunjungi demi memuaskan hobi itu adalah perpusda Sragen. Koleksi buku di perpusda Sragen yang begitu bervariasi membuat saya betah berlama-lama di sana. Biasanya saya meminjam dua buku untuk seminggu. Lalu mengembalikan dan menukarkannya dengan judul yang lain. Begitu terus, sambung-menyambung. Para penjaga perpusda Sragen yang begitu ramah dan terbuka melayani juga membuat senang saat berkunjung.
Ketika membaca berbagai macam buku itu, kadang saya terkagum-kagum dengan isinya. Bahkan sempat terpikir betapa pintar sang penulisnya. Lalu saya mengkhayal, betapa kerennya jika suatu hari nanti nama saya juga tertera pada cover sebuah buku. Ah, mimpi yang absurd! Tapi, diam-diam perjuangan itupun dimulai. Dengan modal nekat, saya mulai mengikuti berbagai lomba menulis di media sosial yang jika lolos, naskahnya akan dibukukan. Sekali dua kali gagal, justru semakin menguatkan tekad. Setelah beberapa kali mencoba, ada juga satu dua yang lolos. Akhirnya, sayapun punya antologi (satu buku yang ditulis rame-rame) hasil lomba. Tapi saya belum puas, karena mimpi saya adalah memiliki buku yang ditulis sendiri.
Tak ada cara lain. Saya harus lebih tekun dari sebelumnya. Lalu saya mulai menulis beberapa cerpen dan nekat mengirimkannya kepada penerbit. Setelah menunggu beberapa bulan, saya mendapat surat penolakan. Lalu saya merombak naskah tersebut dan mengirimkan kembali kepada penerbit yang berbeda. Hasilnya ditolak lagi. Dengan kecewa, saya baca ulang tulisan-tulisan saya. Oh, ternyata memang jelek sekali.
Belajar dari pengalaman itu, saya mulai memerhatikan teori dan teknik menulis. Meskipun bisa dipelajari secara autodidak, tapi saya butuh seseorang dengan hobi yang sama untuk dapat memberikan penilaian dan masukan. Lalu saya bergabung dengan sebuah komunitas menulis di kota Solo. Di sana, saya ditantang untuk menulis satu buku selama enam bulan. Awalnya saya ragu dan tidak percaya diri. Tapi karena sesama anggota saling memotivasi, akhirnya semangat itu muncul.
Perjuangan mewujudkan mimpi itupun berlanjut. Selama sebulan penuh, saya mencari referensi di perpusda Sragen. Lalu sebulan kemudian, saya mulai membuat outline. Sisa waktu empat bulan, saya gunakan untuk mengembangkannya menjadi naskah utuh. Selama kurun waktu enam bulan itu, hampir tiap weekend saya habiskan di perpusda Sragen. Bahkan ada satu buku yang saya pinjam selama enam bulan berturut-turut, dengan catatan seminggu sekali dikembalikan dan diperpanjang lagi waktu peminjamannya.
Setelah naskah selesai, saya mengirimkannya pada sebuah penerbit di kota Solo. Hasilnya, lagi-lagi penolakan yang saya dapatkan. Naskah itupun saya tarik dan mulai merevisinya. Lalu saya mengirimkan kembali ke sebuah penerbit di Jakarta. Rasanya seperti mimpi, ketika editornya mengabarkan bahwa naskah saya diterima. Sujud syukur saya panjatkan kepada Allah atas kemurahanNya.
Saya kembali bersyukur karena proses terbit buku solo nonfiksi pertama saya yang berjudul ‘Friendship Never Ends’ hanya memakan waktu selama enam bulan. September 2012 menjadi bulan bersejarah. Akhirnya nama saya tertera pada cover buku sendiri. Yang lebih membahagiakan lagi, buku saya diterbitkan oleh Quanta, lini islami dari penerbit Elex Media Komputindo, bagian dari Kompas Gramedia Grup.
Saat saya menerima bukti terbitnya, satu hal yang terpikir adalah saya harus menyumbangkan salah satunya untuk perpusda Sragen. Saya senyum-senyum sendiri saat menyerahkan buku itu kepada petugas perpusda Sragen. Dalam hati saya bersorak, “inilah hasil menghabiskan weekend selama enam bulan di sini!” Ah, semoga buku saya masih ada di perpusda Sragen dan memberi manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Terima kasih kepada perpusda Sragen yang telah membantu mewujudkan mimpi saya. Saat ini, saya sedang giat-giatnya mengumpulkan buku apa saja. Kelak, saya ingin mewujudkan mimpi lain yang terinspirasi olehmu juga, yaitu mendirikan taman bacaan. Saya bermimpi, generasi penerus bangsa ini mempunyai minat baca yang tinggi seperti penduduk negara Jepang. Saya percaya, dengan minat baca yang tinggi, kemampuan otak untuk berpikir maju juga semakin terasah. Bukankah maju tidaknya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusianya? Mari kita mulai dengan membaca. Manfaatkan perpustakaan-perpustakaan daerah untuk terus melejitkan potensi diri!

                                           
 

*****


Nama    : Santi Artanti 
Alamat  : Sukomarto RT 01/08 No.2 Jetak, Sidoharjo, Sragen, 57281
Penulis  :  Frendship Never Ends


Tidak ada komentar:

Posting Komentar